NGNL Vol. 6 Chapter 2 Part 9

 Disclaimer: lihat daftar isi

XXXXX

Sudah berapa lama sejak Shuvi datang ke desa ini? Sulit untuk menjawab pertanyaan itu karena tidak ada kalender di sini, tapi menurut Shuvi, dia sudah berada di desa ini ‘kurang lebih satu tahun’. Riku berpikir jika waktu terlalu cepat berlalu, apalagi jika mengingat kalau bertahan hidup selama beberapa hari saja sudah terasa bagai selamanya…

“Hei… berapa banyak Old Deus yang ada di luar sana?”

Sekarang Riku sedang bermain catur dengan Shuvi di kamarnya.

“Secara teoritis… mereka adalah… proporsi jumlah… konsep… tak terbatas… tapi di banyak kasus… kondisi aktifasi… mereka… tidak bisa dipenuhi…”

Riku mengernyit saat mendengarnya—dan Shuvi menggerakkan bidaknya. Riku hanya menghela nafas saat melihat pertaruhan si gadis yang melawan dan menghancurkan strategi ortodoks yang dia bangun. Riku akhirnya memutuskan untuk membuat rencana baru dan menggerakkan bidak yang ada di depannya.

“Jadi para Old Deus… Ada dewa perang dan dewa hutan, seperti itu kan?”

Riku berpikir, Yah, mereka sebenarnya tidak melakukan tugas sesuai dengan nama mereka. Yang mereka pedulikan hanya perang.

Shuvi menganggukkan kepalanya.

“…. Dewa perang… adalah Artosh… pencipta… Flügel… Dewa hutan adalah… Kainas… pencipta Elf…”

Riku memotong penjelasan Shuvi setelah menyusun kata-kata dan langkah yang tepat. Saat langkah bidaknya dihalangi sekali lagi, Riku mengingat sesuatu. Perasaan mencoba lagi dan lagi, membuat langkah yang semakin bagus lagi dan lagi—dan dia masih tetap bisa dikalahkan.

…. Anak dengan seringai pemberani, yang selalu dia lihat di dalam kegelapan saat dia masih kecil—satu-satunya sosok yang tidak pernah bisa dia kalahkan…

 

“Hei, apa di luar sana ada dewa game?”

Pikiran itu tiba-tiba muncul dalam kepala Riku, lagipula dia tidak rugi meski menanyakan hal itu. Shuvi pun menjawab dengan serius.

“… Dia ada.Tapi ethernya belum…. ditemukan… Diasumsikan… kondisi aktifasi… tidak memenuhi…”

Dalam setahun ini, Riku sudah terbiasa dengan cara bicara Shuvi. Riku tertawa sejenak. Dia tidak tahu bagaimana detailnya, tapi dasarnya adalah sebagai berikut: Old Deus adalah ‘konsep’. Selama konsep dari game itu ada, dewa game pasti ada entah dimana. Tapi keberadaaan dan kondisi aktifasi—dari ‘ether’—adalah poin penentu apakah dewa ini ‘benar-benar ada’ atau tidak.

“Jadi kesimpulannya… menurutmu dia tidak ada. Setidaknya untuk saat ini…”

Checkmate. Setelah kalah banyak kali, Riku berdiri dan menghela nafas.

“Kau tahu, aku sudah berpikir untuk mengatakan hal ini berulang kali, tapi kau tidak perlu berbicara seperti itu saat kita hanya berdua seperti ini.

“… Mm… Tapi… sepertinya… inti suara dan pikiranku.. sudah tidak bisa kembali… seperti… semula.”

“Hmm. Dan dalam bahasa yang bisa dipahami oleh manusia?”

“… Aku tidak mau… kembali seperti… dulu… sepertinya.”

Lagi-lagi begitu? Pikir Riku sambil menyeringai jahil. Beberapa saat kemudian, mereka berdua keluar dari kamar bersama-sama.

 

Atmosfer penduduk desa saat melihat mereka berdua telah berubah. Riku mengakui hal tersebut saat melihat Shuvi yang berjalan di sebelahnya. Sejak gadis itu bergabung dengan mereka, alat-alat yang mereka miliki berkembang dengan pesat. Semua berkat kalkulasi dan desain yang sebenarnya tidak diminta oleh para penduduk desa. Berkat Shuvi juga, keakuratan pengukuran mereka dan tingkat keberhasilan penjelajahan mereka meningkat dengan pesat. Performa teleskop milik Couron juga dikembangkan lebih jauh lagi, lalu peternakan susu yang mereka miliki juga mengalami peningkatan. Kebutuhan untuk melakukan penjelajahan semakin berkurang dan jumlah pasokan makanan sangat mencukupi kebutuhan mereka semua. Karena itu…

“Hei, Riku! Kau menghabiskan waktu berduaan lagi dengan istri manismu?”

“Sudah kubilang dia bukan istriku, botak. Kenapa kau tidak menghabiskan waktu luangmu untuk terus berlutut di depan teleskop?”

“Shuviiii! Terima kasih banyak karena sudah bermain dengan anak-anak!”

Desa ini semakin terlihat ceria. Selama Shuvi berada di sana, mereka bisa hidup tanpa perlu megkhawatirkan kematian. Tapi pemandangan yang ada di depannya ini menciptakan bayangan baru di wajah RIku.

Dia tahu jika kedamaian ini hanya sementara, saat-saat tenang sebelum badai menerjang. ‘Interval’ yang tenang ini akan menghilang seperti debu hanya dengan sekali kibasan tangan dari sosok yang dinamakan dewa di atas sana. Mungin melupaan fakta itu juga merupakan anugrah, jadi mereka bisa hidup dalam kedamaian semu ini. Tapi, semua ini akan menghilang. Mungkin besok, mungkin hari ini—mungkin juga detik ini. Apa dia dan Shuvi terlalu banyak memberikan harapan untuk mereka? Riku mengernyitkan alis saat memikirkannya. Tapi, apa yang harus mereka lakukan? Pura-pura tidak melihat keputusasaan itu, percaya jika mereka akan aman di sini, dan akan hidup hingga perang berakhir suatu hari nanti? RIku berpikir keras. Setidaknya, bagi dirinya hal itu sangat tidak mungkin.

 

“Ho! Jendral! Berhenti bermain dengan bagian bawah istrimu dan bantu aku membetulkan pipa bocor ini!”

“…. Hmmm, Kalau kau ingin dipukul, bilang saja. Aku akan meminjamkan tanganku padamu.”

Riku menggulung lengan bajunya sambil menunjukkan senyum mengerikan dan kemudian berjalan menghampiri orang itu. Shuvi berdiri sendirian dan menunggu kembalinya RIku. Di saat yang sama…

“Shuuuvviiiii~~!”

Shuvi yang tiba-tiba dipeluk pun menoleh ke belakang. Di sana ada Couron yang sedang tersenyum padanya.

“Apa yang kau lakukan sendiriaan~~? Kau tidak bersama dengan RIku?”

“… Riku tidak bilang…. Untuk ikut dengannya…”

“Apaaaa! Shuvi, kenapa tidak kau tinggalkan saja suami tidak berguna itu dan menikah denganku!? Lupakan laki-laki bodoh yang hanya bisa meninggalkan istri manisnya seperti ini! Wuzza wuzza wuzza…”

“…. Riku… tidak bodoh…”

Couron menyipitkan matanya saat melihat raut cemberut di wajah Shuvi.

“Hei, Shuvi. Aku tahu kalau ini pertanyaan yang agak aneh untuk ukuran kakak perempuan, tapi…”

“… Riku bilang… ‘Dia bukan kakak perempuanku, jadi jangan hiraukan dia’…”

“Ah-hahahaha~! Aku akan memukulnya nanti! Ah, ngomong-ngomong!”

Couron berdehem keras untuk mengalihkan perhatian dan kemudian bertanya.

“Shuvi, apa kau suka pada RIku?”

“… Suka…?”

“Ya! Aku bertanya, apa yang membuatmu suka padanya! Ayolah, beritahu aku~!”

Saat itulah Shuvi sadar jika dia sedang ‘tegang’. Dan dia tidak tahu kenapa. Shuvi berpikir jika dia sudah terbiasa berpura-pura sebagai manusia. Tapi sekarang, saat dia sedang berhadapan dengan senyum cerah Couron, dia sadar jika dirinya sedang diuji. Shuvi berpikir dengan keras. Jujur saja, dia masih belum bisa menganalisa ‘hati’ manusia. Tentu saja, analisisnya soal perasaan ‘suka’ juga tidak lengkap, tidak bisa diartikan, jadi…

“… Aku tidak tahu…”

Shuvi memutuskan untuk menjawabnya dengan jujur.

“Aku… tertarik… pada ‘hati’ RIku… ‘perasaan’nya…”

Hari pertama saat dia bertemu dengannya, Riku berhasil menembus inti memori Shuvi yang terdalam. Sesuatu yang ada di dalam kedalaman mata RIku… muncul dalam pikirannya, sesuatu yang seharusnya tidak bisa dilakukan oleh Ex-Machina. Sebuah ‘kesalahan logika yang mengancam integritas cluster’ itu yang menyebabkannya diputus dari koneksi cluster. Itu adalah…

“… Huuuh, huh-huuh~~. Aku mengerti~.” Ucap Couron yang sepertinya bisa memecahkan misteri diantara Riku dan Shuvi. “Kau sedang bicara tentang cinta pada pandangan pertama, kan?”

… Apa?

“Mm-hmm! Riku itu, sebenarnya dia tidak begitu cerdas. Sifatnya juga kadang seperti itu, kau tahu kan…”

Couron mengangguk kea rah Shuvi yang sedang terbelalak. Kemudian dia berkata.

“Jika kau bisa melihat hati Riku yang sebenarnya dan jatuh cinta padanya—yep. Aku bisa mempercayakan adikku padamu~~.”

“…”

Cinta pada pandangan pertama. Konsep baru untuk dianalisis, begitu pikir Shuvi yang kelelahan. Cinta. Suka. Sayang. Tidak ada yang bisa dia analisis dengan sempurna, dan sekarang ada ‘cinta pada pandangan pertama’ yang artinya terjadi secara instan. Mungkinkah dia tidak akan pernah bisa menganalisis ‘hati’ yang sesungguhnya?

“Hei, Couron. Kau pasti memenuhi kepalanya dengan hal tidak perlu, iya kan?” ucap Riku yang baru saja kembali.

“Kau benar-benar adik yang menyebalkan. Menyebalkan dan tidak sopan! Kapan aku pernah…!?”

“Kau bilang padanya jika aku suka dada besar dan membuatnya menempelkan roti yang berharga di dadanya… Apa ada yang salah dengan otakmu, Couron?”

“Apaaa! Aku tidak salah! Gadis ini akan menjadi adikku suatu hari nanti! Jadi aku harus membantumu menikmati kehidupan rumah tangga dan hubungan badan yang menggairah…”

“Ayo pergi. Kebodohannya bisa menular pada kita. Jangan terlalu berhubungan dengan wanita itu.”

“… IQ bisa… ditransmisikan…?”

Mata Shuvi melebar saat mendengar data baru dari RIku.

“Oh, Riku… Kita mau kemana…?”

“Ini waktu yang tepat untuk mengajarimu mengumpulkan makanan, iya kan? Aku akan memperlihatkan bagaimana cara menggunakan alat jelajah dan yang lainnya.”

 

Tentu semua itu bohong. Ex-Machina bisa mengalahkan Demonia dengan tangan kosong. Apalagi usia Shuvi—jumlah tahun sejak dia dibuat—(menurutnya) adalah 211 tahun. Ada sesuatu yang ingin diperiksa Riku dan dia membutuhkan Shuvi untuk pergi ke sana. Tapi dia tidak bisa mengatakan itu pada Couron.

“Kami mungkin akan pulang telat. Tapi kami tidak akan pergi terlalu jauh.”

Couron mengatupkan tangannya dan melepas kepergian mereka dengan senyum lebar.

“Oooh—Kau ingin melakukannya diluar~?”

“Couron, kau harus mengganti otak rusakmu itu secepatnya.”

“Oh, tapi belakangan ini, kurasa kalian selalu melakukannya di bawah selimut?”

“Ah, ngomong-ngomong, diluar akan sangat dingin, jadi pastikan kalian…”

“Diam, Couron. Kita pergi sekarang, Shuvi…”

Riku berbalik dengan wajah kesal… Dia mungkin tidak menyadarinya. Tapi Shuvi dan Couron menyadarinya. Terutama Shuvi…

 

Ini adalah kali pertama RIku memanggil Shuvi dengan namanya. Pikiran Shuvi saat ini dipenuhi dengan error yang tidak bisa dia kenali. Ex-Machina itu bisa mendeteksi peningkatan suhu pada chassisnya… Shuvi melabeli ingatan itu sebagai ‘prioritas utama’ dan—tanpa tahu kenapa—menyimpan dan melindungi ingatan itu.


Chapter 2-8     Daftar Isi     Chapter 2-10


Komentar

Postingan Populer