NGNL Vol. 6 Chapter 4 Part 1
Disclaimer: Not mine
XXXX
Para hantu yang tersebar di seluruh dunia telah mengatur
jalannya perang dari balik layar selama setahun belakangan. Hari ini, mereka
duduk-duduk di markas mereka sambil bermain catur. Di seberang meja yang sedang
mereka gunakan, Shuvi dan Riku sedang mempelajari papan strategi mereka.
Seperti yang sudah dia
duga, Elf memilih Fairy sebagai sekutu mereka. Mereka meningkatkan kontak
dengan Dragonia yang bisa menandingi kapal perang Dwarf. Ketiganya bergabung
karena satu musuh yang sama—Dwarf—dan membentuk ‘Elven Alliance’.
Sementara itu, Dwarf membentuk aliansi dengan para Gigant
dengan cara membawa beberapa Phantasma ke sisi mereka. Beberapa hantu berbisik
jika para Elf telah menciptakan ‘senjata pemusnah Phantasma’ dan hal itu
menyebabkan terbentuknya ‘Dwarfen Alliance’.
Tapi, tidak ada yang melupakan kekuatan terkuat yang
terletak di benua seberang, para Flügel: Markas besar Artosh.
Dengan adanya dua aliansi yang saling menyembunyikan
senajata pemusnah masal mereka, dewa perang Artosh yang katanya tidak
terkalahkan pun pasti akan mengepalkan tangan karena merasa marah—dia tidak
akan bisa membuat langkah ceroboh melawan dua aliansi ini dan hanya bisa
memperketat penjagaan. Demonia memindahkan markas mereka agar mendapatkan
keuntungan dari perang dingin yang membuat para pemain besar sibuk satu sama
lain, sedangkan Werebeast yang merasa khawatir pada E-bomb pindah ke kepulauan
yang ada di bagian barat benua. Dunia ini sekarang sedang berada di ujung
tanduk—menunggu kapan pelatuk armageddon akan ditarik—dan pada akhirnya kami semua hanya bisa
diam dan menatap musuh dengan mata tajam dan awas.
Ini adalah kondisi papan catur yang sudah dibuat dengan
susah payah oleh para hantu yang ada di sini. Karena itulah, sekarang penghuni
benua Lucia saat ini hanyalah Immanity saja. Setting mereka sudah sempurna,
plot yang mereka bentuk sudah mulai membuahkan hasil... Semua demi pertunjukan
sekali seumur hidup ini... Semua demi mengakhiri permainan ini.
.....
“Hei, Shuvi, aku pernah bertanya apa dewa game itu ada atau
tidak, iya kan?”
“... Uh... huh...”
“Kau bilang sebuah konsep bisa menjadi Old Deus saat kondisi
aktivasi mereka dipenuhi... Kondisi apa yang dibutuhkan untuk aktivasi itu?”
“.... Mendapatkan ether... kekuatan perasaan... doa... tidak
ada definisi tetap... Aliran...?”
Saat Riku bertanya dulu, Shuvi tidak mengatakan sesuatu
tentang ether dan tidak ada dewa seperti itu, tapi...
“Yah, sebenarnya, jika aku bilang ‘aku pernah melihat dewa game’—Apakah kau akan mempercayainya?”
“... Apa yang kau percaya... Shuvi... juga percaya...”
Shuvi menjawab dengan wajah serius sambil menggerakan
bidaknya. Setelah itu dia berkata.
“... Riku... semua serangan balikmu... semua proyeksiku...
Jika kau bilang ada... maka dia memang
ada... Jika kau bilang... langit tidak merah... aku tidak akan...
meragukanmu...”
....
Aaaaaahh, sialaaaaan!!
“Whoa, pastikan kau menyebarkan kata-kata itu pada orang
lain! Istriku sangat-sangat-sangat mencintaiku!”
“Kesampingkan... itu...”
Wajah Shuvi terlihat malu-malu, tapi itu bukan imajinasi
Riku saja. Shuvi berkata dengan suara pelan.
“.... Checkmate.”
“.... Ayolaaahhh, dewa game... Biarkan aku menang sekali
sajaaaa...”
“Uuuummm, maaf kalau aku sudah memotong pembicaraan mesra
kalian... Tapi apa kalian tidak keberatan?” tanya Couron yang tiba-tiba muncul.
“Oh, timing yang bagus, Couron.” Kata Riku, “Tunggu, apa...
kau...?”
“Ya, ya. Terima kasih untuk pertunjukannya, tapi bukankah
kau yang memanggilku kemari? Bisakah aku mengatakan laporanku sekarang?”
Couron membalik-balik lembaran yang berisi kondisi desa saat
ini—tidak, lebih tepatnya kondisi umat manusia saat ini dan kemudian berkata.
“Aku tidak bisa percaya... Tapi seperti katamu. Tidak ada
tanda-tanda kemunculan dari ras lain.”
Couron yang tidak tahu alasan kenapa hal seperti itu bisa
terjadi hanya mengerutkan alis ke arah Riku. Sementara itu, si pemuda hanya
tertawa seakan ingin mengatakan, ‘Kejutan!’.
“... Dan karena itu kami menyalakan suar dan mengirim para
penjelajah. Dengan cara itu kami bisa menemukan beberapa desa di bagian utara
benua Lucia. Menyatukan mereka bukan hal mudah karena populasi kita melonjak
menjadi 8.000 orang setelah menerima mereka. Sekarang desa kita...”
“Tenang, Couron. Sebentar lagi kita bisa hidup semau kita
tanpa perlu takut akan kematian.”
“...”
Tangan Couron terkepal erat saat mendengar respon santai
dari Riku. Perhatian pemuda itu saat ini tertuju pada papan catur yang ada
diantara dirinya dan Shuvi.
“Semuanya berjalan lancar. Shuvi dan aku sudah melakukan
langkah terakhir—dan kita akan menang.”
“... Ayolah, berhenti bercanda, Riku... Apa kau paham
kondisimu saat ini...?”
Couron sudah mencoba menekan perasaannya dan tidak
menunjukkannya pada mereka berdua—tapi sikap Riku sudah melewati batas
toleransinya.
“Aku bahkan tidak bisa
percaya kau masih bisa hidup dalam kondisi seperti itu!!! Jika kau
melakukan perjalanan jarak jauh seperti itu, kau bisa mati!”
Meski Couron menangis di depannya seperti itu, Riku hanya
menyeringai.
“Aku tidak akan mati. Aku masih punya waktu 891 tahun untuk
hidup.”
“... Ayolah, Riku. Aku mohon. Berhenti pura-pura bodoh dan
lihat kondisi tubuhmu sendiri...!”
Riku yang terus mendengar permohonan sang kakak pun akhirnya
mulai memeriksa tubuhnya sendiri. Pertama—seluruh tubuhnya ditutupi oleh
perban. Luka bakar di sekujur tubuhnya disebabkan oleh mayat spirit dan tidak
akan pernah bisa disembuhkan. Seluruh kulit yang ada di tubuhnya sudah
terkontaminasi, itulah faktanya. Lalu organ dalamnya... Shuvi sudah
menyelamatkannya dari proses nekrosis—setidaknya—karena itu untuk sekarang kondisinya
kurang lebih cukup baik. Dia tidak akan pernah bisa memakan makanan yang dulu
biasa dia makan, tapi setidaknya dia masih bisa minum sup. Ada sedikit mayat
spirit yang masuk ke dalam darahnya dan hal itu menyebabkan kerusakan pada
tulang dan saluran pernapasannya... Tapi itu tidak terlalu parah.
“Eh... Aku kehilangan satu lengan dan pengelihatanku sudah
terganggu—Yah, bisa dibilang aku buta sebelah. Bukan masalah besar.”
“.... Itu masalah yang super besar! Kau ini...!”
“Hantu yang lain juga seperti ini, bahkan ada yang lebih
parah.”
Couron ingin membantahnya, tapi suara dingin Riku membuatnya
berhenti.
“... Tidak ada yang mati adalah sebuah keajaiban, tapi kami semua sudah babak belur.”
Babak belur. Seperti
yangdikatakan Riku, mereka semua sudah babak belur. Memang benar, tidak ada
satu pun dari 179 hantu yang mati—belum. Pertanyaannya adalah kapan. Meminum racun, terkontaminasi mayat
spirit, kehilangan lengan... Para hantu sudah mencari banyak cara untuk menipu
ras-ras lain. Mulai dari melempar sebuah lengan untuk melakukan suatu trik,
memakan daging mayat untuk menipu Demonia, menyerahkan diri pada Dhampir untuk
menggiring mereka... Mereka melakukan semua cara yang mereka miliki.
... Semua kecuali nyawa mereka... Karena itu Riku memohon.
“Satu langkah lagi, Couron. Lihatlah ke arah lain dan perang
besar ini akan berakhir. Dan aku...”
... Akhirnya bisa
memaafkan diriku sendiri—itu yang ingin Riku katakan, tapi dia menelannya
kembali.
“Kalau begitu, setidaknya katakan padaku...”Couron menatap
lantai dengan tubuh gemetaran.
“Aku masih tidak bisa percaya kau memanipulasi ras
lain—bahkan Old Deus... dan membuat mereka semua pergi dari Lucia. Aku pikir
itu sangat menakjubkan... Tapi, mengakhiri perang ini? Meski kau sudah
melakukan semua itu... Aku masih tidak bisa mempercayainya!”
“....”
“Jika kau memintaku untuk melihat ke arah lain, katakan
padaku! Atau kau memang tidak bisa mempercayai kakakmu ini...!?”
...
Riku dan Shuvi bertukar pandang dan kemudian melihat air
mata Couron yang mulai berjatuhan.
“.... Couron, bukannya aku tidak mempercayaimu—kalau bukan
kau—aku tidak mungkin mempercayakan semua orang padamu.”
“Kalau begitu, kenapa...?”
“Kau tahu, kan? Apa yang diperebutkan para dewa itu?”
Couron terkejut dengan pengalihan yang ditanyakan Riku, tapi
dia tetap menjawab, “... Tahta dewa tunggal, iya kan? Mereka bilang...”
“Ya. Tahta dewa tunggal. Lebih tepatnya merea memperebutkan
artifak bernama Suniaster.”
Setelah mengulang apa yang dikatakan Shuvi padanya di ibu
kota Elven, Riku berdiri.
Chapter 3-9 Daftar Isi Chapter 4-2
Komentar
Posting Komentar