NGNL Vol. 6 Chapter 3 Part 9
Disclaimer: Not mine
XXXX
Pertandingan catur mereka terdiri dari 12 babak. Nina
memenangkan 5 babak, kalah 4 babak dan seri 3 babak. Pada akhirnya wanita Elf
itu berhasil menang. Karena itu Riku memberikan informasi yang dia inginkan—koreksi: Informasi yang Riku ingin berikan
padanya sambil mendapatkan informasi yang dia inginkan. Tapi Elf itu
hanya menopang kepalanya dengan tangan dan menggerutu.
“Mendetonasi ether dari Old Deus yang di-deaktivasi...?
Tikus sialan, mereka sudah gila...”
Di sisi lain, Riku hanya menundukkan kepalanya dan bergumam
dalam hati, Wah... Lihat siapa yang
bicara.
Riku, sambil terus berpura-pura mengetahui apa itu Aka Si
Anse... dia berhasil mendapatkan informasi tentang prinsip kerja mantra tingkat
tinggi tersebut.
(Orang yang bisa
memikirkan cara untuk membuat Phantasma meledakkan diri malah menyebut orang
lain gila karena meledakkan ether Old Deus yang sudah tidak aktif—ini sama
sekali tidak lucu.)
Dunia ini sudah
mencapai titik dimana semua orang dan semua makhluk yang ada di dalamnya
menjadi gila. Riku melakukan komlplain dalam hati.
“Tunggu sebentar.”
Riku yang baru saja berdiri dari tempat duduknya pun
terhenti.
“Aku tidak tertarik untuk mencampuri urusanmu dan bertanya
darimana kau mendapatkan informasi seperti ini. Dan hingga aku berhasil
membuktikannya, aku akan menganggap informasi ini sebagai dugaan.”
“Tentu saja. Itu keputusan yang sangat bijak.”
“Satu hal lagi.”
Elf itu menatap Riku dengan sangat tajam. Jika bukan karena
‘itu’, identitas Riku pasti sudah terbongkar. Nina terus menatap Riku seakan
dia ingin membunuh hantu itu.
“Selama permainan berlangsung, kau terlihat sengaja mengalah beberapa kali. Aku akan
bertanya sekali lagi...”
Tergantung dari jawaban sang hantu, tidak peduli siapa dia,
Nina akan langsung menyerangnya dengan semua mantra serangan dan siksaan yang
dia ketahui. Meski hal ini akan merugikannya, dia tetap menatap Riku dengan
niat seperti itu.
“... Apa kau ini musuh? Apa kau sekutu?”
Tapi sayangnya...
“Ini kali keduanya aku berkata jika aku bukan musuh ataupun
sekutumu. Tapi...” Riku tersenyum. Baginya, tatapan penuh nafsu membunuh dari
Nina hanyalah sepoian angin yang lembut. Bagi mereka yang selalu hidup di bawah
bayang-bayang kematian, tatapan seperti
itu tidak lebih dari sekedar harapan kecil.
“.... Jika jawabanku gagal memuaskanmu, aku akan menambahkan
ini.”
Setelah berhasil melalui berbacai cobaan dalam hidupnya,
Riku akhirnya bisa berbicara dengan menggunakan ‘hati’nya.
“Aku berharap tidak ada dari kalian yang mati.”
...
“Baiklah, tuan hantu. Jadi kau sejak awal memang berencana
memberikan informasi ini padaku.”
Dia pasti sudah memeriksa kebenaran kata-kata Riku
setidaknya sekali dengan menggunakan semua sihir deteksi yang dia miliki.
Tidak ada kebohongan pada kata-katanya... karena itu memang
perasaan Riku yang sesungguhnya. Meski begitu, Nina tidak bisa memahami tujuan
Riku yang sebenarnya, meski dia berkata jika dia bukan musuh maupun
sekutunya...
“... Aku akan menyimpulkan jika kau tidak bermaksud buruk
pada kami. Dan memang itu yang kau
inginkan, benar?”
Nina menunjukkan seringaiannya dan berkata.
“... Ngomong-ngomong~~.”
Nada bicara Nina tiba-tiba berubah—bukan, tapi lebih
tepatnya sifat yang dia tunjukkan pada Riku tiba-tiba berubah 180 derajad.
“Aku tahu beberapa hal... yang tuan hantu tidak ketahui~~~.”
Seakan dia adalah Elf yang berbeda dari Elf yang bermain
catur bersama Riku.
“Nina Clive hanya nama samaranku. Nama aslikuuuu~~~.”
Nina menunjukkan senyum sombong penuh percaya diri.
“... Nama asliku... Think Nirvalen~!”
Dan kemudian dia tertawa.
“Ini adalah sifat aslikuuu. Apa kau juga sudah mengetahuinya
sejak awaaaaal~~.”
Saat Nirvalen menatap Riku dengan senyum jahil di wajahnya,
Riku hanya terus menundukkan kepalanya dan menjawab dengan tawa kecil.
“Ya. Aku tahu.”
“....”
“Apa kau pernah dengar aku memanggilmu Nina?”
Dokumen-dokumen yang ditulis dalam bahasa kode hingga ke
bagian nama pembuatnya—adalah hal yang wajar. Tapi, karena sekarang Riku sudah
memahami prinsip kerja Aka Si Anse, kerahasiaan itu menjadi semakin masuk akal.
Think Nirvalen tidak bodoh hingga dia mau menuliskan namanya
sendiri dalam dokumen serahasia itu.
“Hehehe... Jujur sajaaa... saat ini bagian dalam tubuhku
terasa seperti ingin meledaaaak!”
Elf terkuat—yang juga menganggap dirinya sendiri sebagai
aktor profesional—tertawa kesal saat mendengar jawaban Riku. Sekali lagi dia
gagal membuat Riku terkejut. Tapi...
“Maaf, tapi akting adalah keahlian para hantu... Aku tahu
bagaimana kau melakukannya.”
Ya.
“Karena itulah aku
memilihmu.”
Alasan terakhir kenapa Riku memilih Think adalah: Dia akan
menutupi kontaknya dengan hantu secara menyeluruh, menggali bukti dari
informasi yang dia dapatkan, dan kemudian—memimpin Elf lainnya ke jalan yang
paling menguntungkan. Saat Riku berjalan menjauh, Think sudah tidak
memperhatikannya lagi.
“Ngomong-ngomong, tuan hantu... Apa kau pernah dengar soal
iniiii? Elf adalah makhluk pendendam dan tidak akan melupakan dendam
merekaaaa?.”
“Ya, aku pernah mendengarnya beberapa kali. Mereka bilang
para Elf akan membalas dendam mereka meski itu butuh beberapa generasi.”
Think tertawa saat mendengar jawaban itu..
“Aku menerima informasi ini dengan senang hatiii dan
berharap kau tidak akan matiii. Tapiii...”
Nina menatap Riku dengan tajam. Senyum yang ada di wajahnya
terlihat berbahaya.
“Jika aku sampai tahu kalau kau berbohong padaku, tuan
hantu... aku pasti akan mencari dan membunuhmu. Aku berjanjiiii. Aku tidak
menyangka jika kau berani
mempermainkankuuu, dari semua Elf, di telapak tanganmu. Aku pasti akan
membuatmu menyesaaaal—Karenaaa, rumor kalau Elf tidak pernah melupakan dendam merekaaa...
berasal dari keluarga Nirvalen~~!!!”
.... Hm.
“Aku baru pertama kali mendengarnya... dan aku mulai
menyesal karena sudah memprovokasi lawan yang menyulitkan.”
Setelah mengatakannya, Riku langsung berjalan pergi dan
Think hanya melihatnya sambil menunjukkan senyum yang bisa membunuh seseorang.
XXXX
“.... Riku! Cepat...! Minum... ini!”
Di sebuah gubuk tidak jauh dari kediaman Think, Shuvi
menghampiri Riku yang sedang mengerang kesakitan dnegan terburu-buru. Pemuda
itu merasa jika kesadaran dan nyawanya bisa menghilang kapan saja. Dia bahkan
sampai berhalusinasi jika ada seseorang yang menuangkan besi cair langsung ke
dalam tubuh dan seluruh pembuluh darahnya. Tunggu,
itu mungkin bukan halusinasi. Riku tertawa. Berpura-pura menjadi hantu di
depan Elf, ras dengan kecakapan sihir paling tinggi—dan dari semua Elf, yang
menjadi lawannya adalah penyihir terbaik mereka. Dalam keadaan normal, spirit
yang ada di tubuhnya pasti sudah terbongkar sejak awal. Jadi apa yang bisa dia
lakukan? Sederhana. Jadilah makhluk yang
tidak bisa dikenali.
“Kita harus... mengeluarkan... spirit yang mati...
secepatnya... kalau tidak... Riku, kau bisa mati!”
Shuvi langsung meminumkan cairan dekontaminasi—sesuatu yang
setara dengan darah dalam tubuh Ex-Machina—pada Riku.
Ya, Riku baru saja memakan abu hitam dan mengkontaminasi
dirinya sendiri dengan spirit yang sudah mati. Spirit yang rusak—mati. Bahkan
penyihir terbaik sekalipun tidak akan bisa mengidentifikasi tubuh yang terkena
kontaminasi spiritual. Seseorang yang memiliki otak cerdas sekalipun tidak akan
pernah menyangka jika ada orang yang akan melakukan bunuh diri dengan cara seperti itu.
“... Riku! Kau bohong...! Kau bilang... 1 jam... ini
sudah... 2 jam!”
Riku langsung menelan dan melapisi seluruh tubuhnya dengan abu
hitam dengan dosis yang hampir tidak aman,
seperti yang sudah diperhitungkan Shuvi sebelumnya. Tapi perhitungan letalitas
abu hitam yang dihitung Shuvi hanya menoleransi penggunaannya selama 1 jam
saja. Tubuh Riku yang sudah dimasuki oleh abu hitam saat ini sedang
digerogoti... dihancurkan secara perlahan dari dalam. Jika dia tidak di
dekontaminasi secepatnya—seperti kata Shuvi—dia bisa mati. Tapi...
“Apa yang bisa... kulakukan...? Wanita itu... lebih kuat...
dari dugaanku...”
Riku terlihat sangat kesulitan saat menjawab pertanyaan
Shuvi. Dia tidak pernah berpikir ada seseorang yang lebih hebat dalam catur
jika dibandingkan dengan Shuvi. Think Nirvalen mungkin tidak bisa mengalahkan
Ex-Machina, tapi dia memberikan perlawanan yang sangat baik. Riku bergumam
dengan nada sinis, ‘Sengaja kalah? Baik
sekali dia... dia terlalu banyak berpikir.’. Riku berhasil mendapatkan
informasi yang dia butuhkan, tapi selainnya dia
benar-benar melawan Think dengan serius dan kalah. Semuanya berkat
gertakannya yang sukses. Satu langkah salah saja, Riku bisa mati di tangan Elf
itu.
“... Rikuuu! Sedikit lagi... minum sedikit lagi...!
bertahanlah...!”
Jika dekontaminasi yang dilakukan Shuvi gagal... ah,
sepertinya Riku tidak perlu menunggu terlalu lama.
Pada akhirnya, kulit Riku tidak akan bisa kembali seperti
semua. Dia sudah melihat banyak orang yang mengalami hal ini setelah mereka
menyentuh abu hitam dengan tangan kosong. Terbakar dan gosong—semua bekas luka
itu akan ada selama Riku hidup. Tapi entah berapa banyak tahun lagi dia bisa
hidup... jika dia bisa hidup selama itu... Riku harus selalu menggunakan perban hingga mati.
Tidak hanya di permukaan saja. Organ dalamnya pasti sudah tekena dampaknya.
Satu-satunya orang bodoh yang mau memakan abu hitam adalah Riku sendiri. Dan
faktanya, dia adalah orang pertama yang melakukannya. Jika kulitnya terlihat
segosong ini, kau bisa menebak separah apa kondisi organ dalamnya. Dia mungkin
tidak akan bisa memakan makanan yang biasanya dia makan, dan setidaknya dia tidak
mendapatkan asupan nutrisi dari hidungnya. Fungsi jantung dan paru-parunya
sepertinya masih cukup bagus.
Kecuali semua spirit mati itu sudah masuk ke aliran
darahnya. Tapi...
“Riku... kau bilang... tidak ada... yang akan mati... tidak
boleh ada... yang mati!”
Shuvi masih mencoba sekuat tenaga untuk mendetoksifikasi
tubuh Riku. Tapi, Riku berpikir.
Ini hasil yang
sepadan. Dia berhasil membongkar rahasia ‘Aka Si Anse’ milik Elf—dan
bagaimana cara penggunaannya—jika dia bisa mempercayai apa yang dikatakan
Think. ‘Kapal besar tempat mereka bisa
mengangkutnya.’. Sementara itu dia mendapatkan informasi mengenai E-bomb
milik Dwarf dari map yang mengorbankan nyawa Ivan. Sekarang... akhirnya, berkat
kerja sama seluruh hantu yang menyebar di berbagai teritori, dia bisa menyelesaikan tujuan pertama
mereka. Memindahkan medan perang ke sebuah tempat yang jauh dari tempat
tinggal manusia. Dan kemudian... Riku
tertawa. Rencana akhir mereka hampir bisa dilakukan—tapi...
“Hei, Shuvi... berapa lama lagi... aku bisa hidup?”
Tujuan Riku menanyakannya adalah untuk memastikan apakah dia
bisa bertahan hidup atau tidak saat rencana akhir mereka dimulai. Tapi, Shuvi
hanya menoleh dan menatapnya dengan sangat tajam.
“... Kau tidak akan... mati... Kau harus hidup... sampai
aku... mati... Riku!”
“Hei... hei, berapa lama... Ex-Machina bisa hidup...?”
“... Masa aktifku... kurang lebih... 892 tahun lagi...”
Meski tubuhnya terasa sangat sakit, Riku masih bisa tertawa
saat mendengar jawaban Shuvi.
“Haha... Kurasa aku harus... berjuang keras..”
Ini bukan tempat...
aku belum boleh mati... tidak di sini....
XXXX
Para hantu berkumpul
sekali lagi dan pemimpin mereka membuka sebuah peta di atas meja. Kebanyakan
bidak catur sudah diletakkan di tempatnya masing-masing.
Sekarang—yang tersisa
adalah ratu putih...
“Ini adalah Flügel.”
Setelah
itu si pemimpin meletakkan ratu putih itu di atas map. Itu adalah koordinat
dari Avant Heim.
Sang ratu.
Bidak paling kuat. Para hantu mengangkat alis mereka saat melihat letak bidak
itu. Bukan Phantasma atau Old Deus... tapi Flügel.
“...
Karena mereka sangat kuat?”
Pemimpin
hantu itu tertawa.
“Itu juga,
tapi alasan utamannya adalah karena mereka tidak berkembang.”
Tidak ada
yang tahu apa maksud pemimpin itu, tapi salah satu hantu berkomentar saat dia
menyadari bahwa hanya ada bidak putih di atas meja.
“Tapi...
kenapa semua bidaknya putih? Apa mereka semua sekutu kita?”
“Itu
benar. Kita akan menang... tanpa mengambil satu bidak pun. Kita tidak memiliki
musuh.”
“Hei, tapi
bagaimana kau bisa tahu kalau kita berhasil menang?”
Saat si
pemimpin mendengar pertanyaan itu, dia menunjukkan senyum sombongnya dan
menunjukkan sebuah bidak hitam.
“Jika kita
berhasil mendapatkannya... kita menang.”
“... Kau
bilang kita akan menang tanpa mengambil bidak manapun... Tapi sekarang kau
berkata jika kita harus membunuh
seseorang?”
Semua
hantu menatap pemimpin mereka dengan tatapan bingung. Tapi pemimpin itu malah
melebarkan senyumnya dan mengangkat bidak hitam itu...
“Apa kau
tidak mendengar kata-kataku? Peraturannya tidak boleh dilanggar. Tidak akan ada
yang mati karena raja hitam ini...”
Pemimpin
itu langsung membanting bidak itu ke meja dan berkata...
“...
Adalah dia.”
Semua
hantu menatap bidak itu dengan mata membelalak, dan beberapa saat kemudian
mereka tersenyum.
Chapter 3-8 Daftar Isi Chapter 4-1
Komentar
Posting Komentar