NGNL Vol. 7 Chapter 1: Closed Circle – Inverted Form Part 1

 Disclaimer: Saya cuma nerjemahin aja.

>>>>><<<<<

Hampir 7 jam berlalu sejak game dengan Old Deus dimulai, dan sekarang Sora sedang berlari melintasi lorong yang ditutupi bayang-bayang malam hari.

 

Tidak ada bintang yang muncul di langit yang dikelilingi oleh bangunan-bangunan pencakar langit. Aspal yang keras memantulkan suara tetes air hujan dan langkah kakinya. Di tangannya terdapat pistol, dan matanya memantulkan bayangan yang kian mendekat—musuhnya.

 

Tssk!

Sora berdecih. Dia melihat sosok musuhnya, dan pikirannya secara otomatis menyuruhnya untuk menarik pelatuk. Hammer mengenai cap pistol dan mendetonasi selongsong peluru yang ada di dalamnya. Tangan Sora sedikit tersentak saat pistol itu memuntahkan isinya. Gas supersonik dipaksa keluar dan mempercepat keluarnya timah panas yang nantinya membelah udara. Dalam hitungan kurang dari 1 milidetik, timah dan cahaya berubah menjadi senjata mematikan yang menembus gelapnya malam. Yang terlihat saat cahaya itu muncul adalah sebuah bayangan—tubuh seorang Werebeast kecil terkena tembakan pistol Sora.

Ya, tubuh itu... Sora tidak mengincar kepalanya. Dalam game keruh seperti ini, dia tidak bisa mempercayai kekuatan yang muncul dari sebuah pistol. Tidak, bahkan peluru dari pistol yang berasal dari dunia lamanya saja bisa terpental jika mengenai tegkorak—tulang terkeras dari seluruh tubuh manusia—jika sudut tembakannya salah. Dan musuhnya saat ini bukan manusia, tapi Werebeast dan juga beberapa monster yang lebih kuat dari itu. Dia mengarahkan pistolnya ke bagian segitiga yang ada di antara dagu dan dadanya. Peluru itu bisa melumpuhkan target mau dimanapun peluru itu mendarat. Dan jika keberuntungannya sedang tinggi, Sora bisa berharap jika peluru itu bisa mengenai organ dalam targetnya. Peluru yang ditembakkan dengan pikiran dingin dan kalkulasi matang itu langsung menembus tubuh Werebeast itu dan membuat tubuh kecil itu terbang beberapa meter ke belakang dan menjadikannya mayat tak bernyawa.

Sora berhasil membunuhnya. Ya, dia membunuhnya.

 

Game ini sangat sederhana. Sora tertawa pada dalam hati.

Siapapun pengkhianatnya, hal itu tidak penting untuk Sora. Dia cukup mengeluarkan 1 nama dari daftar itu—adik perempuannya—dan membunuh semua pemain lainnya. Mengalahkan mereka yang bisa berkhianat adalah jawaban paling sederhana yang muncul dalam plot game ini.

 

Ya. Ini sangat sederhana. Sora terkikik pelan. Mudah, tapi level yang dia mainkan ada di atas ‘very hard’... Yang dia mainkan adalah mode ‘inferno’. Lagipula semua musuhnya adalah monster yang memiliki kemampuan jauh di atasnya. Sora mengedarkan pandangan dan memeriksa daerah di sekitarnya dengan wajah was-was. Dia bisa mendengar langkah kaki beberapa orang yang perlahan mengelilinginya.

Jika aku bisa bertemu dengan adikku... Tidak, kurasa aku tidak bisa melakukannya sekarang.

Itu adalah kalimat biasa, tapi di saat seperti ini kalimat seperti itu adalah sebuah flag berakhirnya game ini. Sora pun duduk dan berpikir. Setengah pikirannya sudah dipenuhi rasa pasrah dan putus asa sedangkan setengah lainnya masih menyimpan harapan. Sekali lagi telinganya menangkap langkah kaki yang semakin mendekatinya.

Dia menodongkan pistolnya secepat yang dia bisa. Bidikannya saat ini mengarah pada seorang gadis berambut merah. Ada sesuatu yang aneh darinya. Sesuatu—bukan, sangat sulit untuk menemukan sesuatu yang tidak aneh darinya sekarang. Akan tetapi, meski sekarang pikirannya sedang campur aduk, suara Sora tetap terdengar tenang.

“Hei, kenapa kau juga ikut dalam pengepungan ini...? Tidak, pertanyaan itu bisa menunggu. Apa kau membawa adikku? Apa kau menemukan...?”

“Aku menemukannya... Aku menemukan sebuah jalan.”

Tidak ada suara setelahnya, hanya ada rasa sakit yang tiba-tiba muncul. Sesaat kemudian, dia menegrti. Sebuah peluru menembus tubuh gadis berambut merah itu dan mendarat di perutnya.

“Ini yang seharusnya kulakukan sejak awal... Bukan begitu, pengkhianat?”

“Tidak... Itu Cuma gerta...!”

Tubuh Sora menolak untuk bergerak dan matanya yang mulai kabur menangkap sosok penembak yang baru saja mendapatkannya.

Nafas Sora mulai tersendat. Warna merah menyala dari moncong pistol itu bisa dilihat Sora dari balik asap yang masih membayang. Sosok itu adalah seorang gadis berambut putih... Seseorang yang sedang pergi untuk menemukan jalan keluar dari game tanpa harapan ini. Di samping adiknya, berdiri si gadis dengan rambut merah.

Dia menatap Sora dengan tatapan dingin dan kemudian,

“Lihat dirimu sekarang. Kalau kau bukan pengkhianatnya, lalu siapa yang berkeliling dan membunuh mereka semua!?”

“Bukan begitu...” adalah respon Sora saat dia mendengar teriakan gadis berambut merah. Atau, mungkin itulah yang ingin dia katakan, tapi yang keluar dari mulutnya hanya darah berwarna merah pekat.

“Itu... Aku, saat itu... Itu satu-satunya cara agar aku bisa melindungimu... untuk melindungi adik...”

Di saat yang sama Sora menyadarinya, dan hal itu datang bagaikan wahyu kepadanya. Dia sudah memperhitungkan jika gadis berambut merah itu akan mengkhianatinya. Tapi adiknya—satu0satunya orang yang tidak akan mengkhianatinya... Dia malah berbalik darinya. Itu artinya...

“Itu... Kau... Kaulah pengkhianatnya... Sejak awal kau... palsu...!!”

Ya. Sosok yang sekarang sedang menyeringai ke arah kakaknya yang sedang sekarat.

“Sosokmu seperti adikku. Wajahnya... Jangan menatapku dengan wajah ituuuuuu!!”

Gadis berambut merah terkejut saat mendengar teriakan Sora, tapi semuanya sudah terlambat. Cahaya itu muncul sekali lagi. Dua kali, tiga kali. Penglihatan Sora yang sangat terbatas menangkap tubuh si gadis yang jatuh ke tanah.

“... Tidak mungkin...Kau adalah satu-satunya... orang yang....

“.... Kupercaya...” bibir gadis kecil itu berucap. Mata kelamnya tidak pernah memancarkan cahaya lagi. Gadis berambut putih itu—sesuatu yang mengambil wujud adiknya—perlahan berjalan mendekatinya. Bersamaan dengan suara langkah kaki dan kematian yang kian mendekat, Sora mengambil kesimpulan.

 

                Ah. Game ini memang sampah.

 

Aku tidak menyangka hal seperti itu akan terjadi, aku mengakuinya. Tapi bagaimana mungkin aku memperkirakan sesuatu yang seperti itu, bogoh? Siapa yang menyangka kalau dia itu palsu? Dan darimana kalimat seperti itu muncul...’Kau adalah satu-satunya orang yang kupercaya’? Katakan yang seperti itu diawal. Kau tidak bisa menyebutnya pertanda jika itu terjadi di saat yang sama dengan momen pentingnya!

“Kira-kira... Apa yang salah... Untuk apa aku melakukan semua...?”

Karakter utama tetap meneruskan dengan segala kesombongannya meski game ini sudah pasti gagal, dan Sora hanya bisa meratapi kegagalan itu.

Ya, untuk apa semua itu kulakukan? Dia hanya bisa bertahan dalam permainan super sulit ini demi ‘adiknya’. Tapi alasan itu hanyalah ilusi. Jika begitu untuk apa dia berjuang? Kenapa dia bekerja sekeras ini? Plot, taktik, strategi yang dia bangun selama ini... Untuk apa semua itu...?

“Bye-bye... Nii...”

Hanya satu tembakan. Peluru itu menembus tubuhnya, tapi rasa sakit yang timbul terasa bagai selamanya. Suara gadis berambut putih yang mirip dengan robot itu bergema di dalam gelapnya malam.

 

“... Nii... Bagaimana rasanya... mati sebagai, perjaka..?”

...

Tuuuuungguu sebentaaaar.

Beneran, deh. Tunggu sebentar!

“Hei, Shiro, tidak mungkin dia berkata seperti itu! Kau pasti sedang mempermainkanku karena aku tidak bisa bahasa Werebeast, iya kan? Jangan lakukan itu. Apa kau akan bertanggung jawab kalau aku sampai menangis!?”

Setelah itu, pemuda berambut hitam itu kehilangan kesadarannya. Sora yang duduk di depan layar hanya bisa menangis keras sambil memegang controller di tangannya.

XXXXX

Kurasa, di titik ini, kita tahu jika karakter yang ada di layar bukan Sora dan Shiro, tentu saja gadis berambut merah itu juga bukan Steph. Dan tentu, semua yang terjadi pada mereka tidak ada hubungannya dengan game yang sedang mereka mainkan dengan Old Deus—sugoroku.

 

Ini terjadi tepat setelah Sora berkata jika dia adalah si pengkhianat dan meminta dadu milik semua orang. Semua orang sudah mengisi kertas Tugas dan keluar dari ruangan masing-masing, dan tentu mereka semua—dengan nada santai berkata pada Sora—Kau yang minta. Setelah menunjukkan perasaan masing-masing, mereka langsung melempar dadu dan pergi ke arah yang berbeda-beda. Sora  dan kelompoknya pun melakukan hal yang sama—dan mengincar 62 kotak. Tapi mereka hanya maju 1 langkah. Saat mereka tiba di kotak nomor 2, mereka menatap langit dan berjalan ke rumah terdekat sambil berpikir.

 

                Oh, ini game yang menyebalkan.

 

Setelah saling mengangguk satu sama lain, keduanya mengesampingkan semua ingatan tentang game yang sedang mereka lakukan, mengurung diri dalam rumah, dan menghabiskan waktu untuk bermain game.

.... Setelah merasakan kekalahan pertama mereka, hidup dari ‘Kuuhaku’ pun berakhir. Tolong nantikan Sora dan Shido di kehidupan yang selanjutnya.

 

Chapter 0-6     Daftar Isi     Chapter 1-2


Komentar

Postingan Populer