NGNL Vol.6 Chapter 3 Part 4

 Disclaimer: Not mine

XXXXX

“… Setelah semua itu… bisakah kau…tetap mengatakannya…?”

Setelah Shuvi mengatakan pengakuannya, gadis itu hanya terus menunduk dan tidak bisa menatap mata Riku.

—Error—Error—Error—Error—Error—Error—

Error yang sama terus menerus muncul di dalam pikirannya.

—Interogatif: Kenapa unit ini mengatakannya? Perbuatan ini tidak menghasilkan keuntungan rasional ataupun irasional.

—Jawaban rasional: Keuntungan: Tidak ada. Kerugian: Hilangnya objek penelitian karena rasa permusuhan.

—Jawaban irasional: Keuntungan: Tidak ada. Kerugian: Riku tidak akan… menyukaiku… lagi..?

Kerugian? Tidak disukai? Konsekuensi yang pernah terjadi dulu? Error, error, error…

“Shuvi, kau tahu…”

Saat Shuvi mendengar suara Riku, dia terkejut hingga bahunya tersentak, dan hal itu membuatnya menjadi semakin terkejut.

Badai error yang terjadi di kepalanya terus berteriak: Segera pergi!

Pergi? Kenapa?

Badai error itu menjawab dalam nada yang sama: Karena aku takut.

Takut. Konsep seperti itu tidak pernah ada dalam dunia Ex-Machina. Tapi dia tidak bisa menolak error itu. Shuvi menundukkan kepalanya. Kenapa? Karena… melihat wajah Riku… itu menakutkan… Itu adalah salah satu contoh dari error baru yang tercipta dalam kepalanya.

 

“… Aku tahu. Entah bagaimana caranya, tapi…”

Kata-kata Riku mendiamkan semua error itu, dan pikiran Shuvi terpaku pada satu pertanyaan.

“… Bagaimana…?”

“… Hmm… Aku malu mengatakannya, tapi aku sudah merasa ada hal yang sedikit aneh…”

Riku mengatakannya sambil menggaruk bagian belakang kepalanya.

“… Saat kita pertama kali bertemu, aku berpikir… Bagaimana bisa kau bisa tahu kalau aku masih perjaka?”

“…”

Riku tertawa saat melihat wajah datar Shuvi.

“Yah, ada beberapa hal lain juga—misalnya saat kau berkata kalau kau sudah mengkonfirmasi jika aku memiliki hati. Bagaimana bisa kau mengambil kesimpulan jika hatiku adalah alasan manusia bisa bertahan hidup di dunia ini, bagaimana bisa kau menungguku di suatu tempat yang jauh dari desa, bagaimana bisa game pertama yang kau tunjukkan padaku adalah catur… Jadi, begitulah.”

Shuvi hanya bisa menatap Riku yang sedang tersipu. Pemuda itu kemudian tersenyum seakan berkata: Pertahananmu tidak sebagus yang kau kira, iya kan? Shvui tidak bisa menjawabnya. Pikirannya dipenuhi dengan error dan terus berputar tanpa henti, akan tetapi dia bisa menanyakan hal ini pada Riku.

“Jika begitu… kenapa… Riku…?”

“Hmm… Kenapa? Haha. Aku juga tidak tahu.”

Riu menertawakan ketidak tahuannya sendiri.

“Mungkin itu karena aku sudah memikirkan semuanya saat aku memutuskan untuk jatuh cinta padamu.”

“… Kau tidak akan… melupakan… masa lalu itu…?”

“Tidak. Kalau kau memang sudah menghancurkan kampong halamanku…. Itu adalah masa lalu kita berdua.”

Kata-katanya membuat Shuvi hampir tidak bisa menahan beban perasaannya. Gadis itu hampir tidak bisa menahan betapa pedihnya rasa sakit yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya.

“Mmm… Yah, kurasa aku cuma laki-laki idiot. Yah, kau tahu sendiri kan kalau aku memang seperti ini.” Meski Riku mencoba menutupi rasa malunya, dia tetap berkata, “Jika kita menolak masa lalu—jika kau tidak menghancurkan kampung halamanku… kita tidak akan pernah bisa bertemu, iya kan?”

“….!”

Shuvi merasa sesak, padahal dia adalah mesin yang tidak memiliki organ pernapasan apapun.

“Apa yang terjadi, terjadilah. Tidak peduli bagaimana kau megatakannya, hal itu tidak akan merubah apapun. Kami manusia tidak seperti itu.

Riku perlahan berjalan mendekati Shuvi dan berlutut di depannya.

“Kami menggeratakkan gigi kami saat hal itu terjadi, menangis, meraung… lalu berkata ‘lain kali, lain kali’, dan kemudian melanjutkan hidup. Tapi…”

—Riku menyentuh pipi Shuvi dengan lembut dan mengaangkat wajahnya.

“… Karena itu… kau tertarik padaku, iya kan?”

Riku tersenyum seperti anak kecil pada gadis itu. Shuvi yang melihat pantulan wajah takutnya di mata Riku pun merasa sangat kaget. Riku pun kembali berkata seakan ingin menghiburnya.

“Aku tidak akan pernah menolak masa lalu itu…”

“Masa lalumu dan sekarang adalah berada di sampingku, masa depanmu… aku ingin berbagi hal itu denganmu. Aku mencintaimu.”

“Dan rasa bersalahmu? Buang saja hal itu, whoosh. Sayangnya, manusia—yah, mungkin cuma aku yang bodoh. Ngomong-ngomong, kita tidak punya waktu untuk memikirkannya lebih jauh sekarang. Aku akan menunggu hari esok, tentu dengan memikirkan apa yang telah terjadi di masa lalu.”

Jadi…. Riku menggenggam tangan kiri Shuvi…

“Jika kau ada untukku, aku mungkin akan tetap berusaha untuk bertahan di dunia ini.”

… dan memasukkan cincin itu ke jari manis si gadis…

“Jika kau ada untukku, aku akan memberikan seluruh hatiku padamu.”

… Lalu menunjukkan batu merah yang sama dengan mata si gadis.

“jika kau ada untukku, Aku tidak akan pernah kehilangan senyumku lagi.”

Dan kemudian, seakan tidak tahu harus bagaimana lagi…

“Jadi tolong. Jika kau tidak membenciku…”

“Aku… tidak membenci… Riku! Itu tidak benar… sama sekali!”

Riku mengulurkan tangannya pada Shuvi yang menggelengkan kepalanya. Riku pun membuat permohonan saat itu…

“Apa kau bersedia tidak menghiraukan semua logika… dan berjalan di jalan yang sama denganku? Sebagai istriku tentunya.”

 

Tiba-tiba, di detik itu juga Shuvi menyadari jika badai error yang sejak tadi mengganggu pikirannya, tiba-tiba sirna seketika.

“… Aku mengerti…”

Ex-Machina adalah ras adapter. Jika diperlukan, mereka akan membangun ulang tubuh mereka sesuai dengan apa yang mereka butuhkan. Shuvi tidak tahu fungsi macam apa yang baru saja ditambahkan—tapi dia menyadarinya saat dia merasakan ada setitik air mata yang meluncur di pipinya. Badai error. Inkonsistensi logika yang akhirnya bisa dia proses dibawah satu nama: Perasaan.

 

“… Riku.”

“Uhuh.”

“… Aku sebenarnya… seperti yang kau lihat… aku tidak… pantas untukmu, tapi…”

“Kurasa kaulah yang terlalu baik untuk orang bodoh sepertiku.”

Riku menyeringai, tapi Shuvi yang masih sangat terpengaruh dengan perasaannya tidak tahu harus menunjukkannya dengan cara apa. Karena itu hanya ini yang bisa dia perbuat.

 

“… Izinkan aku… terus berada di sisimu… sekarang dan selamanya…”

XXX

“… Lihat ini, aku bahkan harus mengintip kalian berdua sampai selesai…. Dasar adik bodoh, kau itu ya…”

Di luar tempat persembunyian mereka, Couron terlihat sedang menghela nafas panjang. Setelah mengetahui tempat ini, dia langsung bergegas pergi, tapi saat dia sampai, ia malah melihat pernyataan cinta Riku pada Shuvi.

Yah, memangnya apa yang bisa kulakukan? Aku kehilangan timing yang pas.

Dia melihat dari balik bayangan saat Riku mengelus punggung Shuvi yang masih terisak, saat itulah dia ingat. Hari itu, saat Riku baru saja melarikan diri dari desanya dan dia dirawat oleh orang dewasa yang ada di desa Couron.

“Halo, halloooo… Aku sedang bicara padamuuu! Apa ada yang salaaaaah?”

Alasan mereka saat ditanya kenapa Riku tidak pernah berbicara dengan orang lain selalu sama dan mungkin Couron yang seumuran cukup beruntung karena dia bisa berbicara dengannya. Orang-orang dewasa yang tadinya penuh harapan sekarang menutup wajah mereka. Tidak ada yang salah. Dia hanya anak yang selamat dari sebuah desa yang sudah hancur.

“Okeeee, kalau kau punya sesuatu yang ingin kau katakan, kakak akan mendengarkan~! Ayo, ayo—aku akan mendengarkannya!”

Saat Couron menggelitikinya, Riku membuka mulutnya dan mengatakan satu kata.

“… Norak.”

“Eh-eeeeeehh, kakak tidak akan menyakitimu meski katamu tidak enak didengar! Ya, ya, sekarang kau tidak bisa beralasan kalau kau tidak bisa bicara, iya kaaaaan? Kira-kira apa yang terjadi yaaaa?”

Riku bergumam, sedikit demi sedikit. Di saat yang sama, sebuah cahaya muncul dari arah selatan. Desanya telah musnah. DIa membersihkan arang—yang dulunya adalah orang tuanya—yang menempel di badannya dan kemudian pergi ke arah timur.

“Apa kau tidak mencari orang-orang yang masih bertahan? Kenapa kau datang dari timur meski cahayanya mengarah dari selatan?”

Riku memberikan jawaban dan tidak menghiraukan desah kaget orang-orang yang mengelilinginya.

—Meski ada orang lain yang selamat, Riku tidak akan bisa menyelamatkan mereka. Jika ada orang yang cukup kuat untuk berjalan, mereka pasti sudah mengevakuasi diri mereka sendiri, sama seperti dirinya.

—Dia pergi ke arah timur karena daerah itu adalah lahan kosong… dimana abu hitam tidak begitu menumpuk.

—Lebih jauh ke arah timur, harusnya ada sebuah sungai. Jika dia sampai di sana, dia berpikir jika dia masih bisa bertahan hidup…

Saat orang-orang dewasa tidak bisa berkata-kata saat melihat ketenangan Riku, Couron bertanya.

“… Apa yang akan kau lakukan jika berhasil selamat?”

“… Lain kali, aku akan menang… untuk melakukannya, aku harus bertahan…”

Lain kali… dia berkata lain kali. Dan—dia berkata soal menang. Orang dewasa terkejut saat mendengarnya, tapi Couron hanya mengusap pipinya dan kemudian berteriak.

“Ya ampuuuun! Anak ini, dia harus jadi adikkuuuu!!!”

Couron menyadarinya. Mata Riku saat dia berkata akan menang di lain waktu—mata hitam tanpa dasar itu. Namun kemudian, ada sesuatu yang dia pikirkan. Couron tidak bisa meninggalkan Riku sendirian. Dia harus ada di samping ana itu. Dia memutuskan untuk menahan Riku agar dia tidak kehilangan kontrol—agar dia tidak memburu kematiannya, tapi sebenarnya…

 

“Aku tahu… dia tidak butuh seorang kakak. Dia membutuhkan seseorang yang bisa berjalan di jalan yang sama dengannya.”

Dia, Riku akan pergi jauh. Jauh, jauh sekali—ke suatu tempat yang tidak akan bisa dia jangkau.

Meski begitu… untuk sekarang…


Chapter 3-3     Daftar Isi     Chapter 3-5


Komentar

Postingan Populer