NGNL Vol. 6 Chapter 2 Part 5
Disclaimer: Not mine
XXXX
Riku menemukan anak gadis dari sebuah desa yang barusaja
hancur dan memintanya melakukan hubungan badan. Rumor itu menyebar lebih cepat
daripada suara guntur dan menyebabkan para warga berdebat ini dan itu.
“Tidak. Riku-san memang benar. Kau harus melakukannya selagi
sempat.”
“Aku tidak setuju. Riku harusnya meminta persetujuan gadis
itu dulu.”
“Tunggu, tunggu sebentar… kau tidak tahu soal itu kan?”
“Gadis itu sendiri yang bilang kalau Riku-san memintanya,
iya kan? Kenapa kau malah…?”
….
“Ini aneh.”
Poin pertama, semua subyek pembicaraan ini sangat
aneh—terutama masalah dimana tidak ada yang mempertanyakan usia Shuvi. Semuanya
terasa aneh. Atau mungkin ini cuma perasaannya saja? Mereka bilang kekacauan
perang menyebabkan penurunan moral. Terlebih lagi, ini pasti pekerjaan para orang-orang
gila yang ada di desa…. Riku merasakan semua tatapan itu—beberapa terlihat
takzim dan beberapa terlihat iri—mulai dari pintu masuk sampai ke kamarnya.
Kemudian, dengan suara pelan—agar tidak ada yang mendnegarnya—dia bergumam ke arah
Shuvi yang sedang berjalan di sebelahnya.
“Hei, bisakah kau membiarkanku istirahat…”
“…. Soal… apa?”
Shuvi yang sepertinya tidak tahu kesalahan apa yang dia
lakukan hanya bisa menatapnya dengan bingung.
“Sejak awal kau ingin mencari tahu soal ‘hati’ku, kan?
Karena itu sekarang kau menggodaku, iya kan?”
Riku ingat saat Shuvi memanggilnya ‘kakak’ saat mereka
pertama kali bertemu.
“Tidak bisakah kau membuat dirimu terlihat lebih dewasa dari
ini?”
Saat Riku mengeluh seperti itu, Shuvi hanya bisa mengedipkan
matamu.
“….Harusnya… aku… terlihat seperti… yang… disukai… manusia…
laki-laki sepertimu…?”
“Aku bukan pedofil. Aku suka wanita yang lebih bervolume…”
“Itu tidak benar…”
Shuvi memotong ucapan Riku.
“…. Jika itu benar… kau tidak… punya… alasan, untuk… tidak
melakukan hubungan…. reproduksi… dengan manusia… bernama… Couron.”
‘Oke, kalau begitu—‘
ucap RIku dalam hati. Dia baru saja dicap pedofil oleh humanoid mesin dan
Couron dijadikan bukti untuk klaim itu. Apa dia boleh marah sekarang?”
“…. Sejak awal… laki-laki… suka… gadis muda…”
“Diam kau. Jangan menyamakan semua laki-laki seperti itu.
manusia juga punya pilihan…”
“…. Salah. Secara bologis… individual muda… lebih… mungkin
untuk… bereproduksi… kemungkinan lebih…. Tinggi. Tidak ada argumen bantahan.”
Anak ini… mungkin
ini hanya imajinasi Riku, tapi di matanya Ex-Machina yang harusnya tidak punya
perasaan sekarang terlihat seperti sedang mengguruinya.
“Aku punya… subjektivitas… laki-laki menyukai… wanita muda…
yang… bisa …bereproduksi…. Ini adalah fakta.”
“…. Aku tidak tahu harus melakukan apa padamu…”
Wajah Riku terlihat lelah dengan semua tatapan yang mengarah
padanya. Beberapa menit kemudian dia sampai di kamarnya.
…. Apakah ini hanya perasaannya saja? Kenapa sekarang
kamarnya terasa lebih jauh?
+++
Hari ini terasa sangat panjang… sangat amat panjang. Pada
akhirnya, Riku gagal mendapatkan apa yang dia cari meski sudah mempertaruhkan
nyawanya. Bukannya mendapatkan informasi, pada akhirnya dia malah kembali
dengan…
“…. Ini… kamarmu?”
Sebuah bom waktu dalam bentuk gadis mesin dengan tujuan yang
tidak Riku ketahui. Saat ini gadis itu terlihat penasaran dengan ruangannya.
“Kau terkejut dengan betapa berantakannya tempat ini?”
“…. Aku terkejut… ini… pengecualian.”
Riku mencela dirinya sendiri saat dia merasa terhibur dengan
pujian ironis yang dikatkan oleh mesin tanpa hati itu. Dia meraih sesuatu yang
sepertinya hasil pekerjaan Couron—senampan makanan yang diletakkan di atas
lantai. Riku yang apar ingin langsung memakannya dan langsung tidur setelahnya.
“… Apa… yang… kaulakukan?”
“Kurasa Ex-Machina tidak familiar dengan ini. Manusia butuh
makanan untuk bertahan hidup, jika tidak mereka bisa mati.”
Riku mengangkat garpunya ke mulut dan beberapa saat kemudian
dia berkata dengan nada lelah.
“Aku akan makan ini dan kemudian tidur… kau bisa melakukan
apapun yang kau mau.”
“Mm. Aku… mengerti… aku akan… melakukan… semauku…”
Shuvi membaca semua dokumen yang ada di kamar Riku dengan
seksama—peta, alat pengukur, dan lain-lain—satu per satu, tapi kemudian dia
berkata.
“…. Riku… ayo… main game.”
“…. Kenapa?”
Riku berhenti menyuapkan makanan ke mulutnya. Riku melihat
Shuvi menunjuk ke arah lemari buku. Di sana ada… sebuah papan catur yang dia
bawa saat lari dari desanya dulu, saat semuanya hancur. Dengan mata kelam, Riku
menolak ajakan Shuvi.
“Tidak, terima kasih. Aku bermain denganmu saat itu karena
tidak punya pilihan. Game hanya sesuatu untuk mengisi waktu anak kecil.”
“….? … kenapa?”
“Karena kenyataan tidak sesimpel game.”
Tidak ada peraturan, tidak ada syarat kemenangan dan
kekalahan. Kau hidup atau mati. Itu saja. Di dunia ini…
“Kami tidak punya waktu atau sumber daya untuk melakukan
permainan anak kecil seperti game.”
“…. Bagaimana jika… ini tidak sia-sia?”
Saat Riku tidak melihatnya, Shuvi membuka papan catur itu
dan mulai menata bidak-bidaknya.
“…. Jika kau mengalahkanku… aku akan… memberikan… informasi…
yang kau mau.”
“Apa?”
“…. Alasan kenapa… Perang besar… terjadi… syarat yang…
dibutuhkan… untuk menyelesaikannya… dan… lainnya..”
Shuvi sudah berkata seperti itu, tapi Riku tidak
menghiraukannya.
“Ha… lucu.”
Kenapa perang ini terjadi? Bagaimana cara mengakhirinya?...
Siapa yang peduli.
Perang ini akan terjadi selamanya. Entah apa penyebabnya,
apa bedanya saat perang masih dan sudah selesai? Dan bagaimana cara mengakhiri
perang ini? Jika seseorang bisa melakukannya, dia pasti sudah melakukannya
sejak dulu. Apa manusia biasa bisa melakukan sesuatu yang bahkan tidak bisa
dilakukan para bajingan yang sedang menghancurkan dunia saat ini? Karena itu
Riku menyimpulkan, Informasi itu sama
sekali tidak berguna. Harapan kosong hanya akan membuat mereka terjerumus
lebih jauh ke dalam keputusasaan. Suatu hari… suatu hari itu akan berakhir.
Harapan mereka tidak ada dasarnya—karena itu tidak ada yang bisa membantahnya.
Jika kau memberi mereka dasar untuk berharap dan hal untuk diperbincangkan…
maka dunia hancur yang penuh dengan kehancuran, mayat, dan reruntuhan sudah
cukup untuk menghancurkan nyawa manusia yang sangat rapuh ini. Dan karena itu…
“Aku tidak tertarik dan aku tidak perlu mengetahuinya. Jika
ada yang ingin kuketahui…”
Riku menyipitkan matanya dan dia mengarahkan garpunya pada
Shuvi.
“…. Adalah bagaimana caranya bertahan. Itu saja.”
Salah satu kendaraan dari kehancuran manusia.
“Pengetahuan Ex-Machina, kemampuan matematis, desain
teknologi… jika aku menang, kau akan memberikan semua itu padaku.”
Dia akan menggunakan semua kekuatannya untuk melayani umat
manusia. Untuk bertahan hidup. Untuk hari esok… tidak, tapi saat ini.
“… Mm… Baiklah.”
Shuvi menganggukkan kepalanya degan wajah yang terlihat
sedih. Riku kemudian melanjutkan.
“Jadi, bagaimana kalau aku kalah?”
Secara mekanis dan kalkulatis, gadis itu pasti punya
permintaan untuknya. Shuvi langsung menjawab pertanyaan itu dengan berani.
“…. ‘Komunikasi’…”
Shuvi menatap mata kelam milik Riku.
“… Aku ingin… belajar… tentang ‘hati’mu… definisi ‘hati’…
seperti yang… kau tahu… aku ingin… informasi itu.”
“Bukankah aku sudah bilang jika itu hanya bisa dipahami jika
kau bisa menangkap apa yang tidak dikatakan oleh orang lain?”
“… Mm… jadi aku… memintamu… untuk… mencoba… berkomunikasi
denganku… tanpa… kata…”
“…. Baiklah.”
Riku meminggirkan makanannya dan duduk di depan papan catur,
kemudian permainan dimulai. Dia menatap papan catur itu untuk pertama kalinya
setelah bertahun-tahun lamanya, Riku memikirkan hal ini dengan sangat serius.
‘…. Mengalahkan
kemampuan komputasi Ex-Machina untuk mendapatkan permainan sempurna…?’ pikir
Riku. Itu tidak mungkin. Tapi dilihat dari sikap Shuvi, kurangnya
pengetahuannya soal hati, dan kegagalanya membaca apa yang ada di balik kata-kata
seseorang—semua hal ini menunjukkan jika ada faktor-faktor yang tidak bisa dia perhitungkan.
Jika Riku memfokuskan dirinya hanya pada papan catur, dia tidak akan bisa
menang. Tapi untuk masalah elemen psikologis—permainan pikiran—dia mungkin bisa
melakukannya.
“…. Check.”
Saat Shuvi jatuh ke dalam perangkap Riku, dia merasa yakin
dengan perhitungannya.
“…. Check.”
Tapi Shuvi berhasil membalasnya. Gadis itu seakan berkata ‘kau tidak akan bisa menggunakan trik yang
sama dua kali’. Tidak. Itu hanya muka normal gadis itu saja. Lalu kenapa?
Simpel. Riku hanya perlu merubah
strateginya dan tidak menggunakan trik yang sama 2 kali. Meski dia harus
menjerumuskan, memancing, dan memanipulasi. Jumlah strategi yang bisa dia
gunakan… tidak terbatas. Jika kau bisa
menghitung yang tak terbatas—ayo lihat, Ex-Machina!! Rasa lelah Riku
langsung menghilang dan tiba-tiba…
“…. Riku, kau tersenyum…”
Chapter 2-4 Daftar Isi Chapter 2-6
Komentar
Posting Komentar