NGNL Vol. 6 Chapter 3. 1 + 1 = Deathless Part 1
Disclaimer: Not mine
XXXX
Di peta yang diberikan Riku pada Couron, terdapat sebuah
tanda yang menunjukkan letak sebuah gua yang terpisah dari desa utama. Di
tempat itu, berkumpul orang-orang yang menolak evakuasi hingga akhir, dan seharusnya mereka sudah kehilangan nyawa
mereka—179 ‘hantu’ termasuk Riku dan Shuvi. Mereka semua duduk dan berdiri
mengelilingi sebuah meja. Riku menatap mereka semua satu per satu dan kemudian
berkata.
“Kita sudah menunggu perang besar ini untuk berhenti suatu
hari nanti—dengan kata lain, kita menunggu sesuatu yang tidak akan pernah
terjadi.”
Di depan orang-orang yang terlihat kaget itu, Riku
meneruskan pidatonya yang semakin berapi-api.
“Apakah kita akan menghabiskan waktu untuk lari agar bisa
bertahan di dunia sialan ini… dan berdoa agar perang ini segera selesai!? Kepada siapa kita akan berdoa?”
Riku memuntahkan semua pikiran yang selama ini tidak pernah
dia katakan pada siapapun.
“Kepada para penghancur yang memanggil diri mereka sebagai
dewa!? Kepada para bajingan yang bertahta di atas langit yang tidak bisa
menghentikan para monster itu!? Kita terus bertahan dan bertahan di dunia
menyedihkan ini—dan lalu!? Apa yang akan
kita lakukan!?”
Riku mengacungkan tangannya dengan wajah marah, seakan dia
sedang mencurahkan segala emosinya pada orang-orang yang ada di depannya.
“Aku mengerti jika para bajingan itu sedang memperebutkan
tahta dewa tunggal. Tapi, siapapun yang akan menang pada akhirnya, apa kita
bisa mengharapkan kehidupan yang lebih baik dari apa yang kita miliki saat
ini!?”
Lalu Riku merendahkan nada suaranya dan berkata dengan suara
yang terdengar sangat dingin.
“Ini saatnya kita menerimanya. Di dunia ini… tidak ada
harapan yang tersisa untuk kita.”
___
Semua orang itu merasakannya. Tapi, mengakui dan menerima
hal itu akan menghancurkan hati mereka dan membuat hantu-hantu baru bermunculan
dari dalam kepala mereka. Saat orang-orang itu mulai termenung, Riku meyakinkan
dirinya. Jadi…
“Yang bisa kita lakukan saat ini adalah menciptakannya dengan tangan kita sendiri.”
Saat mendengar deklarasi Riku yang sangat kuat, orang-orang
itu mengangkat wajah mereka.
“Hanya ada satu kesempatan. Sebuah kesempatan yang sangat
gila, patut dipertanyakan, dan berada di luar kewarasan manusia normal.”
Itu adalah sebuah rencana yang bahkan bisa membuatnya
menyeringa lebar.
“Kita semua adalah hantu—makhluk yang tidak akan bisa
dikenali oleh makhluk lain.”
Riku menatap gadis yang ada di sampingnya…
“Kita adalah hantu—meski kita tidak bisa terlihat dan
dikenali, kita akan membawa tekad dari orang-orang yang sudah pergi mendahului
kita.”
Mata merah itu berkata jika mereka bisa melakukannya.
“Ini adalah bukti dari keberadaan
kita—bukti jika dunia ini masih ada.”
Riku membulatkan tekadnya sekali lagi dan meneguhkan
ekspresinya.
“Mari kita buang semua kebijaksanaan palsu kita. Kita
manusia adalah makhluk yang bodoh.”
… Akhirnya dia mengatakannya.
“Karena itu… kita akan bertarung.”
Mereka akan bertarung. Tidak berlari, tapi bertarung.
177 pasang mata itu menatap Riku yang sedang mengatakan
argumennya dengan penuh percaya diri.
“Ya. Kita akan bertarung. Semua musuh yang membayangi kita
semua, tidak peduli siapa mereka, kita akan mengalahkan mereka dengan kekuatan
kita sendiri—itulah kebodohan kita. Menipu, melebihi mereka semua layaknya
hantu. Karena kita lemah, kita akan membuat berbagai macam alur dan rencana, jangan
pedulikan reputasi dan rasa malu. Apa yang kita lakukan didasari oleh rasa
takut, pujian sebagai dasar, dan dirayakan sebagai cara yang paling rendah…!”
Dan kemudian…
“Itulah cara agar kita
bisa menang.”
Ya. Mereka bisa mendapatkan satu-satunya kemenangan di dunia
ini.
“Sebuah kemenangan yang dibangun di atas kekalahan tak
terhitung, bertumpuk satu dengan yang lainnya, dan kemudian berubah menjadi kekalahan berarti yang saling menetralkan.”
Tidak ada yang mengatakan apa-apa. Semua orang—termasuk
Riku—membayangkan semua itu.
Musuh yang kata Riku akan mereka hadapi, makhluk-mahkluk yang telah memusnahkan
manusia dan peradabannya menjadi debu. Makhluk-makhluk yang bisa membuat gunung
menjadi lembah, laut menjadi daratan, dan menghancurkan planet ini hanya karena
mereka ingin dan bisa. Ruangan itu mulai ramai. Mereka semua merasa sangat
terkejut dan tidak bisa menahan tawa mereka. Riku juga tertawa bersama mereka.
“Ya, kita akan menantang mereka…
dan keluar sebagai pemenang. Ini sangat tidak masuk akal, bodoh, dan tidak
mungkin. Kau hanya bisa tertawa saat mendengar semua ini, iya kan?”
Ya. Apa yang bisa mereka lakukan kecuali tertawa? Dan
kemudian…
“Itu adalah bukti jika kita adalah manusia. Bukti dari kebodohan kita. Puncak dari…
keberadaan kita.”
Setelah mengatakannya, Riku menatap wajah 177 orang dan
meyakinkan mereka.
“… Akhir dari perang besar. Itu adalah kemenangan yang harus
kita raih.”
… Perang abadi diantara para dewa. Mereka akan mengakhiri
semua ini sebagai manusia biasa. Saat mendengar hal ini, 177 orang itu—bahkan
Shuvi—menatap Riku dengan mata membelalak.
“Untuk syarat kemenangan kita… Jika kalian melihat semua
detailnya… semua itu cukup untuk membuat kalian sakit kepala, tapi..”
Saat Riku masih kecil, dia berpikir jika dunia sangat sederhana.
Tidak ada permainan yang tidak bisa dimenangkan, kerja keras akan membuahkan
hasil manis, dia berpikir jika dia bisa melakukan apapun yang dia mau. Itulah
yang dia percayai sebagai anak kecil yang bodoh dan kurang pengetahuan… dunia
yang dia lihat dengan mata berkabut.
“Dunia ini… hanyalah sebuah game sederhana.”
Selama ini… aku tidak
salah.
“Selama ini hanya para dewa yang menikmati game yang memperebutkan
Suniaster, memainkan vale tudo sesuka
mereka.
Riku berpikir, bukannya
itu sangat sederhana?
“Jika begitu, yang harus kita lakukan hanyalah menciptakan
peraturan yang ingin kita gunakan.”
Setelah itu Riku memainkan bidak yang di tangannya dan menatap
Shuvi. Ex-Machina itu berkata jika dia ingin mengetahui rahasia hati Riku. Kalau begini, ini jawabanku untukmu,
Pikir Riku. Dan saat dia melihat anggukan gadis itu, dia menyeringai lebar—dan
menjelaskan peraturan yang dia buat.
“Pertama: Tidak ada yang boleh membunuh.”
—Membunuh orang lain sama dengan membunuh diri sendiri. Aku tidak mau membunuh orang lain.
“Kedua: Tidak ada yang boleh mati.”
—Membiarkan orang lain mati sama dengan membiarkan diri
sendiri mati. Aku tidak mau membiarkan
orang lain mati.
“Ketiga: Tidak boleh ada yang mengenali kita.”
—Jika mereka mengenali kita, kita akan mati.
“Empat: Semua cara boleh digunakan.
—Jika kau tidak
tertangkap basah, maka yang kau lakukan bukan sebuah kecurangan.
“Lima: Kita tidak boleh mengabaikan peraturan yang mereka
gunakan.”
—Kita akan kalah jika bermain di panggung yang sama. Pertarungan hingga mati hanya dilakukan oleh
orang idiot.
“Enam: Jika kita melanggar semua peraturan diatas, kita akan
kalah.”
—Peraturan yang tidak konsisten tidak memiliki arti.
—Semua pemenang yang menyalahi peraturan ini sama sekali
tidak berharga.
Karena itu Riku akan bermain dengan peraturannya sendiri…Hatinya sudah memberikan jawaban dan
dia menatap 177 orang itu sekali lagi.
“Kita adalah hantu. Kita tidak membunuh siapapun—tidak ras
lain, tidak Old Deus. Tidak ada yang boleh tahu kita ada. Kita hanya akan menarik hidung mereka dan membuat mereka
mangakhiri perang ini.”
Emosinya meledak seperti anak kecil yang sedang merajuk.
Tapi di saat yang sama, jika manusia ingin mengakhiri perang besar ini, mereka
tidak punya cara lain.
“Sepertinya aku tidak perlu mengatakan hal ini lagi, tapi
jika kita gagal, seluruh umat manusia mungkin akan musnah. Rencana cadangan
kita…? Yah, bisa dibilang tidak ada. ‘Hei, beberapa monyet yang bisa bicara
sedang mengarahkan kemana perang besar ini berjalan’—jika mereka sampai
menyadarinya, kita semua akan mati.”
Jadi kesimpulannya….
Riku pun menutup penjelasannya.
“Menang atau kalah. Kita akan mendapatkan semuanya atau
kehilangan semuanya. Saat kita meletakkan barang taruhan kita, kita tidak akan
bisa mundur lagi.”
Riku menunjukkan sekelebat sifat aslinya, sesuatu yang tidak
pernah dilihat oleh semua orang.
“Lawan kita adalah para dewa, mereka yang sudah membakar
bumi dan menjadi manifestasi rasa putus asa yang kita rasakan. Kemungkinan
menang kita sangat kecil. Dan karena melakukan semua ini secara
sembunyi-sembunyi adalah salah satu syarat mencapai kemenangan, meski kita
nantinya menang, tidak akan ada perayaan atau tulisan yang menggambarkan
perjuangan kita. Tidak akan ada lagu yang menceritakan kehebatan yang kita
lakukan. Kita adalah hantu dan hantu tidak akan menyanyi. Tapi, jika kita
beruntung…”
Godaan untuk menyebut dunia gila ini sebagai sebuah ‘game’
semaki menguat… dan dia mengatakan hal ini dengan senyum lebar.
“Jika kita bisa memenangkan game ini… jika kita menang…”
Tekannya.
“Bukannya dengan itu kita bisa menyombongkan diri kita sendiri
dan berkata jika kita memiliki kehidupan yang paling menakjubkan sebelum kita mati?”
…. Begitulah.
“Itu permainannya. Bagi yang tetap ingin bermain, kalian
bisa tetap tinggal di tempat ini.”
Setelah mengatakan semua yang ingin dia katakan, Riku
menutup matanya dan menunggu 177 orang itu untuk pergi meninggalkannya.
Beberapa saat kemudian dia tertawa pelan. Orang
bodoh yang cukup kuat untuk memainkan game ini akan sangat sulit untuk
ditemukan, pikirnya. Mereka semua adalah orang-orang yang telah Riku pilih.
Mereka memiliki kecerdasan dan kemampuan yang tinggi, mereka juga sudah
menghadapi kematian beberapa kali dan berhasil selamat darinya. Dari sudut
pandang ras lain, mereka pasti hanya akan dianggap kotoran tak berharga… tidak
layak untuk disentuh. Tapi diantara kotoran dan debu itu, orang-orang ini
memiliki kemampuan yang lebih tinggi—dan fakta itulah yang membuat Riku
tertawa.
Tentu tidak akan ada orang yang ingin tinggal di tempat ini
bersamanya. Ini adalah ide gila. Satu orang bodoh sudah cukup untuk dunia ini.
Itu saja. Tidak ada yang bisa dirubah. Dalam kasus terburuk, dia dan Shuvi
harus melakukan semuanya sendiri—dan menunjukkannya pada mereka semua. Itu
artinya kemungkinan menang mereka akan semakin kecil dan kesempatan yang mereka
miliki bisa dibilang sejauh neraka dan nirvana.
Tapi, jujur saja… dia tidak bisa memikirkan strategi lain
yang bisa dia dan Shuvi lakukan berdua saja. Meski begitu…
…
Pikirkan saja caranya menang, pikir Riku sambil menunggu
selama 10 menit. Setelah itu dia membuka matanya.
“… Uh, Boleh aku berkata jujur pada kalia semua?”
Riku yang dikelilingi oleh 177 orang (tidak ada yang membelot) itu memasang wajah tidak
percaya dan kemudian berpikir, Berapa
lama lagi kau akan terus menutup matamu? Riku tidak bisa menahan
kelakarnya.
“Kupikir kalian semua lebih pintar dari ini.”
177 ‘hantu’ pilihan Riku hanya tertawa. Kemudian mereka
mengatakan isi kepala mereka pada Riku.
Chapter 2-11 Daftar Isi Chapter 3-2
Komentar
Posting Komentar