NGNL Vol. 6 Chapter 2 Part 6
Disclaimer: Novelnya bukan punya saya, tapi terjemahan di sini iya.
XXXX
“…. Riku, kau tersenyum…”
“…. Apa…?”
Riku yang kaget langsung membuka matanya dan menyentuh
bibirnya.
Shuvi benar. Ujung bibirnya sedikit terangkat dan hal itu membuatnya
membelalakkan mata. Shuvi yang sepertinya tidak tahu kenapa Riku membeku
seperti itu pun bertaya sambil meletakkan sebuah bidak di atas papan catur.
“Kau… tidak… menutupnya… selama permainan… iya kan?”
‘Hentikan. Jangan
bertanya, jangan menemukannya, jangan hiraukan.’ Sesuatu yang ada dalam
diri Riku mulai berteriak, tapi…
“… Apa yang kau… maksud?”
“…. Hatimu….”
….. Krk…
“… Keberlangsungan manusia… di dunia… ini… adalah…
abnormalitas biologis…”
…… prak.
“…. Penyebab… ‘hati’mu… itu adalah… sesuatu yang… ingin…”
“… Hey.”
—Di dalam diri Riku—
Sesuatu sedang membuat keributan—
Dan hancur.
Riku tidak punya ingatan tentang itu. sebelum dia
mengetahuinya, tangannya sudah mencengkram lehar Shuvi dengan sangat erat dan
rasanya pemuda itu bisa mematahkan leher gadis itu dengan mudah. Tapi semua itu
tidak berarti untuk Ex-Machina. Mata kosongnya hanya bisa menatap mata Riku…
Mata dimana dirinya dipantulkan.
“… Kurasa kau masih belum sadar. Tapi, apa kau benar-benar
tahu dengan posisimu saat ini?”
Riku terlambat menyadarinya. ‘Ya. Sekarang aku mengerti.’ Ada banyak perasaan dan ingatan yang
dia segel, rantai, dan kunci saat dia bertemu dengan mesin pembunuh masal ini—rasa jijik, marah, benci, dendam, sedih,
sedih, sedih, sedih, sedih, sedih, sakit—semuanya menyatu menjadi sebuah
infiniti yang menekan gembok yang mengunci perasaan, ingatan, dan hatinya
dengan sangat keras.
Dan akhirnya, gembok itu berguncang, terkikis, dan rusak.
Logikanya menuntut—apa-apaan
makhluk itu? Oh, dia salah satu cecunguk yang menginjak-injak manusia dibawah kaki
mereka.
Perasaannya menggila—Bagaimana mungkin kau bisa setenang ini saat
berhadapan dengan makhluk itu?
Ya, jangan bercanda.
Ha ha ha… saat aku memikirkannya dengan ‘tenang’ ternyata kau benar juga.
“Kau membunuh kami semua, mengambil semuanya yang kami
miliki, melakukannya lagi dan lagi untuk entah berapa lama, dan kau sekarang
bertanya…? ‘Hei, apa yang dirasakan
manusia?’ Haha! Kau mau tahu apa isi ‘hati’ kami!? Baiklah, aku akan
mengatakannya padamu!”
“BEDEBAH KALIAN SEMUA!”
Tulang-tulang yang ada di jari Riku mulai berteriak. Teruskan dan jarimu akan hancur. Tapi
dalam kepalanya, seseorang bertanya—Apa
yang akan kau dapatkan dari semua ini? Tapi logika dan perasaannya
memberikan jawaban yang sama—Diam. Aku
sudah tidak peduli lagi!
“Hahahahahahahahaha!!!
Bagaimana mungkin dia tidak tertawa? Untuk pertama kalinya,
logika dan emosinya setuju pada satu hal yang sama! Dia tidak perlu menahan
diri lagi. Riku mengatakan hal itu pada jari-jarinya dan kemudian berteriak kea
rah Shuvi.
“Apa kau tahu berapa banyak orang yang meninggal gara-gara
cecunguk sepertimu!? Berapa banyak orang yang sudah kalian bunuh!? Berapa
banyak…?”
Berapa banyak orang
yang sudah kubunuh karena kalian…?
“Ma….afkan aku…” Shuvi bergumam ditengah raungan Riku. Apa itu sesuatu yang bisa selesai hanya
dengan permintaan maafmu…? Riku membuka mulutnya untuk berteriak sekali
lagi, tapi Shuvi menyentuh pipinya.
“…. Aku sudah… membuatmu… menangis. Jadi aku… berpikir… jika
apa yang… kukatakan padamu… sangatlah… buruk…”
…. Apa…? Saat
tangan Shuvi yang dibasahi air mata itu menyentuh pipinya, Riku membuka
matanya.
“Aku tahu…. Jika ‘hati’mu… ingin membunuhku…”
Ucapan Shuvi yang selanjutnya membuat Riku tercengang.
“Koneksiku… sudah… diputus…”
Shuvi berkata seperti itu untuk menunjukkan jika Riku tidak
perlu khawatir mengenai Ex-Machina lainnya. Setelah itu Shuvi membuka bagian
dadanya, dan Riku bisa melihat sebuah mesin dengan desain rumit yang
mengeluarkan pendar cahaya lemah.
“… Yang kau perlukan… hanya menancapkan… garpu itu di sini…
dan aku… akan mati…” Shuvi tetap memasang wajah datar seakan tidak peduli
dengan apapun yang akan terjadi padanya beberapa detik setelah ini. Kemudian
dengan wajah kosong dia mengkoreksi kata-katanya sendiri, “…? Mati…? Aku tidak…
hidup… Tidak aktif secara permanen… Tidak bisa diperbaiki… rusak?”
Gadis itu mengatakannya seakan hal itu tidak sedang terjadi
padanya. Kemudian dia menambahkan.
“Aku… ingin melihat…. ‘hati’mu jadi… tidak… apa-apa…”
Setelah itu Shuvi mengarahkan tatapannya pada mata hitam
yang menunjukkan isi hati Riku…
…. Dan kemudian bertanya:
“…. Apakah… kau akan… membunuhku… seperti yang diingkan
hatimu?”
Haha….
…. Kau bercanda. Riku.
Kau melempar tanggung jawabmu lagi…. Seberapa rendah lagi kau akan pergi dasar
manusia tidak berguna?
Tentu, jika kau
bertanya darimana asal semua kesedihan ini, jawabannya pasti ‘Perang Besar’
yang dilakukan semua bedebah di luar sana. Tapi 48 orang yang meninggal—Chad,
Anton, Elmer, Cory, Dale, Siris, Ed, Darrel, Dave, Laks, Vin, Eric, Charlie,
Thomson, Shinta, Yann, Zaza, Zargo, lay, Garo, Peter, Arthur, Morg, Kimmy,
Datt, Ceril, Vigi, Volly, Ken, Savage, Leroy, Popo, Couthon, Lut, Shigure,
Shao, Ulf, Balto, Asso, Kenwood, Peyl, Ahad, Hound, Balrof, Masashi, Memegan,
Karim…. Dan Ivan. Kaulah yang membuat mereka mati. Tidak peduli apa kata-kata
manis yang kau katakan…. Mereka mati
gara-gara kau, Riku bajingan!
Riku melepaskan cengkramannya dan Shuvi jatuh terduduk di
atas lantai. Riku yang tidak bisa menatap balik mata kaca itu pun membalikkan
badannya.
“…. Aku mau tidur.”
Setelah itu Riku membaringkan tubuhnya di atas kasur yang
terbuat dari anyaman jerami sederhana. Setelah itu dia mendengar suara Shuvi
yang sepertinya sedang keheranan.
“…. Kenapa… kau tidak… membunuhku?”
“…. Aku tidak tahu! Kenapa kau malah tanya? Kumohon diam
saja di sana!”
Kenapa dia tidak membunuhnya? Riku bisa memberikan beberapa
alasan.
Misalnya, kenapa kau pikir aku sama seperti kalian, sialan.
Atau, apakah membunuhmu bisa membuat mereka yang mati
kembali pada kami?
Atau, memangnya apa untungnya melakukan itu?
Jika Riku ingin melimpahkan kesalahannya dengan kata-kata
manis, dia bisa memberikan berbagai macam jawaban. Tapi semua jawaban itu
membuat Riku mual. Dia tidak punya hak berbicara mewakili mereka… semua orang
yang sudah mati itu. Untuk cacing seperti dirinya, orang yang hanya bisa
menyuruh orang lain untuk mati tapi tidak
bisa membunuh orang lain dengan tangannya sendiri.
“Maaf…”
Untuk apa?—Tapi
sepertinya Shuvi salah mengartikan kata-kata dan perasaan Riku. Di telinga
Riku, nada suara Shuvi terdengar seakan gadis itu sedang meminta maaf dengan
sungguh-sungguh, dan kerena itu rasa bersalah dan kebencian pada diri sendiri
mulai membuncah dalam hatinya.
Aku tidak tahan lagi…
aku tidak tahu apa-apa… semuanya hanya terlalu berat….
“Tetap berada di tempat dimana aku bisa melihatmu. Jika kau
menyakaiti seorang saja yang ada di desa ini…”
“… Mm… Aku… mengerti.”
Saat Riku melihat Shuvi menganggukkan kepalanya dengan
patuh, dia merasa jika tubuhnya menjadi semakin berat.
Apa yang sedang coba
kulakukan…?
Dia bertanya pada dirinya sendiri, tapi sepertinya dia sudah
tahu apa jawabannya.
Riku menganggap jika dirinya sudah rusak sejak lama. Entah perhitungan
macam apa yang sedang terlibat di sini, tapi menghadapi Ex-Machina—salah satu
penyebab hancurnya umat manusia—dan menipu diri dengan berpikir jika mereka
berhubungan baik… jika dia benar-benar bisa melakukannya, maka dia tidak bisa
disebut manusia lagi. Dibandingkan dengan mesin yang sedang berdiri dengan
wajah khawatir di depannya ini, dia lebih bisa dibilang lebih ‘mekanis’. Dan
karena dia adalah mesin, dia terus melakukan perhitungan.
…. Jika dipikir secara
rasional, harusnya aku sudah membunuhnya sekarang.
… Ada terlalu banyak
ketidakpastian. Tidak ada bukti yang mendukung jika koneksinya sudah diputus
secara sepihak.
Apakah aku memang bisa
membunuhnya? Apa dia hanya menggertakku? Apa dia mencoba menguji sesuatu?
Tapi, ucap Riku
pada dirinya sendiri. Apa aku sudah
memperhitungkan semua factor itu sebelum aku membiarkannya?
Tidak. Dia hanya merasa… jika itu salah. Dia bahkan tidak tahu dimana letak kesalahan itu. Tapi
jika dia harus mengatakannya… maka semuanya adalah salah. Semua ini terasa
sangat salah.
“’Hati’ manusia…? Akulah orang yang ingin tahu soal itu….
sialan…”
“….? Riku…?”
Saat Riku hampir menutup matanya dengan sempurna, dia
mendengar suara Shuvi yang memanggilnya. Rasa lelah dan kantuk pun berhasil
menguasainya dan membawanya ke dalam hangatnya kegelapan.
Chapter 2-5 Daftar Isi Chapter 2-7
Komentar
Posting Komentar