NGNL Vol. 7 Chapter 0 Part 6
Disclaimer: Not mine. Im just a translator.
>>>>><<<<<
Whup... Dia
berhenti.
... Tunggu.
... Tunggu, tunggu,
tunggu.... Tunggu sebentar.
“... Kenapa kau ada di sini, Steph?”
“Kau sudah melakukan semua ini padaku dan hanya bertanya
‘Kenapa kau ada di sini?’. Kau pasti sedang menyiksa mentalku sekarang!? Iya
kan!?”
Sora mengabaikan teriakan Steph dan mulai menatap semua
rekannya satu per satu dimulai dari Shiro, Jibril, Izuna... Dan Plum....
.....
“.... Nii, sudah tenang...?”
“Uhh... Shiro. Mungkinkah kakakmu ini... sedikit lemot?”
Sora menghina dirinya sendiri dan menyeringai ke arah Shiro.
Adiknya itu hanya membalas seringaian kakaknya dengan senyum percaya diri.
Kepada Sora yang sedang khawatir jika dirinya tertinggal beberapa langkah dalam
game ini, Shiro berkata:
“... Aku tidak tahu... Apa yang terjadi... Tapi...”
Kakaknya tidak punya alasan untuk meragukan bakat yang dia
miliki.
“... Jika kau... Bersikap seperti biasa.... Kita akan...
baik-baik saja...”
Sora meresapi kata-kata sang adik sambil menggenggam tangannya.
Sora tahu jika dia itu bodoh. Dan sebenarnya dia cukup
membanggakan hal itu. Dia memiliki keangkuhan dan kebanggaan tertentu untuk
kebodohannya yang tidak pernah terkalahkan. Jika memikirkan situasinya saat ini
sekali lagi—kenapa dia menjadi terlalu serius?
Kenapa seserius ini?
Sora menyeringai lebar setelah berhasil mencerna situasinya
sekarang. Setelah itu dia menatap Steph.
“Uh... Kurasa aku tidak perlu bertanya, tapi apa kau
memahami peraturan....?”
“Tidak, sudah pasti aku tidak bisa memahaminya! Maafkan
aku!” ucap Steph sambil memegangi roknya. Wajahnya masih terlihat curiga. Meski
begitu Sora merasa jika ekspresi Steph yang sekarang sangat familiar dan
membuatnya nyaman, karena itu dia hanya tersenyum.
“Gampangnya, ini adalah sugoroku.
Kita melempar dadu untuk maju ke kotak berikutnya dan akhirnya kita sampai di
garis Finish.”
“Mmm. Hmm.”
“Dan inilah dadunya. Saat kau melempar 1, dadumu akan
menghilang.”
“Ya, ya.”
Sora mengambil satu dadu yang melayang di depan dadanya...
Sebuah dadu kosong. Sepertinya, angka akan muncul setelah si pemain
melemparkannya.
“Jadi, dadu ini? Ini adalah usiamu. Dengan kata lain, nyawamu.”
“.... Apa?”
Meski Steph terlihat kaget dan tidak percaya, Sora
melanjutkan ucapan sembrononya.
“Saat kau kehabisan dadu, kau akan mati. Rest In Peace. Naik
ke surga, meninggalkan dunia ini, pergi ke tempat yang tidak ada di dunia
ini... Ya. Kau paham, kan?”
“... Uh, maaf? Kupikir tidak ada yang ‘bagus’ dari semua
itu! Bagaimana kalau kita mati!?”
Peraturan mengatakan tentang ‘substansi waktu’ mereka. Lebih
tepatnya, mereka mungkin akan menghilang. Jadi kesimpulannya, ini adalah sebuah
game yang menjadikan nyawa mereka sebagai taruhan. Akan tetapi, peraturan
seperti itu akan bermasalah untuk ras dengan usia tak terbatas, Jibril misalnya.
Dengan struktur seperti ini, jika ‘substansi waktu’ mereka—dengan kata lain
usia—mencapai 0, maka hasilnya sudah bisa ditebak.
“Dan kita tidak
mungkin mencapai garis Finish hanya dengan 10 dadu, jadi kita harus mencari
dadu tambahan.”
Ada 351 kotak agar mereka bisa mencapai garis Finish. Akan
tetapi, kotak terjauh yang mungkin bisa mereka raih adalah 324. Dadu mereka
tidak cukup.
“Jadi kau menggunakan Tugas untuk mengambil dadu milik orang
lain. Mengerti?”
Jika begitu, game ini adalah....
“Kau harus mencuri nyawa milik lawanmu—secara tidak langsung kau harus membunuh orang lain untuk menang.”
Setelah semua orang mendengarkan penjelasan Sora, wajah
mereka menjadi tegang dengan mata penuh kecurigaan. Ini adalah game melawan Old
Deus—tapi kenapa. Satu-satunya cara
untuk menang adalah mengambil nyawa pemain lain...
“Ini... Tidak lucu! Kenapa kita harus menerima peraturan
seperti itu!?”
“Benar kan? Tidak
ada yang mau matiiii. Aku juga tidak mauuuu. Jadi—ini yang akan kita lakukan.”
Meski Steph berteriak keras setelah berhasil mencerna
situasi saat ini, Sora terus tersenyum.
“Kita akan menyerahkan Tugas kosong dan 1 orang akan
mendapatkan 9 dadu dari semua pemain lain.”
Tidak ada peraturan yang mencegah pemain memberikan dadu
mereka pada pemain lain. Itu artinya...
“Kalau begitu kita buat 1 pemain memiliki 64 dadu dan ba bam! Kita bisa mendapatkan 384
langkah dalam sekali jalan. Mungkin kita bahkan bisa mencapai garis Finish
dalam sekali lemparan dadu. Kita bisa menang hanya dengan satu langkah! Tidak
ada yang kehabisan dadu, dan tidak ada yang akan matiiii... Kau bisa jatuh
cinta padaku, tahu!”
“... U-untuk pertama kalinya, aku benar-benar merasa hampir
jatuh cinta padamu...” ucap Steph dengan wajah menyedihkan, bukti jika emosinya
benar-benar tulus...
“Ta-tapi Master... Jika kita tidak mengetahui
‘pengkhianat’nya, bukankah itu...?”
Ya, Masternya tidak mungkin tidak menyadari hal seperti itu.
Yang ingin diperjelas Jibril adalah akar
dari rasa paranoid yang sedang menggerogoti mereka semua.
00b: Diantara para pembawa dadu, ada 1
pengkhianat yang ingatannya tidak diambil.
Game ini dimulai setelah ingatan pemain dihapus. Itu artinya
ada sesuatu yang hanya diketahui oleh
si pengkhianat. Dan karena tidak ada yang
mau mengaku hingga saat ini... tujuannya sudah jelas: Sebuah trik untuk
menipu semua orang dan mendapatkan kemenangan sendirian—pengkhianatan yang
sebenarnya. Kepada siapa mereka harus memberikan dadunya?... Tidak, bukan itu. Mari
kita mulai dari, kenapa mereka setuju untuk menggunakan nyawa Miko sebagai taruhan?
Apapun jawabannya, si pengkhianat yang menyebabkan situasi saat ini pasti
mengingat dengan jelas dan mungkin juga
memiliki pengaruh besar terhadap syarat kemenangan...!
Baiklah, ada
pengkhianat diantara kami. Ini adalah skenario dimana pemain hanya bisa menang
jika bekerja sama, tapi mereka tidak akan melakukannya, kan? Mereka semua
menjadi paranoid, mencoba mencari tahu siapa pengkhianatnya, menghancurkan
hubungan antara sesama pemain—dan semuanya akan langsung menuju ke neraka. Jika
dewa itu sedang menunggu kami untuk bermain dalam teori usangnya, maka ‘game
para pembohong’ ini menjadi semakin berat? Jika begitu, Sora mau tidak mau
harus menghancurkan semua itu. Dengan otak yang sudah berfungsi seperti
biasanya, pemuda itu menyeringai. Itu adalah hal terakhir yang mungkin akan
terjadi di sini. Jika melihat kelompok yang berhasil mereka kumpulkan, maka
teori itu—akan hancur bahkan sebelum sempat digunakan. Apalagi Sora sudah
menjalani seluruh hidupnya dengan cara seperti ini, karena itu dia mengejek. Peduli amat sama premismu. Siapa
pengkhianatnya?
Siapa yang peduli?
“Tidak perlu mempedulikannya. Katakan saja.... Akulah pengkhianatnya!”
Dengan seringai lebar di wajah, Sora mengatakan hal krusial
itu.
....
Kata-katanya disambut oleh kesunyian sedalam samudra. Wajah
tidak paham, ragu, dan keheningan itu diartikan sebagai rasa tidak puas oleh
Sora.
“Apa...? Dari semua orang yang ada di sini, kalian pikir aku tidak akan mengkhianati kalian!? O-oke.
Aku akan membuktikannya...”
Beri aku beberapa
detik untuk memikirkan sesuatu. Pemuda yang menyatakan dirinya sebagai
pengkhianat itu mulai membuat sebuah omong kosong demi meyakinkan kelompoknya.
“Oke, saat kita semua sedang membicarakan soal pengkhianat,
kita setuju jika dia adalah pemain yang mempermainkan semua orang agar bisa
menang, iya kan?”
Sora mengambil nafas panjang dan mulai menjelaskan sambil
menunjuk kelompoknya satu per satu.
“Kalau begitu, pertama. Izuna bukan pengkhianat. Tidak
mungkin dia bisa mengalahkan aku dan Shiro dalam tipu daya dan berbohong.”
Boink. Telinga
Izuna bergerak dan matanya melebar.
“Kakek juga bukan karena dia pasti tidak akan berani
meletakkan nyawa Miko sebagai taruhan demi kita semua.”
Krk. Kaca mata Ino
retak dan pembuluh darahnya menyembul jelas di beberapa titik di wajahnya.
“Lalu Plum juga bukan karena dia tidak akan mengambil resiko
setelah kami berdua menghancurkan rencana besarnya.”
Tik. Mata Plum
menyipit dan bibirnya membentuk garis tipis.
“Lalu Jibril juga bukan karena aku dan Shiro hanya perlu
memerintahkannya untuk ‘mundur’ dan dia pasti akan melakukannya. Dan lagi, dia
tidak akan pernah berpikir untuk
mendahului aku, masternya tercinta, iya kaaan~?”
Hhh. Mata Jibril
membelalak dan sebuah seringai kejam muncul di wajahnya.
“Dan kau. Kau sama sekali tidak masuk hitungan. Menyebut
namamu saja rasanya juga tidak perlu! QED!”
“Halo!? Bukannya perlakuanmu padaku sudah keterlaluan!?”
“Dan yang terakhir, Shiro dan aku adalah 1. Bagaimana?
Kalian sudah percaya?”
“.... Oh...”
Shiro yang sepertinya menyadari apa yang sedang dilakukan
oleh sang kakak pun menunjukkan senyum kecil. Ya... ini adalah game. Ada banyak
hal yang bisa mereka yakini meski ingatan mereka menghilang. Misalnya, Sora,
perjaka, 18 tahun. Dia, dari semua orang yang ada disini—tidak akan memainkan game dengan jujur. Dalam dunia dimana semuanya
diputuskan dengan menggunakan game, dunia yang terus dibanggakan tet dengan
berbagai efek mencolok, dunia yang diakui dewa tunggal itu sebagai sebuah
utopia yang mereka idamkan... Mereka berdua lebih cocok untuk permainan berat
yang melibatkan para penipu. Ya, ini adalah waktunya untuk mengatakan....
Apa salahnya menjadi sniper penakut?
“Begitulah! Kita sudah menyelesaikan kontradiksi dimana
pemain harus membunuh pemain lain dalam sebuah game dimana lawan semua pemain
adalah Old Deus! Kita harus membuktikan jika ini adalah game yang menjunjung
kerja sama—game yang bisa kita menangkan jika saling mempercayai satu sama
lain! Jadi tenangkan hati kalian dan seranhkan Tugas kosong. Setelah itu
serahkan dadu kalian padaku—Oh, biarkan aku mengatakannya dengan lebih sopan
lagi.”
Sora berhenti menggerakkan tangannya dan menunjukkan sebuah
senyuman yang bisa memperdaya dewa, lalu dia berkata dengan nada merdu:
“Bantu aku menang. Berikan
semua dadu kalian, bedebah—anggap itu
buktu dari kepercayaan kalian padaku. ♥”
Setealah mendengar ucapan Sora, setiap
pemain masuk ke dalam ruang pribadi mereka yang ada di balik pintu dan mulai
mengisi kertas Tugas yang sudah disediakan. Dan saat mereka kembali, Sora
tersenyum lebar. Permainan ini sangat sederhana. Siapa yang peduli pada
pengkhianat itu?
Dengan anggota kelompok seperti ini,
Sora tahu.
Dia bisa meyakini dalam hatinya jika mereka
semua pasti akan mengkhianatinya, iya
kan?
Chapter0-5 Daftar Isi Chapter 1-1
Komentar
Posting Komentar