NGNL Vol. 6 Chapter 4 Part 7

Disclaimer: Novel ini bukan punya saya ya kuy.

XXXXX

Pendobrak Surga yang berhasil menghancurkan gunung dan memenuhi langit dengan debu itu pun akhirnya menghilang.

“... Hff... hfff...hffff!!”

Jibril yang barusaja menggunakan seluruh kekuatannya dan hampir kehabisan spirit pun tidak bisa mempertahankan wujud dewasanya dan berubah menjadi anak kecil. Dengan nafas tersenggal, dia menghampiri titik dimana musuhnya terbaring, tapi sama sekali tidak ada sisa Ex-Machina yang tertinggal.

“... Aaahh... lihat ini... mana hadiah yang harusnya kudapatkan...?”

Seluruh pertarungan ini terjadi karena Jibril menginginkan kepala Ex-Machina yang beraksi sendirian itu. Setelah melihat sikap tidak biasa Ex-Machina itu, keinginan Jibril untuk mendapatkan kepalanya menjadi semakin besar—dia bahkan menggunakan Pendobrak Surga untuk mengalahkannya. Tapi pada akhirnya FlΓΌgel itu mengerang karena dia tidak tahu kenapa dia melakukannya. Tapi instingnya berteriak jika mesin itu adalah musuh yang harus dia hancurkan. Sekarang, setelah dia sudah bisa berpikir dengan lebih objektif, apakah semua itu... benar?

“... Aku gagal mendapatkan kepalanya. Semuanya sudah hancur... dan lihat aku...”

Saat melihat tubuh kecil dan wajah imutnya, Jibril menghela nafas. Dia tidak mendapatkan apapun, kehabisan tenaga, dan tidak akan bisa bergerak bebas selama kurang lebih 5 tahun kedepan—itulah hadiah yang dia dapatkan.

“Hhh... Kurasa aku harus melapor pada Elder Azriel jika aku melihat Ex-Machina aneh... Kuharap si kepala batu itu bisa mengerti betapa berbehayanya makhluk itu hingga aku harus menggunakan Pendobrak Surgaku...”

Tapi... Saat Jibril memikirkan penampilannya sekali lagi, dia bergumam sedih.

“Jika aku bertemu kakakku dalam wujud ini.... Dia pasti tidak akan mau melepaskanku....”

Jibril kecil pun mengepakkan sayapnya dan terbang ke arah langit.

... Di bawah sana, terdapat kilauan kecil yang berasal dari cincin yang tidak dia perhatikan...

XXXX

Permainan telah selesai. Shuvi sudah mati. Setelah menerima laporan seperti itu dari para hantu, yang bisa dilakukan oleh Riku hanya memasang wajah tegar dan kembali menuju kamarnya. Di meja dengan satu kursi di depannya, dia melihat papan catur yang selalu dia mainkan bersama Shuvi. Sendirian. Sama seperti yang selalu dia lakukan dulu, saat dia masih kecil. Permainan yang tidak bisa dia menangkan—Riku terus menggerakkan bidaknya dan kemudian melihat kursi kosong yang ada di sebrang meja. Kewarasannya merasa jika dia barusaja melihat apa yang dia lihat dulu: Anak laki-laki dengan seringai percaya diri. Sebuah keberadaan yang Shuvi berjanji untuk mempercayainya. Dewa game.

“Hei... kenapa aku tidak pernah bisa menang...?”

Anak laki-laki itu tidak pernah menjawabnya. Meski begitu, Riku tetap bertanya.

“Kupikir sekarang aku bisa menutupi semua kekuranganku... dengan Shuvi... dengan semuanya. Kupikir aku bisa menang.”

... Peraturan No. 2: Tidak ada yang boleh mati.

... Peraturan No. 6: Semua perbuatan yang menyimpang dari peraturan di atas akan menyebabkan kekalahan.

“Kenapa... aku tidak pernah... menang...!”

Ya, saat mereka melanggar peraturan itu, permainan akan berakhir—dan mereka akan kalah. Dan yang lebih buruk lagi, Shuvi lah...

“Apa... yang kurang dariku...? Tolong beritahu aku...! Ayolah, kau pasti ada di sana, iya kan!?”

Apa yang Riku lakukan saat ini pasti akan membuat orang lain percaya jika dia sudah gila. Riku terus berteriak pada udara kosong. Pada anak laki-laki yang duduk di depannya—pada dewa game. Anak laki-laki itu tidak menjawab. Dia hanya... menunjukkan senyum sedih dan menundukkan kepalanya.

“Ayolah.... Tidakkan kau bisa membiarkanku menang sekali saja? Jika tidak...”

“... Lalu kenapa!? Kenapa kau memberiku ‘hati’!?”

‘Hati’ yang diidamkan Shuvi dan hatinya yang sekarang telah terbuka. Lalu sekarang semua itu sama sekali tidak berarti. Tubuhnya terasa kebas, dan yang bisa dia lakukan hanya berteriak.

“Aku tidak tahu dewa mana yang menciptakan manusia! Tapi, jika kami harus hidup di dunia ini hanya untuk kalah dan kalah, lalu menjadi mangsa ras lainnya dan kehilangan semuanya berkali-kali... kenapa kau memberi kami hati!? Jawab aku!”

Teriakannya membuat tubuh ringkihnya bergetar dengan hebat...

“Ayolah... aku tahu kau ada di sana! Aku tidak tahu siapa kau... tapi kumohon jawab pertanyaanku... Kumohon...!”

Tidak ada jawaban. Dan Riku juga tidak mengharapkan jawaban dari siapa-siapa. Dia hanya merasa lelah, sedih, kecewa. Semua perasaan itu bercampur menjadi satu saat dia menyandarkan punggungnya ke kursi dan menatap map yang terbentang di depannya.

Samar-samar, dia mulai menyatukan semua potongan yang berhasil dia dapatkan. Mereka berhasil membuat semua ras berhadapan di satu titik dan berhasil membuat dasar konflik antara Artosh melawan semua aliansi. Dan dia sudah mengantisipasi ini sejak lama—salah satu pihak harus melakukan serangan pembuka.

Jika Union yang melakukannya, sebuah jalan buntu akan muncul hingga Elven Alliance dan Dwarven Alliance bisa mencari cara untuk menetralkan senjata rival mereka, Aka Si Anse dan E-Bomb. Serangan skala penuh setidaknya akan terjadi 10 tahun lagi, dan pasukan Artosh mungkin bisa dikalahkan. Lalu Dwarf dan Elf akan mulai bertarung hingga salah satu dari mereka mati.

Bagaimana jika Artosh lah yang memulai serangan? Saat ini Artosh lah yang terkuat—berkat Pendobrak Surga. Lalu, saat Artosh sudah menghabiskan tenaganya dan sesaat melemah, mereka akan membalik kekuatan dari Avant Heim untuk melawan dewa perang itu. Itulah tujuan dari Union.

Tapi sekuat apapun Avant Heim itu, Aka Si Anse bisa membunuh Phantsma manapun, dan E-bomb bisa membunuh Old Deus manapun. Tidak akan ada yang menang jika Artosh tidak melakukan serangan pembuka.

Itu adalah sesuatu yang kami buat agar dipercaya oleh Union, tapi itu bukan kenyataan. Pendobrak Surga milik Artosh adalah serangan yang amat sangat luar biasa kuat hingga itu bisa memicu berkumpulnya kekuatan dari berbagai faksi. Jadi hasilnya—baik pasukan Artosh dan Union—mereka akan sama-sama dihancurkan. Pada akhirnya, pasukan Artosh sepertinya pasti menang jika mereka melakukan serangan pembuka. Setidaknya itulah yang mungkin terjadi 10 tahun lagi—saat semua peperangan ini berubah menjadi kematian yang pasti.

10 tahun. Ya, 10 tahun. 179 hantu telah mempertaruhkan semua yang mereka miliki, membuang nyawa mereka—dan kehilangan Shuvi—untuk mendapatkan setidaknya... gencatan senjata selama 10 tahun. Saat itulah Riku merasa jika dia mendengar sesuatu.

... 10 tahun gencatan senjata. Bukannya itu sudah cukup? Bukankah itu cukup bagus?

“....”

... Manusia berhasil menghentikan peperangan para dewa selama 10 tahun?

“...”

... Itu sudah cukup. Itu lebih dari cukup. Itu adalah sesuatu yang sangat luar biasa.

.... Tidakkah ini sudah pantas untuk disebut keme...

“... Apa kau mempermainkanku?”

Apa suara ini milik seseorang... atau itu cuma alasan yang dibuat oleh hatinya sendiri? Riku tidak peduli. Dia berteriak sekeras yang dia bisa, seakan dia ingin menyobek tenggorokannya dengan teriakan itu.

“Manusia sudah mempertaruhkan segalanya! Aku kehilangan Shuvi! Hanya untuk sesuatu bernama gencatan senjata selama 10 tahun yang kau sebut kemenangan!? Lalu apa!?? Kami akan kembali ke dunia dimana kita bersembunyi karena takut pada kematian!? Apa kau bercanda, sialan!!! Ini bahkan tidak bisa disebut seri! Apa yang kau pikir hingga kau merasa jika neraca permainan ini sudah seimbang!??”

....

Keheningan lah satu-satunya jawaban yang didapatkan oleh Riku, lalu anak laki-laki dalam bayangan Riku pun menghilang.

“... Haha... aku benar-benar sudah tidak punya harapan lagi...”

Meski begitu, Riku sudah tidak perlu lagi bersikap sok kuat. Karena itu dia tertawa dan menerimanya: Ya, benar. Tubuhku terasa sangat sakit. Terkontaminasi mayat spirit membuat kulitku terasa sakit sepanjang waktu. Aku bahkan tidak bisa ingat kapan terakhir kali aku bisa tidur dengan nyenyak. Sekarang, minum air saja membuat tenggorokanku terasa terbakar. Pengelihatanku sudah tidak jelas, dan aku khawatir karena pertahananku saat ini penuh dengan celah. Sepertinya sebentar lagi aku akan benar-benar buta.

Ya, benar. Aku mengakuinya... lagi—aku kalah sekali lagi. Ini adalah kehidupan dimana aku tidak akan pernah bisa menang—aku sudah lelah dengan semua ini. Kupikir dengan adanya Shuvi aku bisa bertahan di dunia ini. Jika aku bisa berbicara pada Shuvi, melihat wajahnya, memegang tangannya... Aku bahkan bisa melupakan kesengsaraan yang sedang kurasakan.

Riku mengingat kata-kata Shuvi.

... Kau tidak boleh... mati... Kau harus hidup... hingga aku mati...

Ya, kalau dipikir-pikir... karena sekarang Shuvi sudah mati, bolehkan dia mati juga sekarang? Dia hanya perlu menjatuhkan dirinya ke lantai, lalu mengosongkan pikiran... seakan sedang pergi tidur... ya...

...

“... Spieler, Riku.”

Saat kesadarannya mulai menghilang—dan jiwanya juga—Riku mendengar sebuah suara. Suara mekanik itu sangat dia kenal—itu adalah suara yang pernah dia dengar sebelumnya... Karena itulah Riku menolehkan kepalanya. Tapi, saat dia sudah menolehkan kepalanya... berapa lamapun dia menunggu, sosok yang sedang berdiri di hadapannya hanyalah sosok dengan jubah panjang yang tersembunyi dalam bayangan.

“... Siapa kau?”

Riku tidak bertanya ‘Makhluk apa kau?’. Dia tidak perlu melakukannya. Sesuatu yang muncul dari balik jubah itu membuatnya yakin. Sosok yang ada di depannya memiliki tubuh mesin—dia memang bukan Shuvi, tapi dia adalah Ex-Machina lain.

“... Aku tidak memiliki nama, tapi kau bisa memanggilku dengan sebutan yang kumiliki: Einzig.”

Riku ingin bertanya apa yang dia inginkan, tapi...

“... Keinginan dari Prayer Shuvi lah yang membuatku datang ke tempat ini.”

Ex-Machina yang terlihat seperti laki-laki dewasa itu—Einzig—mengatakannya sambil menunjukkan sesuatu yang berada di telapak tangannya. Riku mengambil benda itu... dan terdiam. Itu adalah sebuah cincin kecil. Bentuknya memang sudah hancur, tapi dia tahu... itu adalah cincin milik Shuvi.

“... Spieler Riku. Kau belum kalah.”

“... Aku... apa...?”

Pada Riku yang masih kebingungan, Einzig pun berkata dengan tenang.

“Peraturan yang dibuat oleh Spieler tidak berkata jika alat juga tidak boleh dihancurkan.”

 

Secara tidak sadar, Riku mengayunkan tinjunya untuk menghantam wajah Einzig. Orang ini punya nyali mengatakan jika istrinya—Shuvi—adalah alat. Riku tidak peduli meski dia Ex-Machina atau apapun itu, dia tidak akan mengampuni bajingan sepertinya!! Saat dia mengepalkan tangannya, benda yang ada di telapak tangannya membuatnya berhenti. Einzig bilang misinya adalah keinginan dari Prayer. Cincin yang diserahkan pada Riku itu pun membuat Riku sadar.

 

... Percaya. Jika Riku hanya perlu mempercayainya...

“Jika aku percaya itu... kematian Shuvi tidak akan dihitung sebagai pelanggaran... Apa itu yang kau maksud?”

... Jangan bercanda. Riku menatap cincin itu dan terdiam. Einzig yang ada di sebelahnya kemudian berkata.

“... Pesan: “Check... Riku... kuserahkan... sisanya... padamu...”—Pesan berakhir.”

“... Hanya itu?”

“..... Ya.”

Riku menyeringai dan mengangkat wajahnya. Sekarang dia bisa melihat anak laki-laki yang duduk di sebrang meja, dan berkata: Permainan belum selesai.

“Haha... Sialan kau Shuvi... Kenapa kau melakukan semua ini padaku...?”

Riku mengatakannya dengan nada tercekat seakan ada sebuah batu besar yang menghalangi tenggorokannya. Setelah itu dia menatap langit-langit gua tempatnya berada.

Ah... kau tidak pernah memahami apa itu ‘hati’, Shuvi. Kenapa kau bisa mencintai kotoran busuk sepertiku ini...?

 

... Dari semua hal yang kau ingin aku melakukannya... kau akan membuatku melakukan ini—Riku ingin mengatakannya dengan keras, tapi dia menelan semuanya. Riku pun berdiri sambil menggenggam erat cincin Milik Shuvi. Dia mengulai kata-kata Shuvi seperti mantra dalam kepalanya.

 

Jika ini adalah keinginan Shuvi yang datang dari ‘hatinya’... Jika dia merasa jika ini adalah satu-satunya cara untuk keluar dari stagnasi yang mereka lalui—sebagai suaminya, Riku hanya bisa percaya... meski kepercayaan itu terasa sangat sakit hingga dia merasa sangat hancur karenanya.

Karena Shuvi yang memintanya melakukan ini... pasti lebih membenci dirinya sendiri.

 

Demi dia, Riku akan melakukannya. Dia akan mengambil apa yang sudah dirusak oleh Shuvi—demi akhir yang mereka inginkan... sekali lagi saja... dia akan menyimpan dan menguncinya rapat-rapat.

 

.... Klak!

 

Chapter 4-6     Daftar Isi     Chapter 5-1

 

Komentar

Postingan Populer