I'll Become a Villainess That Will Go Down in History Chapter 151

 Disclaimer: Novel ini bukan punya saya.

😎😎😎

"Hah?"

Nate mengernyitkan alisnya saat mendengar perkataanku.

"Jadi? Siapa yang mau mencobanya? Rebecca? Atau..." aku terus menatap mata Nate dan berkata, "Mungkin kau?"

"Kau tidak serius kan?"

"Tapi aku memang serius kok." balasku sambil melepaskan pita yang ada di lenganku dan menggunakannya untuk mengikat rambutku ke belakang.

Tidak hanya Nate, bahkan Rebecca menatapku dengan ragu.

"Oh, aku takut. Dia sudah mengikat rambutnya ke belakang, dia sudah serius sekarang." cibir Nate.

"Apakah aku akan serius atau tidak, kau belum tahu soal itu."

Aku menatapnya sambil menunjukkan senyuman wanita jahat terbaikku.

Nate juga tidak mundur dari tantangan ini. Dia hanya menatapku dengan tajam. Atmosfer berat pun mulai menyelimuti alun-alun.

Aku bisa merasakan jika para penonton juga menahan nafas mereka saat menunggu jawaban Nate.

... Tebakanku benar. Dia adalah pemimpin orang-orang ini.

"Hei, Tyrone. Kau lawan dia." perintah Nate tanpa menoleh sedikitpun. Matanya tetap menatapku dengan tajam.

"Oke." jawab seseorang dengan badan besar seperti binaragawan. Kira-kira tubuh itu berapa kali besar tubuhku, ya? Saat aku sedang mengukur ukuran tubuhnya, aku menyadari tatapan jahat di matanya... ada apa dengan desa ini? Kenapa ada banyak orang dengan sifat jahat di tempat ini!?

Aku mengamatinya dan berusaha mengetahui ritme pergerakannya saat dia berjalan maju ke arahku. Ternyata Tyrone ini sangat mudah dipahami. Tangannya memang memiliki banyak otot-otot besar, tapi pergerakannya lambat seperti orang yang sedang menyiangi rumput. Saat dia berjalan aku bisa mendengar suara nafasnya yang keras dan ada kerutan besar diantara 2 alisnya.

Di salah satu tangan besarnya dia membawa sebuah gada berpaku. Di mataku dia terlihat seperti ogre atau orc yang ada di film-film fantasi.

Dari caranya membawa gada, aku bisa tahu jika dia kidal. Dia juga berjalan dengan mendahulukan kaki kiri dan sepertinya kaki itu terlihat agak pincang.

Dari yang kulihat, yang bermasalah bukan pergelangan kakinya, tapi lututnya... apa dia pernah terluka di sana?

"Oi, nona manja. Laki-laki ini akan menjadi lawanmu." ucap Nate dengan nada tidak sopan. Setelah itu dia menarik pedang yang ada di pinggangnya.

Aku menerima pedang itu dan memperhatikannya dengan seksama.

Pedangnya sudah berkarat, retak, dan tumpul karena sudah bertahun-tahun tidak digunakan.

Untung aku tidak membawa pedangku hari ini. Perbedaan kualitas senjata kami terlalu besar.

"Kondisinya jelek, iya kan?" tanya Nate seakan dia bisa membaca pikiranku. "Bagimu pedang itu mungkin hanya seonggok besi tidak berguna." katanya dengan nada merendahkan.

"... Ya. Keadaannya mengerikan."

"Hey! Kau sialan! Jangan merasa sok hebat hanya karena kau itu bangsawan!" teriak Tyrone yang berdiri di sebelah Nate.

Woah, dia lumayan mengintimidasi. Dengan badan sebesar itu, suara bass, dan wajah itu... Dia menggambarkan sosok preman yang sesungguhnya.

Aku menatap Tyrone dengan senyum puas.

"Kejujuran biasanya adalah pilihan terbaik."

"Omong kosong. Kau menghina pedang komandan kami, kau... aku pasti membunuhmu!" teriak Tyrone sambil menatapku tajam.

... Jadi Nate adalah komandan mereka? Sejak kapan desa ini punya pasukan?

"Tyrone, jangan bunuh dia. Berhenti sebelum itu." ucap Nate kalem.

... Pedang ini memang terlihat tumpul dan bisa patah kapan saja, tapi pedang ini cukup untuk melawan raksasa yang ada di depanku. Seorang ahli tidak akan menyalahkan ketiadaan alat yang memadai. Sebaliknya, ditangan seorang ahli, seonggok besi sekalipun akan menjadi sangat mematikan.

Rebecca mengeryit dan menatapku dengan khawatir. Responnya sangat normal.

Siapa yang akan menyangka jika nona muda sepertiku mempelajari bagaimana caranya berpedang? Semua orang pasti menganggapku anak bodoh yang sombong.

Hanya Gilles yang melihat kami semua dengan wajah terhibur.

"Aku siap kapan saja." kataku sambil bersiap siap. Ujung pedang yang kubawa kuarahkan pada bagian di antara kedua mata Tyrone. Udara di sekeliling kami terasa berat dan menggeliat seakan sedang bersiap untuk menghadapi sebuah benturan dahsyat.

Saat Tyrone merasakan nafsu membunuhku, dia bersiap dengan gada besinya. Dia mengangkat senjata itu dengan 1 tangan dan menatapku.

Tatapannya terasa tajam dan merendahkan, seakan aku ini serangga yang layak dihancurkan... Apa dia tidak suka saat aku menghina pedang komandannya?

Para penonton mulai diam dan suasana di alun-alun mulai semakin menekan.

"Setelah kau, nona." ejek Tyrone. Dia tersenyum lebar dan memperlihatkan giginya yang mulai menghitam.

Dia benar-benar meremehkanku, iya kan?

Aku tertawa. Apakah dia bisa tetap seperti itu setelah 1 menit berlalu?

Karena Nate adalah komandannya, harusnya dia punyaa level kecerdasan yang cukup. Dia mungkin berusaha mengukur kemampuanku dalam pertarungan ini, jadi dia tidak akan mengirim orang terkuatnya di pertandingan pertama. Mungkin Tyrone adalah prajurit yang memiliki level kekuatan menengah ke bawah. Terlebih lagi, Tyrone ini sangat meremehkanku dan menganggapku hanya nona muda manja biasa. Dia pasti tidak akan terlalu awas... dan aku akan memastikan jika pertandingan ini hanya berjalan selama 60 detik.

"Sesukamu saja. Aku akan menerima tawaranmu dengan senang hati."

Sebelum gema suaraku hilang, aku langsung melesat maju. Setelah itu aku langsung memutarinya dan menendang bagian belakang lutut kirinya sekuat tenaga.

Tyrone menggerutu kesakitan dan jatuh berlutut di tanah.

Pelan. Sangat pelan! Matanya bahkan bergerak selambat bekicot... jika seperti ini, aku bahkan tidak butuh pedang untuk menang.

Aku menendangnya sekali lagi, kali ini di bagian tulang belakangnya. Lalu untuk efek yang lebih meyakinkan, aku meletakkan pedangku di bagian bawah leher Tyrone dan menggesek sedikit kulitnya hingga mengeluarkan sebercak darah.

Ini terlalu mudah. Lupakan soal semenit itu, seranganku bahkan tidak menghabiskan waktu 15 detik. Aku mulai bertanya-tanya, apa fungsi dari semua otot besar itu?

Meski aku menang dengan mudah, dari pertarungan ini aku mengerti untuk yang kesekian kalinya... kedalaman persepsi dan kemampuan seseorang dalam menangkap gerakan orang lain sangat sulit dilakukan hanya dengan 1 mata saja.

Semuanya berjalan lancar karena musuhku kali ini sangat lambat. Tapi, jika aku menghadapi Nate, mungkin ceritanya akan lain. Dalam pertarungan jarak dekat, 1 detik bisa menjadi penyebab hidup dan mati.

Ngomong-ngomong soal 1 detik, aku sudah memenangkan pertarungan ini, jadi kenapa mereka masih diam saja? Aku tidak mengharapkan apa-apa, tapi tidak masalah kan jika mereka menyorakiku...

Aku menoleh ke kanan dan kiri, melirik para penonton yang berkumpul di sekeliling kami.

Mata semua orang terlihat hampir keluar dari tempatnya dan mulut mereka terbuka sangat lebar... Yah, semuanya kecuali Gilles. Dia juga menatapku, tapi ada sebuah seringai senang di wajahnya.

Aku tidak merasa terlalu senang karena semua orang terlihat begitu terkejut dengan kemenanganku. Mereka benar-benar menghancurkan perasaan menang yang kudapatkan. Dan lagi... memangnya siapa yang akan senang dengan kemenangan semudah ini? Jujur saja, aku berharap aku bisa bertarung dengan musuh yang lebih kuat dari Tyrone ini.

"Luar biasa..." gumam Rebecca dengan suara tercekat.

Padahal ini bukan sesuatu yang aneh. Ada banyak orang yang lebih kuat dariku di luar sana. Oh, tunggu... mungkin Rebecca berpikir jika yang kulakukan sangat luar biasa mengingat aku hanya memiliki satu mata.

Sebagai seseorang yang selalu melatih kemampuan berpedangnya setiap hari tanpa jeda, jika aku masih tetap lemah, maka tidak ada gunanya aku melatih diriku selama ini. Jadi, dari sudut pandangku, skill di level ini bukan sesuatu yang layak untuk dipuji. Ini sesuatu yang biasa saja.

"Kenapa kau menyerang lutut kirinya duluan?" tanya Nate sambil mengamatiku.

"Dia pincang di kaki itu." timpalku.

"Begitu? Kau melihatnya sedikit pincang?" tanya Nate sekali lagi.

Benar juga, orang biasa tidak akan menyadari jika Tyrone sedikit menyeret kaki kirinya. Tapi aku melihatnya dan merasa jika itu sudah cukup untuk membuatku menyerang bagian itu.

"Itu benar, dan suara langkah kaki kirinya sedikit berbeda. Saat kaki kirinya menyentuh tanah dan saat dia mengangkatnya lagi, suaranya berbeda dengan kaki kanannya."

Mata Nate terbelalak saat mendengar jawabanku. Aku bisa melihat seluruh iris kuningnya dari tempatku berdiri.

Ini adalah teknik pendengaran yang kulatih selama aku mengurung diri di kabin kecil itu. Karena aku tidak bisa meninggalkan kabin, aku harus mengembangkan indera pendengaranku agar aku bisa mendaparkan informasi dari para pembantu yang sedang bekerja di luar kabin. Berkat itu, pendengaranku menjadi semakin akurat meski levelnya belum setinggi milik paman Will...

"Apa kau mau menjadi lawanku yang berikutnya?" tanyaku pada Nate sambil sedikit memiringkan kepalaku. Sebagai tambahan, aku juga memberikan sebuah senyum manis kepadanya.




Chapter 150     Daftar Isi     Chapter 152

Komentar

Postingan Populer