I'll Become a Villainess That Will Go Down in History Chapter 153
Disclaimer: Novel ini bukan punya saya.
XXX
"Will punya 1 mata darimu, iya kan? Dia awalnya kaget saat merasakan bagaimana bagusnya kemampuan visualmu. Dia bilang dia tidak pernah melihat dunia seindah sekarang saat dia menggunakan matamu." ujar Nate saat melihat kebingungan di wajahku.
Ah, jadi paman tahu dari sana. Karena kemampuan visualku tetap terjaga saat aku meminjamkannya pada paman Will, harusnya aku tidak kaget soal itu.
Tapi anehnya aku sama sekali tidak tahu soal indahnya dunia ini. Semua yang kulihat terasa penuh dengan kejahatan. Maksudku, aku ini kan wanita jahat... Tidak mungkin aku mempersepsikan dunia ini dengan indah, iya kan?
Tapi saat aku memikirkannya lagi, aku yakin paman Will sudah menebak apa yang akan terjadi jika dia mengirim Nate untuk menemuiku. Dia mungkin ingin kami berdua bertarung dan aku bisa mendapatkan kepercayaannya.
Meski dia tidak merancang keadaan ini, jika aku diserang seseorang dengan niat membunuh, paman Will pasti juga sudah bisa menebak jika aku akan tetap melawan dan menang.
Tapi, ada 1 hal yang tidak kupahami. Bagaimana dia tahu kalau aku bisa menggunakan pedang dengan baik?
Tapi, yang sedang kubicarakan ini paman Will. Kurasa dia pasti sudah mengetahui semua semua itu hanya dari caraku berjalan.
Dia memang punya kualitas mumpuni sebagai seorang raja. Kebijaksanaan dan pengetahuan tingkat tinggi yang bahkan sulit untuk ditandingi para pejabat kerajaan ini, tapi... karena dia tidak bisa menggunakan sihir dia tidak bisa naik tahta. Jadi begitu ya... dengan kondisi dunia yang sangat terbelakang seperti ini, dia masih bisa mengagumi keindahannya?
"Sihirmu juga sangat menakjubkan. Aku juga tidak menyangka jika kemampuan berpedangmu setinggi ini... Kau memang yang terkuat. Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkannya." kata Rebecca sambil menatapku dengan mata berbinar.
Hm... rasanya, aku seperti sedang dipuji.
"Tapi aku bukan yang terkuat. Ada orang di luar sana yang jauh lebih kuat dariku." kataku pada Rebecca.
Liz-san adalah orang terkuat. Tidak ada yang bisa menandinginya. Bahkan kekuatan sihir Duke-sama tidak akan bisa menang melawannya.
Mata Rebecca membelalak saat mendengar jawabanku. Bibirnya terlihat sedikit terbuka seakan ingin mengatakan sesuatu.
Jika kau ingin komplain tentang sistem dunia ini, pergi saja ke para administrator game. Jujur saja, Alicia adalah satu-satunya orang yang kusuka dalam game ini.
Aku pun teringat, ada banyak sekali hal yang ingin kusampaikan pada para administrator itu! Sejauh ini yang paling menyebalkan adalah sistem sihir yang penuh dengan kekurangan. Mereka pasti asal saat membuatnya, seakan mereka cuma menyatukan dan memasukkan mantra-mantra secara random. Lalu, untuk membuat heroinnya mencolok, mereka membuatnya menjadi Mary Sue dengan kekuatan sihir yang melebihi batas imajimasi manusia.
"Hh, kelebihan yang dimiliki gadis itu cuma kepalanya yang penuh dengan padang bunga dan dan kekuatan sihir yang luar biasa. Kalau soal seni berpedang atau kecerdasan, kau lebih baik, Alicia."
"Aku tidak tahu... kupikir Liz-san sebenarnya lebih pintar dariku."
"Dia mungkin memiliki pengetahuan dalam beberapa hal, tapi aku tidak bilang dia punya sikap yang mendukung kecerdasannya itu. Soal aplikasi, pemahaman, atau kebijaksanaan, dia benar-benar tidak berguna." ujar Gilles dengan wajah seakan dia baru saja mengumpat.
Oke... katakan saja jika Liz-san memiliki keceerdasan yang tidak terlalu bagus. Tapi hal itu tidak mengubah fakta jika dirinya sangat terkenal. Dia akan disukai siapa saja kemanapun dia pergi. Bisa dibilang jika itu adalah salah satu kekuatan yang dia miliki.
Jika dia datang ke desa ini, kupikir mereka semua pasti akan menyukainya.
Ugh... aku harus berhenti berpikir pesimis seperti ini.
Hati Liz-san terlalu lembut! Jika dia datang ke tempat ini, dia tidak akan berguna...! Ya. Ayo berpikir seperti itu saja.
"Ini, kukembalikan." kataku sambil mengembalikan pedang Rebecca.
Oh, benar juga... aku bisa menggunakan sihir sekarang.
Karena itu aku menjentikkan jariku.
Saat aku melakukannya, aura berwarna hitam pekat langsung menyelimuti semua pedang yang ada di alun-alun ini.
Untunglah mantranya aktif dengan lancar. Dalam hati aku menghela nafas lega.
Perlahan, aura hitam itu semakin menipis dan beberapa saat kemudian menghilang tanpa bekas.
Semua pedang yang rusak kembali utuh seperti sedia kala, bagian-bagian yang berkarat pun kembali bersih berkilau.
Mata semua orang berkilauan saat mereka melihat hasil karyaku. Nate juga. Matanya membelalak selebar piring dan wajahnya terlihat kaget.
Kejadian ini bisa dimasukkan dalam folder kebaikanku hari ini, iya kan?
Pedang milik Nate bisa memotong rambutku meski dalam kondisi yang tidak prima. Sekarang pedang mereka kembali tajam dan berkilau, sebesar apa kerusakan yang bisa mereka timbulkan ya? Untungnya hanya sedikit rambutku yang terpangkas. Meski aku tidak terlalu peduli dengan rambutku, aku tetao tidak mau punya gaya rambut aneh.
"Ini..."
"Aku tidak tahu harus bilang apa."
"Aku tidak percaya. Aku... tidak bisa percaya ini."
"Aku tidak percaya jika semua pedang tumpul dan berkarat itu bisa terlihat sebagus ini."
Beberapa orang berkata seperti itu dengan wajah yang hampir menangis. Suara mereka bergetar karena merasa tidak percaya jika pedang jelek mereka bisa kembali bagus seperti ini.
Sihir memang keren. Sekali lagi, aku bisa merasakannya kehebatannya. Orang yang bisa menggunakan sihir memiliki keuntungan besar yang tidak dimiliki orang tanpa sihir... Jika aku tidak datang ke desa ini, aku mingkin tidak akan bisa memahami realita dunia hingga titik ini.
Kami para bangsawan memiliki sihir, uang, dan kekuatan. Semuanya ada di ujung jari kami dan kami bisa menggunakannya sesuka kami. Tapi orang-orang ini, semua rakyat biasa yang tidak memiliki kelebihan ini, apa yang mereka punya? Siapa yang akan melindungi mereka dari kejamnya dunia ini? Dari kami?
... Kerajaan ini? Tidak... jika itu yang terjadi, desa ini tidak akan tercipta. Meski kami memiliki kekuatan sebesar ini, kebanyakan bangsawan hanyalah orang bodoh yang gila kekuasaan dan harta. Memiliki kekuasaan pada rakyat dan menggunakan kekerasan agar mereka menurut mungkin merupakan pilihan yang paling mudah bagi para bangsawan, tapi hal itu tidak mengubah fakta jika mereka hanya kumpulan orang hina dan pengecut.
Aku menolak menjadi seperti mereka. Aku ingin menjadi wanita jahat yang kuat dan cerdas... Aky pasti akan menjadi wanita jahat yang tidak menggunakan cara licik dan keji seperti itu. Aku ingin menjadi kuat di hadapan orang kuat, tapi juga menjadi penjaga bagi orang lemah.
Meski begitu aku tidak boleh mabuk dengan kemampuanku. Aku tidak bisa terlalu mempercayai para bangsawan itu. karena itu aku memilih untuk menjadi lebih kuat. Bagaimana caranya agar aku bisa menjadi orang yang bahkan ditakuti oleh Liz-san?
Dulu, aku sudah puas saat berpikir jika aku hanya perlu menjadi semakin kuat. Tapi, saat aku menjadi semakin kuat, aku semakin mengerti jika ada yang lebih penting daripada kekuatan fisik dan sihir. Perlahan, sudut pandangku mulai berubah, meski keinginanku menjadi wanita jahat tidak pernah berubah.
Aku sadar jika aku menjadi kuat artinya aku juga memiliki kewajiban untuk melindungi yang lemah. Aku mulai berpikir, mungkin ini alasan kenapa kami memiliki kekuatan seperti ini. Orang yang diberi kekuatan sihir di-design untuk melindungi yang lemah... tidak peduli meski mereka hanya orang bodoh yang memang sengaja diciptakan seperti itu oleh para administrator.
Tapi, aku tidak akan melindungi mereka dengan gratis. Sebagai balasannya, aku akan membuat mereka mengikuti dan mematuhiku. Aku tidak akan membiarkan mereka menentang perintahku. Itulah arti menjadi wanita jahat yang sesungguhnya. Inilah caraku bekerja. Sebagai kompensasi dari perlindunganku, aku akan meminta kepatuhan dan kepasrahan dari mereka.
Hal ini juga menunjukkan seberapa besar perubahan pikiranku sejak saat itu. Jika aku masih aku beberapa tahun yang lalu, aku tidak akan memiliki pikiran untuk melindungi mereka semua, meski dengan timbal balik untukku.
"Alicia, apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Gilles sambil menatap ku tepat di mata.
Ini hal yang sangat lumrah, tetap menatap lawan bicaramu adalah hal yang sangat penting. Tapi, bagi anak laki-laki yang beberapa tahun lalu terlihat lelah menjalani hidup dan merasa takut saat berinteraksi dengan orang lain... saat aku melihatnya menatapku seperti ini, rasanya aku seperti mendapat berkah Ilahi.
"Aku kepikiran sesuatu yang bagus." kataku dengan senyum lembut.
"Apa itu?"
"Kalau orang lemah harus menuruti yang kuat."
"... Karena?" tanya Gilles dengan ekspresi yang tidak berubah.
Kenapa dia malah bertanya seperti itu? Masa dia tidak tahu apa yang sedang kupikirkan? Yah, kami memang dekat, tapi itu tidak berarti jika Gilles bisa membaca semua pikiranku.
Jika mungkin, aku lebih memilih untuk tidak mendiskusikan masalah ini. Padahal jika aku berhenti sampai di sini, aku bisa terlihat seperti wanita jahat yang sangat meyakinkan.
"Alasannya?" desak Gilles.
... Apa ini bentuk bully yang baru? Tapi aku tidak punya alasan untuk tidak menjawab pertanyaannya.
"Di saat yang sama, yang kuat memiliki kewajiban untuk melindungi yang lemah." gumamku.
"Ya. Itulah yang harusnya dilakukan." ujar Gilles dengan nada tenang seakan dia sudah tahu jika aku akan berkata seperti itu.
Komentar
Posting Komentar