NGNL Vol. 6 Chapter 2 Part 11
Disclaimer: Not mine
XXXXX
“Riku… Kau tidak mau… orang
lain mati… tidak peduli… siapa itu. Meski itu orang itu… yang
menghancurkan… hidup manusia, sepertiku.”
“……..!!”
Riku merengutkan alisnya. Shuvi masih tidak tahu apa alasan
Riku tidak membunuhnya. Kriteria yang Riku sendiri tidak bisa mengerti,
sekarang dipahami oleh Shuvi. Dan karena itulah… Shuvi bisa seyakin itu.
“… Itu adalah ‘hati’… itu adalah proyeksiku… pengertianku.”
“…”
Riku hanya diam sambil menatap papan catur, Shuvi pun
melanjutkan ucapannya.
“Aku… yakin… kalau Riku adalah… orang yang sangat… hebat…
tapi kau tidak mau menerimanya.”
Ya, alasannya adalah…
“…. Itu karena… kau
tidak mau… diterima… Karena kau tidak bisa… menerima… dirimu sendiri…”
….
………
Di dalam ruangan dimana hanya suara angin yang bisa
terdengar, sebuah senyum muncul di wajah seseorang. Riku pun mengangkat
wajahnya dan menumpukan kepalanya di atas tangan.
Dengan mata yang memantulkan sosok Shuvi, dia berkata:
“Kau benar-benar membuatku
kesal… Aku tidak pernah tahu jika memiliki seseorang yang hanya mengatakan hal
logis akan semenyebalkan ini…”
“Maaf…”
“Tidak usah minta maaf… Aku hanya merasa sangat kesal saat
kau mengatakan semua itu.”
Ya. RIku
mengakuinya dan menghela nafas lelah. Ahh—dalam berbagai arti, ini benar-benar
checkmate. Inilah yang namanya tidak punya ruang untuk membantah, tidak ada
kesempatan untuk komplain. Kunci yang ada di hatinya telah dibuka paksa. Meski
sekarang Riku berpura-pura kuat, apa yang dilakukannya hanya akan terlihat
menyedihkan.
“Ya, kau benar—aku tidak mau orang lain menerima bajingan
sepertiku…”
Lari dan lari, bertahan hidup lagi dan lagi… apa untungnya?
Tapi. Lalu. Jika begitu. Apa yang bisa dia lakukan…!? Riku menatap atap
reruntuhan, menyenderkan tubuhnya ke dinding, dan bergumam pelan, “… Hei, tapi
apa yang harus kulakukan? Apa yang bisa kulakukan… untuk memaafkan diriku
sendiri?”
Dia sudah membuang nyawa yang tidak tergantikan, menginjak-injak mereka seperti permainan,
selalu seperti itu. Dia akan membunuh satu orang untuk menyelamatkan dua lainnya,
membunuh dua orang untuk menyelamatkan empat lainnya. Menipu dirinya sendiri
untuk berpikir jika itu adalah satu-satunya cara yang tersisa.
Setelah berpikir seperti itu—lagi dan lagi—bagaimana mungkin
dia bisa menerima dirinya sendiri? Riku bertanya pada Shuvi, memohonp padanya,
tapi dia hanya menatapnya dengan mata penuh pertanyaan.
“Itu yang ingin
kuketahui… apa isi ‘hati’mu? Apa yang dia katakan?”
“… Haha, aku bertanya padamu karena aku tidak tahu. Kenapa
kau malah bertanya seperti itu…?”
Tapi—Shuvi tetap
teguh meski Riku menatapnya dengan senyum pahit.
“Apapun…. Yang dia katakan… aku akan… membantu…”
“… Kenapa…?”
Respon Shuvi terdengar sanga datar, seakan yang dia katakan
adalah hal yang sudah pasti.
“Aku sudah bilang… aku akan selalu… bersamamu… hingga aku…
mengerti ‘hati’mu…”
Hahaha… sangat meyakinkan…
“Ngomong-ngomong…”
Shuvi meletakkan sebuah bidak catur dan kemudian berkata.
“…. Checkmate.”
“Shuvi… bukankah setidaknya aku mendapat stalemate di saat
seperti ini? Baca suasananya dong.”
“…?... Apakah suasananya… berbeda…?”
Riku menyeringai saat mendegar jawaban Shuvi, kemudian dia
menatap ke luar jendela. Badai di luar sudah mulai reda entah sejak kapan. Dari
jendela itu—mungkin ini berkat perlindungan Kainas—yang bisa Riku lihat
hanyalah bunga dan pohon yang mekar dengan indahnya, sama sekali tidak ada
tanda-tanda abu kematian yang mendekati tanaman-tanaman itu. Dan meski Riku
tidak mau mengakuinya, tapi pemandangan itu terlihat…
“… Indahnya…”
Riku berbalik untuk menatap orang yang telah mendahuluinya
itu, gadis mesin yang bahkan lebih manusiawi dari dirinya sendiri. Matanya
berbinar karena terpesona pada kelopak bunga yang berjatuhan. Mata merah itu
memantulkan semua yang dia lihat apa adanya.
“… Shuvi…”
Gadis itu menoleh ke arah Riku. Pemuda itu pun menanyakan
ceita yang dulu pernah dia anggap tidak berguna.
“Alasan kenapa perang dan syarat untuk menyelesaikannya…
beritahu aku.”
XXX
Bersama, Riku dan Shuvi berjalan melalui reruntuhan kota Elf
ditengah-tengah guguran bunga seakan mereka sedang berjalan melewati sebuah
kebun yang indah. Abu hitam telah disapu oleh badai kematian, tapi tidak lama
lagi abu-abu itu akan kembali turun dari atas awan. Mereka tidak boleh terlalu
lama di sini… Tapi Riku masih ingin memikirkan cerita yang dia dengar dari
Shuvi.
“Tahta dari Dewa
Tunggal… Suniaster… hmm.”
Sebuah perang untuk menentukan dewa mana yang terhebat,
siapa yang berhak memerintah semua dewa dan spirit—Dewa yang sebenarnya. Sebuah alat konseptual yang katanya bisa
memberikan kekuasaan mutlak—Suniaster atau ‘Astral Grail’. Ini adalah
tujuan dari perang besar ini. Dan itu artinya… ya ampun…
“Hei, Shuvi. Aku boleh tanya satu lagi?”
… Tidak mungkin. Tidak
mungkin. Begitu pikir Riku sambil bertanya pada Shuvi.
“Apa… apa mungkin tidak ada yang menyadari jika ada cara lain yang bisa dilakukan!?”
“…. Cara… lain…?”
Saat melihat mata Shuvi yang membelalak, Riku hanya bisa
menggerutu.
Aku mengerti. Bahkan
Shuvi tidak tahu jika cara itu juga bisa dilakukan. Tidak, mungkin karena dia
itu Shuvi—karena dia kuat—dia tidak bisa melihat sesuatu yang sangat… simpel?
“Hei, Shuvi… Tidak menjadi dirimu sendiri itu bagus, kan?”
“…? Riku, Bukannya kau selalu… menjadi dirimu… sendiri?”
“Tidak. Aku selalu berjuang seperti orang bodoh dan membuat
topeng untuk menyembunyikan diriku sendiri, tapi…”
Riku tersenyum dan mengenakan topengnya. Sekarang Shuvi
tidak bisa melihat wajah pemuda itu. Tapi melalui kacamata google yang ada di
sana, Shuvi bisa melihat mata hitam yang berbinar kuat.
“Aku mulai merasa jika bersamamu, kita bisa melakukan banyak
hal menarik di dunia ini.”
“… Menarik…? Aku… tidak mengerti…”
Riku mengusap kepala Shuvi sebagai permintaan maaf dan
kemudian tersenyum kecut.
“Itulah menariknya dirimu… Bagaimana denganmu, Shuvi? Apa
kau bosan saat bersama denganku?”
“Tidak.” Jawab Shuvi dengan cepat dan wajah yang datar.
“Benarkah? Aku tidak bermaksud menyombongkan diri, tapi aku
terkenal sebagai laki-laki kurang ajar, kau tahu? Mungkin kau belum pernah tahu
rasanya…”
“Jika aku tidak tertarik… padamu… aku tidak akan… memutuskan
koneksiku sendiri... dan memilih… untuk berada di sini.”
Lagi, gadis itu merespon ucapan Riku dengan wajah yang
sangat datar, meski kali ini nada suaranya terdengar lebih agresif. Hal ini
membuat Riku berpikir.
… Shuvi berkata jika
aku harus bertanya pada ‘hati’ku mengenai apa yang ingin kulakukan. Dan apapun
keputusan yang kuambil, dia akan membantuku… kalau begitu, aku harus bertanya—Apa
yang ingin kulakukan?—dan mengikuti
apapun yang muncul dalam kepala dan hatiku…. Bisakah aku melakukannya?
“… Ya, seperti… itu…”
Shuvi menatap mata Riku saat pemuda itu sedang memikirkan
pilihan yang dia miliki saat ini.
“… Aku tertarik… dengan… mata
itu…”
“Benarkah? Apa yang kupikirkan sekarang mungkin ada di
tingkat yang sama dengan delusi, dan aku yakin anak kecil juga akan berkata
seperti itu. Kau tahu kan?”
“Itu… tidak apa-apa… tidak, koreksi…”
Shuvi menggelengkan kepalanya beberapa kali seakan dia
sedang berpikir keras, dan pada akhirnya dia berhasil mencapai sebuah
kesimpulan. Shuvi menganggukkan kepalanya dengan mantap karena sudah berhasil
memahami salah satu perasaan itu. Dan karena dia merasa sangat puas pada
dirinya sendiri, dia menunjukkan senyum lebar yang bahkan akan membuat orang
lain merasa tidak percaya jika dia adalah seorang Ex-Machina.
“… Itulah yang…
kusuka… darimu, sepertinya?”
Riku saja tidak tahu kenapa.
“Dasar plin-plan!”
Yang pasti, dia tidak bisa ingat kapan terakhir kali dia
melakukan sesuatu hinnga sejauh ini. Dia bahkan sampai memegang perutnya dan
tertawa keras hingga air mata keuar dari kedua matanya.
XXX
Dan kemudian, tidak lama setelah perjalanan mereka berdua,
waktunya pun tiba.
“Riku!! Ini buruk! Teleskop di atas menangkap 6 Dragonia dan
beberapa kapal perang Dwarf yang bergerak ke arah kita!”
Simon langsung turun dari posnya dengan wajah sepucat mayat.
Couron kemudian memberikan penjelasan tambahan mengenai hal tersebut.
“Mereka pergi ke arah utara – barat laut dan timur – timur
laut! Jika mereka bertemu di jalur ini, akan muncul medan pertempuran di
sebelah timur desa ini!!”
Berbagai macam teriakan terdengar dari seluruh desa.
Beberapa bahkan berkata jika ini adalah akhir dari mereka semua.
Riku mengarahkan pemindahan semua penduduk desa dan
pemilihan makanan dan alat yang akan dibawa dengan sangat efisien. Di sisi
lain, Riku, Shuvi, dan Couron menghitung seberapa besar dampak pertempuran itu
untuk 15 menit kedepan. Dari 2 pilihan yang mereka dapatkan dari 5 tahun
melakukan penjelajahan, mereka memilih tempat evakuasi yang paling sesuai. 8
Jam sebelum pertempuran terjadi, mereka harus menyelesaikan proses evakuasi,
mulai bergerak, dan…
Hampir 2.000 penduduk desa melihat rumah mereka dilalap api
dan hancur menjadi debu di depan mata mereka. Jumlah orang yang meninggal dalam
proses evakuasi ini hingga akhir lebih sedikit dari perkiraan awal mereka,
hanya 200 orang. Meski ada medan pertempuran di jarak sedekat ini, jumlah
korban dari pihak mereka bisa dibilang kecil. Tapi, semua orang yang
menyaksikan hal itu dari sebuah dataran tinggi tersembunyi yang tidak jauh dari
desa, mereka menangis saat melihat rumah mereka hancur dan menghilang tanpa
bekas sedikitpun.
Wajar jika mereka
merasa seperti itu. pikir Couron dengan tubuh gemetaran. Jika seseorang
kehilangan rumah mereka, dia bisa membangun rumah lainnya… hal itu masuk akal. Teleskop
yang sudah susah payah mereka dapatkan juga lenyap begitu saja, tapi apa yang
bisa mereka lakukan? Kau boleh bilang jika semua usaha itu demi hari ini.
Mereka sudah menyelamatkan dokumen-dokumen paling penting, peta, alat-alat
berharga, dan sebagainya. Pasti…
Tapi apa…? Yang memiliki nilai berharga bukan hanya
benda-benda itu. Ada banyak hasil kerja keras dan pengorbanan yang dilakukan
seluruh penduduk demi desa itu. Perasaan orang-orang yang tinggal di sana,
permohonan dan doa yang sudah mereka percayakan…
Semua itu menghilang dalam sekejap, hancur hanya karena
peluru nyasar dari pertempuran para monster itu. Tidak ada niat buruk atau arti
sama sekali. Tentu salah jika mereka
tidak menangis. Aneh jika hati mereka tidak
hancur. Memang benar jika nyawa mereka berhasil diselamatkan—tapi apa yang
harus mereka lakukan setelah ini? Mengulangi siklus yang sama sekali lagi?
Mengorbankan lebih banyak orang, menelan air mata pahit, menggigit bibir untuk
menahan rasa frustasi… hanya untuk mengalami hal yang sama sekali lagi?
Dihancurkan seperti sampah tidak bernilai? Saat air mata hampir saja jatuh dari
pelupuk mata Couron, gadis itu melihat punggung adik laki-lakinya.
“Riku…? Riku!”
Riku duduk di samping Shuvi sambil memeluk lututnya, bahunya
bergetar dengan hebat. Couron berlari menghampiri pemuda itu.
“Riku, Riku, bertahanlah! Lihat, ada banyak orang yang
berhasil selamat—kau sudah melakukan semua yang kau bisa!”
Tidak lagi. Sudah
cukup. Berhenti membuat alasan, ucap Couron pada dirinya sendiri. Dia
menyiapkan diri untuk melakukan apa yang harusnya dia lakukan. Dia tidak bisa
terus bersandar ke bahu adik laki-lakinya seperti ini dan membuatnya menanggung
semua beban itu… dia juga harus menanggungnya mulai sekarang!
“Riku, kau sudah melakukan bagianmu kan…? Mulai sekarang, kakakmu
ini yang akan mengurus semuanya, jadi…”
Tapi, kemudian…
“… Shuvi, kau sudah merekamnya, kan?”
“… Jelas sekali…”
Riku mengangkat kepalanya dan memperlihatkan seringai
lebarnya pada Couron.
“… Uh… a-apa? Ri-Ri…ku?”
Sebut itu insting wanita atau apapun itu—Couron bisa
langsung mengetahui jika ada sesuatu yang tidak beres saat melihat perubahan
adiknya yang sangat mendadak itu. Kau
tidak bisa lari! Riku menarik lengan Couron dan gadis itu langsung
berteriak “Eeeh!!”
“Jadi, begitulah Couron. Mulai hari ini kau kepala desanya.
Berjuanglah~!”
“Huh… huuh…?”
Dengan seringai lebar di wajahnya, Riku memberikan sebuah
map pada Couron.
“Ini adalah posisi desa baru kita. Pergilah ke sana lewat
terowongan bawah tanah, dengan begitu kalian bisa sampai dengan selamat.
Tempatnya agak berantakan, tapi sudah siap untuk ditinggali. Aku memilihnya karena alasan itu.”
Riku lalu bertukar tatapan dengan Shuvi yang berdiri di
sampingnya. Di sisi lain, Couron melihat adiknya itu pergi ke arah berlawanan
dari dirinya. Setelah kesadarannya kembali, dia berteriak.
“Hei…! Tunggu sebentar, Riku! Bagaiamana aku bisa…?
Bagaimana caranya kami…?”
Meski Couron menggunakan semua keberanian yang dia punya,
tanpa Riku—tanpa adik laki-lakinya—Couron tidak bisa menggantikannya. Gadis itu
mencoba berteriak tapi…
“Kau akan baik-baik saja, Couron. Lagipula—tidak akan ada yang mati setelah ini.”
“…. Apa?”
“Ahh, tenang saja. Aku akan mengabarimu. Aku juga merasa
lebih lega karena aku bisa menyerahkan semua orang kepadamu.”
Setelah Riku mengatakannya dia kembali berjalan. Couron yang
merasa kaget hanya bisa menatap punggung adiknya yang semakin menjauh itu.
“… Hei, Riku..”
Panggil Couron. Tapi yang sekarang berbalik menghadapnya
bukan Riku yang Couron tahu.
Tidak, itu tidak benar.Couron sangat mengenal Riku. Itu…
adalah Riku sebelum ia menutup hatinya. Dan orang yang berhasil membuka hati
pemuda itu adalah gadis yang selalu berkelana bersamanya—Shuvi… Couron yakin
itu. Gadis itu pun menghela nafas panjang dan bertanya, meskipun begitu dia
sudah tahu jawaban apa yang akan diberikan oleh keduanya.
“Heeeii… apa yang ingin kalian lakukan…?”
Respon yang diberikan Riku persis seperti dugaannya. Tidak,
bisa dibilang responnya lebih dari dugaannya… Riku yang asli akan akan merespon
seperti ini—matanya terlihat berbinar, penuh percaya diri, dan menyimpan tekad
membara.
“… Bermain game. Kami ingin… memainkan permainan anak
kecil!”
Chapter 2-10 Daftar Isi Chapter 3-1
Komentar
Posting Komentar