NGNL Vol. 6 Chapter 2 Part 8

 Disclaimer: Not mineee

XXXX

“Jangan khawatir soal itu… Aku hanya terlalu emosional.”

Ini aneh, tapi—Riku memeriksa perasaan yang tidak bisa dia tahan kemarin malam. Apa yang dia lakukan tidak akan bisa dibenarkan. Riku sangat paham soal itu. Tapi, di sisi lain, Shuvi merupakan anggota dari salah satu ras yang sudah menekan kehidupan manusia… Minta maaf padanya, Itu sangat tidak masuk akal. Tapi—pikir Riku. Tidak minta maaf padanya sekarang malah jauh lebih tidak masuk akal.

Riku harus mengakui jika ada sesuatu yang salah denganya. Biasanya dia bisa mengontrol dirinya sendiri, tapi sekarang—di momen ini—tiba-tiba dia tidak bisa melakukannya. Mungkin ini disebabkan oleh sesuatu yang dikatakan Shuvi? Jadi kenapa—?

Saat Riku sedang berjuang keras memecahkan misteri itu, Shuvi bertanya dengan nada datar.

“Apa terlalu… emosional itu… salah?”

“Ya. Terlalu emosional—seperti merasa terlalu marah dan lalu memukulmu—sama sekali tidak akan memecahkan masalah.”

“Tapi Riku… ingin… memukulku…”

“Itu cuma pengandaian. Tunggu, apa…? Aku tidak tahu lagi.”

Percakapan mereka berhenti sekali lagi. Suara air dan uap panas ini membuat kepala Riku terasa ringan… Keheningan di antara mereka terjadi selama beberapa menit hingga Shuvi berbicara sekali lagi.

“… Riku, kenapa… kau menutup… ‘hati’mu?”

“Oi, apa kau benar-benar merasa bersalah? Kau pernah dengar yang namanya…?” Riku ingin memulai omelannya—tapi dia berhenti saat mata merah Shuvi mengarah ke matanya. Sebuah mesin tanpa hati (entah ini benar atau tidak), tidak akan berpikiran jahat.

…. Suara dalam otaknya memberitahu jika Shuvi hanya ingin mengamati sosok aslinya. Bukan Riku palsu yang selalu rasional, dingin, dan penuh perhitungan. Yang ingin diketahui Shuvi—subjek penelitiannya yang berharga—adalah Riku asli dengan hatinya.

Krak. Saat Riku merasakan gemboknya sedikit retak, dia menghela nafas.

“…. Aku melakukannya karena itu satu-satunya cara aku bisa bertahan di dunia gila ini…”

Jika Riku menutup matanya, dia bisa melihat jauh melampaui dinding gua ini, seakan semuanya sudah terpatri jelas di belakang kelopak matanya.

Langit yang terbakar, bumi yang dipenuhi abu biru pembawa kematian, semua pemandangan itu memenuhi horizon pandangnya. Dunia kematian—atau mungkin, ini adalah satu-satunya dunia yang belum mati.

“… Apa itu… kesalahan kami…?”

“… Aku tidak tahu…”

Riku sudah tidak tahu lagi. Tunggu, sepertinya…

“Tidak peduli siapa yang salah di sini… Itu semua adalah sesuatu yang harus kami hadapi. Agar manusia bisa bertahan di dunia ini, kami harus menutup hati kami, kalau tidak… kalau kami tidak melakukannya, hati kami akan hancur. Di dunia seperti ini… itu sama sekali tidak adil.”

“… Tidak adil… tidak adil. Apa itu tidak adil…?”

Apa? Riku hampir mendengus saat mendengar gumaman Shuvi, tapi… oh benar juga. Riku menyadarinya. Jika kau melihat semua ini secara logis, rasional—tidak ada yang tidak adil soal semua ini. Ini semua hanyalah…

“Yang kuat tetap hidup dan yang lemah akan mati. Tidak peduli arti dan tujuan hidup apa yang mereka miliki. Kurasa dunia ini dibuat dengan aturan seperti itu… Kurasa yang tidak adil di sini adalah ‘hati’…. Aku tidak yakin.”

Riku pun mencuci rambut Shuvi dengan wajah pasrah.

“Aku ingin tahu… ‘hati’ Riku… tapi…” gumam Shuvi, “… Aku tidak mau… melukaimu…apa yang harus… kulakukan…?”

…?

Pertanyaan Shuvi sedikit membuat Riku tidak yakin, karena itu dia bertanya, “Apa yang kau khawatirkan soal aku? Jika kau hanya ingin tahu soal ‘hati’, kau bisa melakukan apa yang selama ini kau laku…”

“Ma… af…”

“… Ah, aku tidak bermaksud memarahimu. Tapi itu benar, kan? Kenapa kau harus mengkhawatirkan…?”

Shuvi harusnya tidak melakukan itu. Jika yang ada di depannya adalah orang lain, Shuvi tidak perlu khawatir soal putusnya percakapan mereka. Shuvi tidak perlu melakukan hal seperti ini… apalagi, mendorong emosi Riku untuk keluar itu…

 

“…. Aku tidak tahu.”

Riku mengernyitkan alisnya saat mendengar jawaban Shuvi yang sangat ambigu.

“… Aku tidak tahu. Tapi aku… ingin… tidak menyakitimu…”

“Hmm. Maksudmu, subjek penelitianmu harus berada dalam kondisi alami selama mungkin agar kau bisa mendapatkan data yang akurat?”

Riku mengatakan tebakannya yang paling logis dengan setengah bercanda, tapi…

“… Tidak… aku tidak berpikir… seperti itu. Dan aku… tidak tahu kenapa… tapi…” entah kenapa Shuvi menundukkan kepalanya saat dia merespon guyonan Riku, suaranya bergetar.

“… itu… benar-benar… tidak menyenangkan…”

Keraguan Riku sekarang berubah menjadi keyakinan. Keputusannya saat pertama kali bertemu Shuvi sangat tepat. Gadis Ex-Machina ini, Shuvi, sudah rusak. Dia tidak bisa dikendalikan. Apa yang baru saja dia katakan, entah dia mengerti atau tudak, adalah indikasi penting jika dia telah disakiti.

…. Mesin? Sosok yang mengklaim diri mereka tidak tahu apa itu ‘hati’?

“Hey, kau pernah bilang… clustermu memutuskan hubungan dan… membuangmu, kan?”

“…Mm.”

Riku bahkan pernah mendengar detail soal itu. Shuvi menyebabkan self-referential paradox, sebuah kegagalan logika. Apa dia benar-benar individu yang berdiri sendiri? Apa yang membuat dirinya sebagai individu? Tanpa ‘hati’ manusia, masalah itu akan sangat sulit untuk dihindari. Karena itu dia dibuang—itu memang sulit diimajinasikan—tapi, itu masuk akal.

Tetap saja…

“Jadi kau ingin menganalisa ‘hati’, tidak peduli bagaimana caranya supaya kau bisa kembali ke clustermu. Tapi bagaimana jika mereka menggunakan itu untuk menya…”

“…? Aku tidak… bermaksud… kembali?”

…. Hng?

“Uh, tunggu… Jadi siapa yang menyuruhmu menganalisis ‘hati’ manusia?”

“…? Aku hanya… merasa tertarik… dan memutuskan… untuk diriku sendiri…”

“’menarik’… hei, perasaan itu—namanya juga ‘hati’, iya kan?”

Shuvi terdiam saat mendengar gumaman RIku.

“…?.....? …. Aku tidak tahu.”

“Maaf, apa?”

“… Aku tidak, tahu… Pendapatmu… masuk akal. Tapi, sepertinya… itu tidak… terlalu penting… untukku… Kenapa?”

“Ke-kenapa kau malah tanya padaku?”

Pertanyaan Shuvi membuat Riku mengernyitkan alis. Dan tiba-tiba gadis itu…

“Daftar kemungkinan jawaban…”

…. Mulai ditampilkan.

“…. Aku tidak peduli. Semua yang kubutuhkan hanya dirimu. Aku tidak tertarik. Itu tidak berguna. Itu tidak penting. Aku menolak sinkronisasi. Aku memprioritaskan analisis. Aku memprioritaskan pemahaman daripada analisis—ERROR—ERROR—ERROR—ERROR—ERROR—

“o-Oi, oi, oi, oi! Ada asap keluar dari kepalamu, hei!” Shuvi kemudian menatap Riku, menganggukkan kepalanya dan berkata.

Kesimpulan: Aku tidak mau kembali… sepertinya.”

“Kau ini plin-plan ya?”

“… TIdak bisa… mengidentifikasi dasarnya… Tapi, sepertinya… aku memang tidak punya.”

“Dasar plin-plan…”

Riku yang merasa hal ini sangat lucu pun mengulangi kata-katanya sekali lagi. Tapi kemudian dia mendengar.

“…. Ah… checkmate.”

Oh…

“Sialan kau… Perhatianku teralih gara-gara percakapan ini. Sekali lagi.”

“….. Mm.”

Anggukan Ex-Machina itu membuat Riku berpikir.

Apa kalkulasi dan mimicry bisa menciptakan senyum sepolos itu…?

“Ngomong-ngomong…”

Lanjut saja. Pikir Riku sambil menghela nafas lelah.

“Rambutmu ini… terlalu panjang. Membersihkannya butuh waktu lama. Kepalaku bisa meleleh gara-gara semua panas ini.”

“…. Apa kau lebih suka… jika aku… memotongnya…?”

“Tidak, tidak usah… Bener deh, kesimpulanmu benar-benar diluar perkiraanku.

Riku pun membantah dirinya sendiri. Aku tahu itu. Pada akhirnya, Shuvi adalah Ex-Machina yang bisa membunuh manusia tanpa berpikir dua kali. Sama seperti ras lainnya, dia sudah menghacurkan ras Riku berkali-kali. Tentu Riku tidak boleh lengah selama berada di dekatnya, itu yang diteriakkan logikanya. Tapi—kenapa? Gadis berambut panjang di depannya ini sama sekali tidak logis. Beberapa saat kemudian, sebuah senyuman muncul di bibir Riku.


Chapter 2-7     Daftar Isi     Chapter 2-9


Komentar

Postingan Populer