NGNL Vol. 7 Chapter 1 Part 8
Disclaimer: Not mine ges...
XXXXXXX
“Benar sekaliiiii!! Bahkan Shiro saja tahu! Jadi TUGAS ini masih sah~~.”
Tugas yang tidak
bisa diselesaikan oleh orang lain selain pemberi tugas akan dianggap tidak sah.
Misalnya, jika Jibril menulis ‘Gunakan kekuatanmu sendiri untuk berteleportasi’.
Kemungkinan peraturan itu juga dibuat untuk menghindari perintah yang tidak
mungkin seperti ‘Prediksi di tahun berapa kau akan mati dengan benar’. Sebaliknya,
tugas itu dianggap sah jika setidaknya ada 1 orang yang bisa menyelesaikannya.
“Artinyaaa! Bagaimana
dengan ‘Sebutkan 3 mods dimana kau bisa menghancurkan para bajingan yang
memberi perintah untuk membunuh Paarthurnax’ atau ‘Sebutkan judul dari 3 game
porno pertama yang dibeli Sora, yang membuat jantungnya berdebar saat dia
merayakan ulang tahunnya yang ke-18?’ Pertanyaan seperti ini, yang jika saja
kau memiliki pengetahuan soal dunia lain—tidak, meski kau punya—itu adalah
pertanyaan yang überquestionable—tidak bisa dijawab, oke!! Kau mengerti!?”
Sora mengatakannya sambil menari-nari di depan Izuna.
Wajahnya mirip seperti seseorang yang ingin agar Buddha menamparnya.
“... Nii, itu... über-cheap…über-epic...”
“... Kalian benar-benar
parah.... Tidak aneh kalau Izuna-san sampai marah...”
Saat Shiro menatap Sora dengan tatapan kagum, Steph malah
menatap pemuda itu dengan tatapan jijik.
“Aku mengikuti aturannya... Nasi sudah menjadi bubur, Izuna. Kuharap
kau sudah tidak terlalu marah lagi.”
Sora tersenyum sambil mengulurkan sebuah sate ke arah Izuna
yang sedang merajuk. Gadis Werebeast itu berkata.
“... Rasanya sedikit lebih baik, desu. Tadi rasanya
benar-benar seperti kotoran, tapi sekarang hanya seperti sampah, desu.”
Pipi Izuna menggembung setelah dia memasukkan daging itu ke
dalam mulutnya. Beberapa saat kemudian gadis kecil itu mengayunkan ekornya
dengan perasaan senang.
“……”
Sora melihat Steph yang sedang mengernyitkan alisnya dengan
ekspresi aneh dan kemudian tertawa.
Dia bisa membaca rasa bingung Steph dengan mudah. Entah dia
mengikuti peraturan atau tidak, ‘Tugas’nya adalah sebuah trik murahan. Setelah
72 jam berlalu, Sora akan mengambil dadu milik Izuna—nyawanya. Dia sudah
membunuh 1/10 bagian gadis kecil itu, dan mau
bagaimanapun Izuna adalah salah satu orang yang sudah menolongnya. Kenapa Izuna
hanya memarahinya dan tidak menyerang dan menyakitinya? Kenapa... Seperti
perkataan Sora sebelumnya. Mereka memang saling mengkhianati, tapi mereka tidak
saling bunuh?
“... Sora, Shiro...
Aku tidak akan—kalah dari kalian, desu...?”
Izuna bertanya untuk
memastikan sesuatu, dan menggunakan nada tanya pada kalimatnya. Sora dan Shiro memegang
sate yang masih tersisa.
“Kami sudah berterima
kasih padamu karena sudah menyelamatkan kami. Jika kau berpikir kami akan
memberimu kompensasi lebih seperti membiarkanmu menang, sebaiknya kau berpikir
ulang~.”
“... Izuna-tan, kau
berhasil... mendapatkan... hadiah kedua... kamilah yang... akan mendapatkan...
hadiah pertama...”
“Hebat sekali kalian
bisa berkata seperti itu pada orang yang sudah menyelamatkan nyawa kalian,
padahal kalian hampir saja menyerah dan memilih pergi dari dunia ini...” Gerutu
Steph. Dia merasa kagum sekaligus jijik pada kakak beradik ini.
“... Mm! Aku akan
mengalahkan kalian, desu!”
Izuna yang sepertinya sudah menemukan jawaban yang dia cari langsung
memakan semua sate yang dia pegang dan kemudian berkata dengan senyum lebar di
wajah.
“Nyam, nyam... Aku akan menyalipmu dengan cepat. Siap-siap saja,
desu!”
Setelah itu Izuna memeluk ekornya dan menggulung badannya
membentuk bola. Mulutnya masih penuh dengan daging. Sora dan Shiro berdiri saat
Izuna memberitahu mereka jika dia akan tidur hingga penalti 72 jam berlalu.
“Kurasa sebaiknya
kita segera berangkat. Apa keretanya baik-baik saja?”
“Ya... kurasa... Hei,
apa kita akan meninggalkan Izuna-san sendirian di sini? Itu berbahaya!”
“Ya... Benar-benar
berbahaya... untuk kita.”
Steph tertegun saat mendengar gumaman pelan dari Sora. Jika
dia mendengarkannya sungguh-sungguh, dia bisa memahami makna
dibaliknya—keberadaan monster yang tadi diusir Izuna sedang menunggu gadis
Werebeast itu tertidur. Target mereka sudah tentu bukan Werebeast yang sedang
tertidur itu. Tidak masuk akal bagi mereka memburu sang predator. Tentunya yang
menarik perhatian mereka adalah 3 domba yang menggunakan kulit serigala.
“... Mari menerima
kebaikan Izuna dengan lapang dada... Dan segera pergi dari sini mumpung dia
masih bangun.”
Izuna yang belum tertidur dan masih menjadi ancaman bagi
para monster hanya tersenyum tipis. Saat mereka melihat senyum itu, ketiganya
langsung naik ke dalam kereta dan pergi dari sana secepat mungkin.
XXXXX
Di kotak 59—78 jam setelah game dimulai. Kereta yang berisi
3 penumpang itu berjalan melalui sebuah tebing curam. Menurut peta milik Shiro, daerah di sekitar mereka adalah
hasil copy dari daerah perbatasan Elkia di sebelah timur laut. Dan dengan
keberuntungan yang mereka miliki, daerah itu adalah daerah dengan jurang
terbesar yang ada di Disboard dan dikenal dengan nama Oblivion. Retakan planet
yang berwarna biru indah itu memanjang hingga melewati samudra dan 2 benua.
Dikatakan jika jurang ini adalah bekas dari perang besar... Pertarungan
terakhir yang terjadi di planet ini. Sora yang sedang mendengarkan raungan
petir, geraman dari dalam perut planet— aliran energi yang memahat planet ini
pun berpikir.
Sudah 21 kotak kami lalui setelah berpisah dengan Izuna.
Perbatasan Spirit Forest pasti sudah jauh di belakang kami. Menurut intel dari
Steph, harusnya tidak ada monster selain di tempat itu. Harusnya kami sudah
keluar dari area berbahaya sekarang. Kami sudah aman. Haruskah aku, haruskah
aku, haruskah aku...!!
“Aku tidak percaya!
Aku tidak percaya ini! Siapa yang ada di belakang kita? Tidaaaak adaaaa...!!
Apa mereka mencoba membuat kita lengah? HUH!?”
“... Aku tidak akan
terjebak... Dimana kalian? Dimana kalian... bersembunyi...?”
Sora dan Shiro sedang dalam mode super waspada dan
bertingkah seperti player penakut dalam game horror. Mereka selalu ketakutan
saat melihat mayat yang sudah tidak bergerak dan tidak pernah membuat kemajuan
sedikitpun. Mereka bahkan masih khawatir dengan keberadaan monster-monster itu
meski kamera zoom mereka tidak menunjukkan apa-apa.
“... Aku paham dengan
apa yang kalian rasakan. Tapi ini sudah satu setengah hari sejak sat itu!
Kalian tidak perlu terus-terusan khawatir seperti itu...”
Ya, sudah 36 jam berlalu sejak mereka terakhir melihat para
monster itu. Setelah berkendara tanpa henti, kuda mereka (dan juga Steph) sudah
mencapai batasnya dan mereka harus beristirahat beberapa kali di sepanjang
jalan. Saat mereka sedang berhenti, Sora dan Shiro berjaga bergantian, tapi
tidak ada monster yang datang. Pada akhirnya, Steph menjadi kesal saat melihat sikap
paranoid kakak beradik yang tidak kunjung hilang itu.
“... Shiro, bagaimana
menurutmu? Aku mungkin sudah siap untuk percaya kalau kita sudah aman?”
“... Aku percaya...
apa yang nii... pikirkan...”
Hmmm. Kalau begitu sudah diputuskan.
“Kita selamat,
Shiro.”
Setelah mengatakannya, Sora dan Shiro berpelukan sambil
berbaring di lantai kereta. Air mata menetes deras dan membasahi pipi mereka.
Mereka juga saling menganggukkan kepala seakan sedang meyakinkan diri jika
mereka benar-benar sudah selamat.
... Ah, langitnya biru
sekali. Matahari sialan itu bahkan terasa sangat hangat. Begitu pikir
keduanya.
“Maafkan semua
pelanggaran yang kami buat... Berikan kami berkah di sepanjang hidup kami...”
“... Hallelujah...
ngantuknya...”
“He... Tunggu dulu!!
Kita akan dapat masalah besar kalau kalian tidur sekarang!!” Teriak Steph yang
kesusahan karena kereta tiba-tiba bergoyang cukup keras pun berusaha menyeimbangkan
kereta agar mereka tetap berada di jalur yang aman.
“Masih ada 3 kotak
lagi hingga kotak 62! Bahaya... dan tugas lain... sedang menunggu kita!!”
Bahaya? Tugas? Hmmm...
Sora memiringkan kepalanya. Benar juga. Mereka hampir sampai di kotak yang
ditunjukkan oleh dadu mereka—kotak 62. Saat mereka berhenti di sana, mereka
harus menyelesaikan ‘tugas’ yang sudah disiapkan oleh seseorang.
“... Dibandingkan
dengan dikejar para monster, tugas apapun pasti lebih mudah...”
Sora sudah berpikir sebaik dan seserius mungkin untuk
mendapatkan kesimpulan serius itu, dan Shiro menganggukkan kepalanya saat dia
mendengar ucapan sang kakak. Dalam game yang bertujuan untuk mengambil dadu
milik lawan—nyawa mereka—dan membunuh mereka secara tidak langsung ini, halangan
terbesar adalah... tugas-tugas itu. Tapi menurut mereka berdua, jika
dibandingkan dengan kelaparan, kerja lembur, dan predasi, maka tugas tidak
terasa seberbahaya itu...
“....!....! A-aku
sedikit percaya padamu... Tapi kurasa masih ada bahaya di depan sana!”
Chapter 1-7 Daftar Isi Chapter 1-9
Komentar
Posting Komentar