NGNL Vol. 6 Chapter 3 Part 2
Disclaimer: Not mine
XXXXX
177 ‘hantu’ pilihan Riku hanya tertawa. Kemudian mereka
mengatakan isi kepala mereka pada Riku.
“Ayolah jendral. Jangan salah membaca langkah pertama. Kalau
begini, bagaimana kita bisa menang?”
“Riku, kau pikir, manusia dengan otak normal… mau tinggal di
dunia seperti ini?”
“Sedikit gila? Menurutmu apa yang lebih gila dari dunia yang
kita tinggali ini?”
“Orang bijak akan memilih kematian daripada dunia ini. Yang
lebih bijak dari itu akan memilih untuk tidak pernah dilahirkan…”
“Lihat kami ini, semua orang yang berhasil bertahan ada di
tempat ini… Riku, kami adalah orang-orang yang sudah kau pilih. Dasar bodoh.”
Begitulah. Semua
orang tertawa dan menganggukkan kepala mereka.
“Bukannya ini menjadikan dirimu sebagai pimpinan orang-orang
bodoh?”
Riku menyeringai—dan kemudian tertawa. Ya, tepat seperti
perkataan mereka.
Manusia adalah mahkluk bodoh. Karena mereka bodoh, mereka
mengasah akal dan kebijaksanaan mereka agar tidak tertipu oleh kebodohan yang
mereka miliki. Berkat itulah mereka bisa bertahan selama ini… di dunia busuk
ini. Mereka bisa tetap bertahan hidup meski dibebani oleh semua kekurangan itu.
Mereka adalah makhluk yang akan mempertaruhkan semua akal, kebijaksanaan, dan
alat yang mereka miliki untuk mencapai tujuan mereka.
Jika bukan karena rasa kebanggaan bodoh mereka—makhluk lemah
yang hebat—dengan sebutan apa kalian akan memanggil mereka?
“Kami lahir di dunia tanpa tujuan apapun.”
“Kami bertahan hidup dengan memakan kotoran.”
“Tapi sekarang kami akan mati dengan bangga. Apa ada lagi
yang bisa kami minta selain itu?”
“Apa adal hal yang lebih hebat daripada kebebasan, boss?”
“Di bawah pimpinanmu, kami akan melakukan langkah paling
mengejutkan hingga akhir. Kami sudah siap untuk untuk membuang nyawa
kami—katakan bagaimana caranya, jendral.”
Riku menundukkan kepalanya seakan mengejek dirinya sendiri,
tapi…
“… Kalian semua memang benar-benar gila. Senang
mendengarnya, jadi…”
Riku langsung membuka sebuah peta sambil bergumam pelan.
Selama 5 tahun ini—tidak, bahkan jauh sebelum itu—mereka terus memperbaikinya
agar manusia bisa tetap bertahan hidup. Papan
game yang dibuat dari tumpukan mayat rekan-rekan mereka. Dan saat ini,
papan game itu sedang dilihat oleh 179 hantu (termasuk RIku dan Shuvi). Riku
pun bersiap untuk mengatakan rancananya secara mendetail…
“Ayo kita mulai permainan ini.”
“… Achéte.”
Mereka semua menjawab secara serempak, tapi Riku membenarkan
slogan itu.
“… Kata itu dilarang mulai sekarang. Pergerakan kita tidak
didasari oleh perjanjian, tapi oleh peraturan yang sudah kita setujui bersama.”
Jika begitu…
“… Aschent.”
Setelah itu, pergerakan dari mereka yang tidak ada itu pun
dimulai. Tanpa adanya masa depan dan harapan, serta rasa putus asa yang datang
terus-menerus… mereka mulai lelah dengan semua ini. Mereka tidak lagi menunggu,
mereka mulai mencari. Dengan begitu, kapal yang berisi 179 hantu itu pun mulai
bergerak…
XXX
“… Riku, aku tetap… tidak… mengerti… soal ‘hati’….” Gumam
Shuvi saat bermain game kartu dengan Riku di pintu masuk gua persembunyian
mereka. Pertemuan keduanya bersama 177 hantu lainnya sudah berakhir beberapa
saat yang lalu. Shuvi sudah melihatnya. Semua orang yang ada di ruangan itu
bisa menyentuh ‘hati’ Riku dan beresonansi dengan pemuda itu. Semua kecuali
satu, Shuvi. Gadis itu menatap lantai. Ketidakmampuannya memahami hati RIku dan
semua hantu membuatnya sedih. Gadis itu melanjutkan perkataannya.
“… Kemungkinan sukses… dari rencanamu… kurang dari…. 1%...”
Belum lagi kemungkinan jika mereka semua akan tetap hidup,
yang mungkin seharusnya sudah menyentuh angka 0…
“Hmmm. Hei, Shuvi.” Potong Riku.
“Kau selalu bertanya soal kemungkinan, iya kan? Bukannya
yang kita lakukan ini sudah cukup?”
Riku yang tidak memiliki kemampuan matematis seperti
Ex-Machina mulai mengartikan sikap Shuvi semampunya dan kemudian bertanya.
“Katakanlah kau baru saja melempar dadu dan kemungkinan
keluar angka 6 adalah 1 banding 6. Jika kau melemparnya dua kali
berturut-turut, kemungkinannya akan berubah dari 1 banding 6 menjadi 1 banding
36… aku tidak begitu mengerti soal persentasi, tapi kira-kira seperti itu kan?”
“… Ya… jadi…”
Shuvi yakin jika dia tidak salah mengartikan kata-kata Riku.
Shuvi yang kaget karena Riku bisa menjabarkan ekstrapolasi Ex-Machina seperti
itu pun mencoba untuk menjelaskan probabilitas yang sedang dia pikirkan.
“Kalau begitu, aku akan mengajarimu sesuatu yang sangat
berguna. Caramu melakukan kalkulasi itu… salah besar.”
Shuvi terdiam.
“Saat kau melempar dadu, kemungkinan muncul angka 6 adalah 1
banding 6. Tapi cara itu tidak berlaku pada permainan
ini.”
Alasannya… Riku
tertawa saat dia mengacak kartu yang ada di tangannya.
“Jika angka 6 yang muncul, kita menang, jika tidak maka kita
kalah. Jadi, perbandingannya 1 banding 2.”
…. Absurd. Tapi itu adalah perspektif akurat dari kondisi mereka
saat ini, dan itu merupakan faktor penting dalam menghitung kemungkinan yang
mereka miliki. Semuanya atau tidak sama
sekali—kalkulasi itu muncul dari sudut pandang Riku. Meski hal itu sangat
absurd, di sisi lain pemikirannya juga sangat logis.
“…..”
Sebagai Ex-Machina, Shuvi telah berhasil dikalahkan oleh
manusia biasa. Saat Shuvi masih tenggelam dalam rasa kagetnya, Riku meneruskan
penjelasannya.
“Dan ini adalah kesalahan keduamu. Jika sebuah dadu bisa
memunculkan 1 angka 6 setiap kali lemparan, maka hal itu bisa terjadi 6.000
kali berturut-turut… Jadi aku berpikir jika perhitunganmu pasti salah.”
“… Tidak… menghitung, variabel… jika kau melemparnya… 10.000
kali, maka… distribusi konvergensi error…”
Secara teoritis, kemungkinan keluarnya angka 6 pada dadu
bukan 1 banding 6. Ada banyak variabel yang mempengaruhinya. Tapi semakin
banyak cobaan yang dihadapi, kemungkinan itu akan semakin menyatu dan
membuatnya menjadi lebih mudah untuk dihitung. Dan hasil dari semua itu—adalah
argumen milik Shuvi. Riku hanya tersenyum lebar.
“Bisakah kau menghitung semuanya? Meski kau tidak tahu apa
itu dan tidak tahu bagaimana cara memprediksinya? Misalnya…”
Ya. Misalnya. Pikir
Riku.
“… Misalnya bagaimana kalau kita membuat dadu yang hanya memiliki angka 6 di
atasnya?”
Shuvi tidak mengerti. Setidaknya, untuk saat ini. Tapi jika
dia meneruskannya, dia pasti bisa mendeteksi sebuah keanehan dan mengetahui
penyebab error itu—setelah memikirkannya cukup lama, Shuvi terdiam. Akhirnya…
kata-kata Riku dan strategi yang dibuatnya mulai masuk akal. Tidak ada orang yang boleh mengetahuinya.
Tidak ada yang boleh menyadarinya. Apa arti
sesungghuhnya dari kata-kata itu. dan apa yang dia rencanakan.
“… Sengaja
memanipulasi… variabel-variabel itu… tanpa diketahui—dalam margin error
yang… masih bisa ditolerir…”
Para hantu akan membuat semuanya bisa diprediksi—Variabel yang disengaja. Tidak ada yang
halangan yang lebih besar pada kalkukasi matematika. Riku mengangguk saat
menyadari jika Shuvi mulai memahaminya.
“Ini yang kau sebut dengan curang. Menyenangkan, huh?”
Meski begitu, Shuvi belum bisa memahaminya secara
menyeluruh. Teori kemungkinan tidak bisa menjelaskan cara permainan game ini.
Dia mengerti itu. Tapi, meski begitu, bagaimana bisa…?
“… Bagaimana kau… bisa membuat… kemungkinan terendah
sebagai… sesuatu yang diharapkan…?”
Shuvi mengatakan pertanyaannya. Matanya menatap Riku yang
sepertinya sedang memikirkan jawabannya. Hmmm.
Riku bisa mengatakan apa saja—misalhnya, kita tidak akan bisa terus bertahan
jika tidak memiliki kepercayaan? Atau, karena kita tidak punya bukti untuk
mempercayai sesuatu, bisakah kita tetap berharap?
Tapi Riku tahu jika jawaban seperti itu bukan jawaban yang
diinginkan Shuvi. Mencari tempat berlindung di planet yang sudah berubah
menjadi neraka ini bukan jawaban yang ingin diberikan Riku.
Chapter 3-1 Daftar Isi Chapter 3-3
Komentar
Posting Komentar