I'll Become a Villainess That Will Go Down in History Chapter 152
Disclaimer: The novel never gonna be mine~~.
🌸🌸🌸
"Aku tidak percaya kalau kau sekuat itu." kata Rebecca dengan nada kagum.
"Kau bahkan belum melihat kemampuan Alicia yang sebenarnya." kata Gilles sambil nyengir.
Ah, Gilles menduluiku lagi. Padahal aku baru mau bilang!
"Tentu. Aku akan melawanmu." kata Nate tenang. Dia tidak memalingkan wajahnya dariku dan langsung menarik pedang keduanya dan bersiap melawanku.
Oh, ternyata dari awal dia membawa 2 pedang toh?
Tunggu... tadi dia menarik pedangnya dengan tangan kanan, tapi sekarang dia menarik pedang kedua dengan tangan kiri... apa dia pengguna 2 pedang?
Kemampuan yang sangat langka! Aku tidak pernah melihat orang yang bisa menggunakan 2 pedang sekaligus. Alasannya utamanya karena menggunakan 2 pedang sekaligus membutuhkan konsentrasi yang sangat tinggi dan koordinasi mata yang baik, orang yang menggunakan teknik ini juga harus memiliki kekuatan yang lebih besar dari pengguna 1 pedang yang biasanya. Meski yang digunakan hanya pedang ringan, hal seperti itu sangat sulit dan aku tahu pedang yang digunakan Nate bukan pedang yang ringan. Dan lagi, pedang yang kupegang ini juga lumayan berat.
"... Rebecca, pinjam pedangmu." kataku sambil menatap Rebecca.
"Eh? Tapi pedangku tidak bagus...?" kata Rebecca dengan wajah bingung.
"Tidak apa-apa, pinjamkan saja padaku. Ini, aku kembalikan pedangmu." kataku sambil menyodorkan pedang yang kupegang pada Nate.
"Hah? Apa punyaku tidak cukup bagus untukmu?" tanya Nate dengan nada tersinggung.
"Bukan, bukan itu. Aku ingin kau melawanku dengan seluruh kekuatanmu. Kau tidak bisa melakukannya hanya dengan 1 pedang kan?" ujarku sambil tersenyum.
Mata Nate membelalak.
Tentunya, level observasi yang seperti ini tidak mengejutkan... iya kan? Sebagai wanita jahat, wajar jika aku terus mengamati sikap dan perilaku musuhku.
"Ha! Kau mengamati dengan baik." kata Nate sambil tertawa kecil, lalu dia mengambil pedang itu dari tanganku. Rebecca pun memberikan pedangnya padaku.
Pedang mereka berdua punya panjang yang sama dan keadaan yang sama buruknya... Aku yakin jika pedang ini sudah mengalami banyak hal. Jika dilihat dari keadaan bilah pedang dan gagang pegang ini, aku tahu jika Rebecca sudah berlatih dengan keras.
Aku kembali menatap Nate. Dia sudah bersiap dengan 2 pedang di tangan.
Ekspresinya sangat mengerikan dengan aura membunuh yang sangat kuat. Aku hanya tersenyum padanya sambil menerima tatapan haus darah yang dia tujukan padaku.
untuk sesaat, 1 detik saja, aku sangat senang saat melihatnya terlihat ragu. Sepertinya niatku untuk melawannya dengan serius tersampaikan dengan baik.
"Nafsu membunuh mereka membuatku bergidik."
"Ya, terutama nona kecil itu... rasanya mengerikan."
Itu yang kudengar dari para penonton yang ada di sekitar kami.
... Pujian yang sangat menyenangkan. Aku sangat senang karena mereka bisa merasakan semangat bertarungku.
"Kapanpun kau siap, kau bisa menyerang duluan." kataku dengan nada merendahkan. Aku sangat yakin jika aku menjadi pemenangnya.
"Jika kau meremehkanku, kau akan menyesal." kata Nate dengan nada serius. Dia terus fokus menatap pergerakanku seperti seekor singa yang sedang memburu mangsanya.
Setelah keheningan selama beberapa saat, tiba-tiba angin mulai berhembus kearahku.
... Kecepatan itu! Nate memperpendek jarak diantara kami dalam sekejap.
Saat aku berada dalam jarak serangnya, dia langsung menebas dan menusukku dengan pedangnya. Kepala, bahu, perut, dan kakiku... tidak ada yang aman. Aku menahan, membalas, dan menghindari semua serangan yang mengarah kepadaku.
Kekuatannya sangat hebat.
Meski serangan beruntunnya tidak menunjukkan tanda berhenti, setiap serangan Nate... setiap tebasannya terasa berat dan sangat kuat... serangan yang sepertinya tidak mungkin dengan otot-otot lengan seperti itu.
Dari semua pengguna pedang yang pernah kulawan, dia yang paling ahli.
"Gadis itu hebat juga..."
"Dia bisa mengimbangi kapten Nate. Mereka sama kuatnya!"
"Gerakan mereka terlalu cepat! Aku tidak bisa melihat mereka!"
"Lihat! Kapten sudah serius seperti itu... aku tidak percaya nona itu bisa menahan serangan kapten dengan tangan kecil seperti itu."
Para penonton menjadi semakin bersemangat dan suara teriakan mereka menjadi lebih keras lagi.
"Alicia!" teriak Gilles. Sesaat kemudian, aku bisa melihat sebuah bilah pedang yang semakin mendekatiku.
Kecepatannya pasti lumayan cepat, tapi bagiku semua itu terlihat dalam mode gerak lamban.
Aku langsung menghindar ke kiri. Sesaat setelah itu aku bisa melihat bilah pedang yang memotong beberapa helai rambutku.
Tidak diragukan lagi... jika aku lengah sedikit saja aku bisa kehilangan nyawaku. Nate sama sekali tidak menahan diri. Semua serangannya dipenuhi dengan nafsu membunuh.
"Bagaimana nona itu bisa menghindarinya..."
"... Dia pasti pakai sihir!"
"Agh! Jadi dia pakai sihir selama ini!? Dasar jal**g! Dia main curang!"
"Memang kau pikir dia siapa? Dia bangsawan! Yang mereka tahu hanya mencurangi orang seperti kita!"
Tiba-tiba decak kagum mereka berubah menjadi hinaan dan cacian.
"Diam." perintah Nate dengan nada dingin. Dia menatap para penonton dengan tatapan tajam.
Semua penonton yang ada di alun-alun langsung terdiam.
"Dia tidak melakukan trik apapun." katanya sambil menatapku. Setelah itu aku bisa melihat ujung bibirnya yang terangkat.
Oh? Dia laki-laki yang cukup baik. Apa mungkin dia orang yang suka bertarung dengan jujur dan lebih memilih untuk membiarkan kemampuannya yang berbicara?
"... Aku baru mau bilang itu." komplain Gilles.
"Nona, kuakui kau memang kuat." ujar Nate.
"Kau juga tidak buruk." balasku.
Saat aku mengatakannya, Nate sudah bersiap untuk serangan selanjutnya.
Aku tidak pernah berpikir jika menambah pedang yang kau gunakan bisa membuatmu sekuat ini... Aku ingin mempelajari tekniknya kapan-kapan.
"Aku tidak bisa melihat gerakan mereka lagi."
"Sekarang nona itu hanya bertahan. Bukannya kapten yang menang?"
"Kau bilang apa? Tentu saja kapten yang menang. Dia orang terkuat di sini!"
"... Aku tidak percaya kalau dia itu bangsawan. Memangnya ada nona muda yang bisa bertarung seperti itu?"
"Waktu kapten sudah serius, tidak ada yang bisa mengimbangi kecepatannya!"
Di belakang kepalaku, aku tahu jika para penonton sudah mulai ramai kembali, tapi aku terlalu fokus pada pertarunganku sehingga tidak bisa mendengar apa yang emreka katakan. Aku harus tanya Gilles nanti.
Aku ingin cepat-cepat menyerang balik... tapi dia tidak memberiku kesempatan sama sekali.
"Selesai sudah."kata Nate sambil mendengus. Ujung bibirnya terangkat dan kecepatan serangannya bertambah.
Sesaat, saat aku melihat ekspresi itu, bulu kudukku meremang.
Dia kelihatan sangat bajingan sekali...! Sungguh luar biasa!
Tapi! Aku tidak akan kalah! Pasti ada kesempatan yang akan muncul, titik lemah yang bisa kugunakan, aku hanya perlu menemukannya saja.
Aku tidak boleh terburu-buru. Aku harus tenang dan mengamati keadaan. Aku yakin ada kesempatan. Entah kapan itu.
Nate maju kedepan dengan seluruh kekuatannya, dia menendang tanah dan langsung melompat ke atas kepalaku. Dengan bantuan gaya gravitasi, dia jatuh bagaikan meteor. Kedua pedangnya membelah udara dan siap untuk menebasku tanpa ragu.
Dia terlihat seperti kijin yang sebenarnya. Atau mungkin seperti Asura jahat atau seorang dewa perang yang siap menebas kepalaku.
Pikiran itu muncul di kepalaku saat melihat matanya yang berapi-api.
Tapi, aku bisa melihatnya. Perutnya itu...!
Aku langsung melempar pedangku ke tanah dan menghindari pedangnya dengan melangkah ke samping. Di saat yang sama aku langsung melempar sebuah bogem sekeras yang kubisa ke arah perutnya.
Dengan kekuatan pukulanku, aku bisa mengubah arah jatunya dan mengirimnya terbang beberapa meter... Karena dia laki-laki dia tidak akan terbang seperti Jane, dan dia mendarat di jarak yang lebih dekat.
Tidak peduli seberapa kuat dirimu, seberapa cepat kau bisa bergerak, jika kau tidak bisa membuat keputusan tepat dengan tenang dan cepat dalam sebuah pertarungan, kau akan mati. Membuat keputusan bijak selama pertarungan adalah segalanya. Misalnya, seperti aku yang memilih untuk melemparkan pedangku dan memukul titik vitalnya dengan tangan kosong.
Saat Nate sedang terkapar, tidak ada orang yang bergerak dan berbicara. Tempat ini jadi se-sepi kuburan.
Aku berjalan menghampiri Nate, dan saat aku sampai di dekatnya dia sudah mencoba untuk kembali berdiri.
Lalu... apa dia sedang menangis? Tidak... tidak mungkin.
"Aku tidak percaya... tangan kosong...!" gumam Nate pelan dengan suara yang bergetar.
Tidak, dia tidak menangis... apa dia tertawa?
Nate menatapku.
"Aku kalah. Maaf sudah meremehkanmu." katanya sambil tersenyum ramah padaku.
Sepertinya sekarang dia sudah mengakuiku. Seperti yang kuduga, daripada diakui hanya dengan kata-kata manis, aku lebih suka mendapat pengakuan karena usahaku diakui.
... Ups. Aku sedang tidak menghina Liz-san, loh. Ini hanya pikiran pribadiku! Kebetulan aku juga menolak caranya menyelesaikan masalah.
Sayang sekali, padahal Liz-san jauh lebih kuat dariku. Dia akan diakui kemanapun dia pergi. Itulah arti menjadi heroine dan saintess. Tapi dia malah membuang semua kelebihan itu.
"Seperti kata Will, kau punya ketajaman visual yang sangat dinamis." kata Nate saat aku sedang memikirkan Liz-san. Kata-katanya membuatku sangat kaget.
... Bagaimana bisa paman Will tahu soal kemampuan visualku?
Komentar
Posting Komentar