NGNL Vol. 6 Chapter 2 Part 10
Disclaimer: Not mine
XXXXX
Saat berdiri di permukaan tanah setelah berjam-jam digendong
membuat Riku berpikir: Betapa mudah hidupnya
setelah kedatangan Shuvi. Jarak yang harusnya ditempuh selama 5 hari,
sembari berhati-hati pada kematian yang bisa muncul kapan saja (atau beberapa
bulan jika Riku merangkak dengan sangat hati-hati), bisa ditempuh hanya dalam
waktu setengah hari jika dia bersama
dengan Shuvi.
“… Jadi ini kota Elf yang sudah hancur…”
Ini adalah tempat yang sama dengan tempat yang ingin
diselidiki RIku tahun lalu. Struktur unik dari akar yang saling tertaut itu hampir
rata dengan tanah. Bekas serangan tersebar di banyak tempat, tapi reruntuhan
ini dikelilingi oleh bunga-bunga yang tumbuh dengan subur, seakan semua
keindahan dunia tertinggal di sini. Langit yang ada di atas terlihat semerah
darah, dan tanah dikotori oleh racun abu hitam. Tapi ditengah-tengah dunia kematian
itu, reruntuhan kota ini masih bisa menikmati perlindungan dari Old Deus.
Tempat ini benar-benar layak disebut sebagai kota metropolitan yang dibangun
para High Elf yang diciptakan Kainas. Riku tersenyum getir. Sepertinya, setelah
mereka mengubah bumi ini menjadi neraka, mereka masih ingin menyelamatkan rumah
dan surga mereka. Setelah berjalan selama beberapa saat, mereka berhenti di
tempat yang mereka tuju. Meski bangunan itu sudah runtuh, Riku masih bisa
melihat bentuk aslinya. Pemuda itu bertanya.
“Apa ini… perpustakaan?”
“… Mungkin… Bangunan ini… cocok… Kerusakan tidak terlalu…
parah… jika dibandingkan… dengan kota… Kerusakannya kecil…”
Jadi—ini adalah bangunan yang diberikan pertahanan tingkat
tinggi saat Flügel melakukan serangan. Itu artinya, kemungkinan bangunan
ini dijadikan shelter atau mungkin fasilitas penelitian… atau mungkin tempat
ini digunakan untuk menyimpan sesuatu—sebuah gudang.
“Aku mengerti. Kemungkinan
besar ini adalah perpustakaan milik Elf.”
Karena mereka tidak menemukan bagian yang mirip dengan
pintu, Riku dan Shuvi akhirnya masuk melalui celah pepohonan. Di dalam sana
mereka menemukan—jika bangunan aneh ini masih dipenuhi dengan barang-barang
yang kegunaannya tidak bisa langsung diketahui. Salah satu barang yang ada di
sana adalah… rak buku? Tapi tidak ada buku di sana. Sepertinya semua benda yang
ada di sini sudah dibawa pergi… tapi itu tidak apa-apa.
“Semua informasi yang tidak mereka perlukan masih sangat
berguna untuk kita…”
Dengan pikiran seperti itu, Riku mulai mengais sisa-sisa
sampah kertas dan buku-buku yang hancur.
“… Riku… kau bisa… membaca… tulisan… Elf?” Tanya Shuvi
sambil membalik berapa halaman buku.
“Dwarf, Elf, Fairy, Demonia, Werebeast… kau mau aku bicara
dengan bahasa apa?”
Shuvi menatap Riku yang menjawabnya dengan sangat santai.
“… Kenapa kau… bisa tahu… begitu banyak bahasa…?”
“Karena aku membutuhkannya untuk bertahan hidup. Informasi
yang kami dapatkan hanya akan menjadi sampah jika aku tidak bisa membacanya.”
Wajah Riku terlihat sangat serius, tapi dia tidak terlihat
marah atau benci.
Shuvi tahu ekspresi itu—mata itu. Itu adalah mata yang
ditunjukkan Riku saat dia sangat ingin mengalahkannya dalam permainan catur.
“Sebenarnya kondisi kami tidak separah itu. Para manusia tidak
dimusnahkan untuk selamanya. Kami menggunakan berbagai macam cara yang bisa
kami pikirkan—lisan ataupun tulisan—untuk meninggalkan pengetahuan, bahasa, dan
tradisi ras lain… dan semua pengetahuan itu bertahan hingga hari ini.”
Di dalam mata hitam yang menunjukkan kelemahan manusia,
kerapuhan, dan ketidakmampuan untuk melakukan sesuatu kecuali lari—lebih dalam,jauh di balik semua itu—adalah
sesuatu yang sangat ingin diketahui oleh Shuvi… kualitas dari semua kontradiksi
ini.
Intisari yang membaritahunya: Jangan remehkan umat manusia. Apa yang disebut sebagai ‘hati’.
“… Oh… Riku… Riku…”
Riku yang sedang sibuk menyaring informasi di salah satu
sudut ruangan mengangkat wajahnya untuk menatap Shuvi.
Beberapa saat setelahnya dia mendengar suara keras. Derit
besi yang dipaksa untuk terbuka itu memenuhi seluruh ruangan itu. Riku hanya
bisa terdiam saat melihatnya, tapi Shuvi meyakinkannya.
“… Ruangan bawah tanah… disembunyikan… dengan mantra… di
dalamnya kosong… Mau… lihat..?”
Riku yang melihat Shuvi memiringkan kepalanya dengan wajah
polos setelah membuka pintu super berat itu hanya bisa menghela nafas lelah.
….
Setelah Shuvi melakukan scanning untuk mencari makhluk hidup
lain di dalam sana, mereka berdua menuruni tangga bersama dan kemudian…
“… Apa-apaan ini?”
Riku tidak bisa menahan rasa kagetnya saat melihat
pemandangan luar biasa yang muncul setelah dia menuruni semua anak tangga itu.
Di depannya terbentang sebuah aula mewah, di tengahnya terdapat beberapa pilar
raksasa. Seluruh permukaan pilar-pilar itu dilapisi oleh pola-pola berwarna
merah.
“… 186 pilar… Pola itu adalah… segel perlindungan dari Old
Deus Kainas…? … Bukan.”
Setelah Shuvi menghitung jumlah pilar yang ada di sana
secara instan dan mengidentifikasi pola yang ada di permukaannya, dia
memiringkan kepalanya.
“… Tidak ada kecocokan… dengan data… mengenai… segel dan
upacara… yang dilakukan… para Elf..?”
“Yah, mereka pasti sedang membuat omong kosong baru yang
bahkan tidak kau ketahui, atau mungkin mereka sudah selesai membuatnya. Aku
tidak akan terkejut lagi meski mereka membuat sesuatu untuk membelah planet
ini—tapi sebelum itu…”
Dari sudut pandang manusia, membelah planet adalah hal yang
sangat berbeda. “Sebelum itu…” Riku berjalan ke salah satu pilar dan membaca
huruf yang ada di sana. “… Aka Si Anse Bukti dari Konsep Reaktor… Shuvi, apa kau
tahu apa maksudnya?”
“…. Tidak ada data… Tidak ada data dari para Elf… atau
katalis… untuk sihir…”
Aku mengerti. Riku
tidak benar-benar mengerti, tapi instingnyalah yang memberitahunya.
“Sepertinya kita tidak boleh terlalu lama. Aku tidak tahu apakah
mereka memiliki beberapa mantra lain di sini, tapi kita akan mencari tulisan
yang tersisa dan segera keluar.
Shuvi menganggukkan kepalanya dan mulai mengumpulkan
kertas-kertas yang tersisa. Mata Riku menatap salah satu kertas itu.
“…. Mereka bahkan menulis nama dari [pengembangnya; dalam
kode? Apa maksudnya…?”
Saat Riku melihat kode-kode itu, dia langsung tersentak.
XXXX
Riku dan Shuvi hanya berniat untuk mencari selama beberapa
saat dan langsung keluar secepatnya, tapi…
“Apa yang bisa kukatakan…? Kurasa kita tidak mungkin
bergerak di tengah semua ini.”
Tidak lama setelah meninggalkan perpustakaan (atau mungkin
tempat itu adalah markas penelitian rahasia) dan pergi dari reruntuhan itu,
tapi mereka berhenti karena ‘badai kematian’ menghalangi mereka. Itu adalah
fenomena yang terjadi saat konsentrasi debu hitam di udara sangat amat tinggi.
Hal itu menyebabkan terbentuknya corong angin berwarna biru terang yang
berputar dengan sangat cepat. Jika kau berlari ke arah badai itu, tidak peduli
apa yang kau lakukan, semua mayat spirit yang ada di dalam abu itu akan
memasuki alat-alat pelindungmu dan mengotori tubuhmu, karena itu mereka
berduakembali ke reruntuhan.
“… Riku… apa yang biasanya… kau lakukan… di situasi ini…?”
Tanya Shuvi saat mereka berlindung di ruang kecil yang ada di reruntuhan itu.
“Tidak ada yang kulakukan. Kau berlindung di dalam gua,
reruntuhan, atau menggali lubang jika perlu. Lalu kau hanya perlu menunggu
badai selesai.”
Riku menghela nafas. Badai kematian lumayan sering terjadi
dan biasanya badai itu terjadi selama beberapa jam… paling lama 1 hari.
Biasanya Riku akan menyembunyikan badannya di dalam lubang kecil dan menunggu
selama sehari penuh. Dia pernah mengalami hal ini satu atau dua kali.
Pertanyaannya—apakah tempat ini lebih
aman dari lubang itu?
“Bagaimana denganmu, Shuvi? Apa yang kau lakukan untuk
bertahan hidup?”
“… Mayat spirit… mengganggu… alat observasi jarak jauhku…
semuanya… hampir tidak bekerja…”
“Hmm… tapi di lain sisi, itu artinya kita aman dari serangan
ras lain.”
Pendeknya, badai kematian ini bisa menyamarkan keberadaan mereka. Mereka tidak bisa pergi keluar,
dan pergi dengan kecepatan tinggi Shuvi tanpa fungsi jelajah jarak panjangnya
itu terlalu berbahaya. Karena itu Riku berkata.
“Hei, Shuvi. Aku bertaruh kau pasti membaca papan catur itu,
iya kan?”
“…..”
Karena Shuvi mendengar jika mereka hanya akan ‘pergi
sebentar’, dia ingin membantah perkataan RIku.
“….. Maaf…”
Shuvi meminta maaf dengan wajah tersembunyi dan mengeluarkan
papan catur yang dia simpan di dalam tasnya. Pemandangan ini—dimana Ex-Machina merasa takut dengan
kemarahan manusia—sangat menggelikan, Riku pun tertawa.
“Aku tidak akan memarahimu… Lagipula kita tidak tidak bisa
melakukan apapun selama badai ini. Jadi kenapa kita tidak bermain saja?”
“….? Benarkah?”
Shuvi terdengar kaget dan bahagia, kemudian gadis itu mulai
menata bidak-bidak catur yang ada. Riku meringkuk di depan papan itu dan
mengingat rekor pertandingannya dengan Shuvi selama satu tahun ini.
Dari 182 kali pertandingan, Riku tidak pernah menang.
Jangankan melakukan checkmate, dia bahkan tidak pernah berhasil melakukan
stalemate kepada Shuvi. Tapi, beberapa kali, dia berhasil mengagetkan gadis itu
dengan taktik yang dia gunakan. Itu
berarti, pikirnya, mengalahkan Shuvi
bukan sesuatu yang mustahil.
Saat Shuvi melihat seringai lebar di wajah Riku, dia bertanya.
“Riku… kenapa kau… terus bermain, meski kau… tidak bisa
mengalahkanku?”
“Huh…? Itu pertanyaan aneh! Bukannya kau yang bilang jika
kau akan memberikan informasi yang kumau jika kalah?”
“… Kau bohong… tidak mungkin… kau tidak menyadarinya…”
Tidak, Riku pasti sudah menyadarinya. Dia pasti sudah tahu
akan hal itu.
“…. Aku sudah… memberikan semua… informasi yang… kau mau…”
…
Kesunyian meliputi mereka berdua dan hanya ada suara angina
yang bisa terdengar.
“… Riku… kau sangat… menakjubkan… kau sudah melakukan… semua
yang… kau bisa…”
“… Kau tidak perlu menghiburku.”
Saat mendengar kata-kata yang mirip dengan kata-kata Couron,
Riku memberikan respon yang sama pada gadis itu.
Hanya itu, dan percakapan mereka berakhir. Atau itu yang
dipikirkan Riku, tapi…
“… Menghiburmu…? Tidak… itu hanya… Fakta…”
Shuvi membalas jawaban
RIku. Riku yang merasa jika ada sesuatu yang aneh hanya bisa membelalakkan
matanya. Ekspresi Shuvi saat ini terlihat tidak yakin, tapi gadis itu kembali
berbicara.
“… Lingkungan… planet ini sekarang… sangat mematikan… bagi
manusia… Karena itu… kau yang masih bisa… bertahan hidup… secara biologis… adalah abnormalitas.”
Itu yang dikatakan Shuvi setahun yang lalu, saat Riku
kehilangan kendali dan mencekiknya. Saat tahu jika apa yang mereka lakukan
telah menyakiti Riku, dia melanjutkan
ucapannya
“Apa yang menciptakan abnor—koreksi: pencapaian ini adalah… ‘hati’mu… tekadmu.” Ucap Shuvi sambil
menatap ke dalam mata RIku. “…. Tidak peduli… apa yang kau… pikirkan… itu
adalah… fakta objektif…”
“Huh… Jadi dengan kata lain, apa? Aku selalu kalah dengan
mengenaskan, tapi aku punya mesin hebat sebagai asuransi jika aku sudah
berusaha membantu umat manusia?”
“… Aku bukan… ‘mesin hebat’… Itu yang sudah kuutuskan.
Tapi…”
Shuvi mengatakan semua itu sambil melihat Riku dengan mata
merahnya.
“…. Kau tidak mau menerimanya…”
“Tentu saja aku tidak mau. Apa hebatnya bertahan hidup di…”
“… Bukan.”
Shuvi mencapai kesimpulannya dan memotong perkataan Riku.
“…. Aku dulu… tidak tahu… tapi…”
Sekarang aku tahu.
Ucap Shuvi sambil menatap mata Riku.
“Riku… Kau tidak mau… orang
lain mati… tidak peduli… siapa itu. Meski itu seseorang… yang
menghancurkan… hidup manusia, sepertiku.”
Chapter 2-9 Daftar Isi Chapter 2-11
Komentar
Posting Komentar