NGNL Vol 6. Chapter 1 Part 3
Disclaimer: novel ini bukan punya saya.
XXXXX
Ini adalah zama dimana Perang Besar terjadi. Di zaman ini manusia
adalah makhluk yang lemah dan tidak berdaya. Mereka harus bertahan hidup
sebagai ras, bukan individu. Tidak ada manusia yang memiliki cukup kekuatan
untuk memenuhi emosi individualnya. Satu untuk semua. Semua orang harus bekerja
demi kelompok. Karena semua alasan itu, mereka selalu dipaksa untuk memilih
pilihan yang mungkin bukan pilihan terbaik, tapi itu adalah pilihan yang paling
tepat. Dengan menggunakan semua rasionalitas dan kelicikan mereka, manusia
berhasil bertahan hidup…. Tidak, lebih tepatnya berhasil melarikan diri. Dengan tubuh penuh lumpur dan debu, mereka
menghancurkan semua kebahagiaan yang mereka miliki, meninggalkan mayat di
belakang mereka—hingga suatu hari nanti semua kekacauan ini akan berhenti
sepenuhnya. Dengan strategi ini, mereka akan mengorbankan satu orang untuk
menyelamatkan dua lainnya. Mereka tidak akan segan mengorbankan beberapa orang
demi seluruh orang yang akan bertahan hidup nantinya. Meski itu artinya mereka
meninggalkan orang yang mereka sayang, mereka akan tetap memprioritaskan semua
orang yang ada di desa. Mereka tidak punya punya pilihan lain, dan orang yang
menetapkan peraturan ini adalah… Riku sendiri. Sudah terlambat jika dia merasa
bersalah atau menyesal sekarang. Setelah berlari cukup lama, mereka berdua
berhasil mencapai daerah hutan yang lumayan aman. Disitulah…
“…!”
Riku diserang dengan berbagai macam sensasi hingga membuat
perutnya terasa sangat sakit. Wajah laki-laki yang ada di ingatannya kini mulai
memudar. Sebuah perasaan kehilangan dan jijik yang amat sangat mulai membuncah
di dalam hatinya. Ivan—laki-laki yang satu generasi di atasnya—adalah seorang
pemberani, perhatian, dan senang menolong. Diantara pemuda-pemuda yang seumuran
dengan Riku, tidak ada dari mereka yang tidak berhutang budi padanya. Dia
adalah laki-laki yang sangat mencintai istrinya dan cukup pemalu hingga
keduanya menikah…
Dan sekarang… Riku sudah menganggap laki-laki itu sebagai bagian dari masa lalu.
“Riku…. Hei, Riku!”
Alei—dengan sisa-sisa air mata di sudut matanya—langsung
mencengkram bahu RIku dan menggoyangnya dengan kuat.
“Kau tidak boleh terus membawa semua beban ini sendirian…
kau bisa meledak!”
Tapi Riku tetap memasang wajah datar yang mirip seperti hantu.
“Saat itu terjadi, seseorang akan menggantikanku.”
Saat Alei mendengar jawaban to the point itu, dia terdiam.
Saat mereka berdua merasa tidak akan ada sesuatu yang mengikuti mereka, mereka
pun kembali berjalan. Kaki mereka terasa sangat berat selama perjalanan menuju
desa… dan sensasi itu bukan hanya disebabkan oleh abu hitam. Sensasi itu muncul
karena seseorang yang harus mereka tinggalkan di belakang sana, apa yang mereka
bawa, dan apa yang harus mereka pertahankan mulai detik ini…
“…. Hei, Riku. Zaman ini… suatu saat… suatu saat nanti, ini
semua akan berakhir, iya kan…?”
Mereka tidak tahu. Itu adalah pertanyaan terakhir yang
diteriakkan Ivan beberapa saat yang lalu. Riku tidak mengatakan apa-apa dan
hanya menatap langit merah tempat abu hitam berterbangan. Kemudian sesuatu
melintas di kepalanya, sebuah kata-kata yang diucapkan oleh seseorang: “Semua
malam pasti akan memberikan jalan untuk datangnya cahaya.”. Saat melihat
sisa-sisa abu yang terus menari di udara itu, Riku berkata.
“Ya. Semua ini akan berakhir.”
Jika dia tidak mempercayainya, jika dia tidak memegang
keyakinan itu dengan kuat, sekarang…
Semua beban ini pasti akan membuatnya jatuh berlutut dan
menyerah…
XXX
Perjalanan mereka berlangsung selama empat hari. Tujuan
akhir yang mereka tuju adalah desa yang terletak jauh di balik padang gurun
tempat abu hitam turun dan berada jauh di dalam hutan yang ditutupi salju. Di
dasar sebuah tebing yang curam, ada sebuah gua tersembunyi. Dari luar, gua itu
terlihat seperti sarang hewan buas biasa, tapi saat masuk ke dalamnya ada
banyak tiang-tiang kayu yang menjulang dan lampu yang tergantung di beberapa
tempat. Riku mengambil satu dan menyalakannya dengan tinderbox yang dia ambil
dari sakunya. Cahaya oranye remang itu pun menuntunnya berjalan menyusuri gua
itu. Beberapa saat setelah dia berjalan lebih jauh, dia bisa melihat
jebakan-jebakan untuk mengusir hewan buas dan ada beberapa batang kayu yang
disusun membentuk dinding yang kokoh. Itu adalan pintu yang dipasang untuk
menghentikan serigala atau beruang yang berhasil melewati jebakan-jebakan yang
ada di depan. Tentu jika yang menyelinap ke dalam sini adalah ras lain, semua
jebakan itu tidak akan berguna. Riku berjalan ke arah pintu itu dan mengetuknya
beberapa kali dengan ritme tertentu dan kemudian menunggu. Beberapa saat
kemudian, pintu itu terbuka perlahan, dan seorang pemuda dengan baju berwarna
coklat menjulurkan kepalanya dari dalam.
“Selamat datang. Terima kasih atas kerja kerasnya.”
Riku dan Alei hanya mengangguk dan berjalan masuk.
“…. Pak Ivan…?”
Riku menggelengkan kepalanya dengan pelan. Penjaga itu
menarik nafas tajam, seakan sedang menahan sesuatu. Setelah itu dia kembali
mengulang perkataannya.
“Terimakasih atas… kerja kerasnya.”
…
Di balik pintu itu, terdapat gua yang sangat besar. Saat ini,
gua ini digunakan sebagai tempat persembunyian dari hampir 2000 manusia. Mereka
memiliki sumber air yang berasal dari mata air dari dalam gua, mereka bahkan
menernak beberapa hewan di daerah kantong terbuka. Daerah kantong itu memiliki
2 pintu masuk dan salah satunya terhubung ke laut tempat mereka memanen garam
dan ikan. Bagi manusia yang pasti mati jika bertemu makhluk dari ras lain di
luar sana, tempat ini adalah habitat yang cukup aman. Setidaknya dinding tebing
yang tebal dan kuat ini bisa menahan serangan nyasar yang ditembakkan oleh ras-ras
lain yang sedang sibuk berperang.
Itu mungkin gambaran mudah dan optimistik dari desa ini. Rikumengabaikan
semua itu menaiki tangga kayu yang ada di depannya untuk masuk ke gua yang
lebih luas. Orang-orang yang bekerja di aula utama melihat kedatangannya dan
diantara mereka semua ada seorang perempuan yang berlari ke arahnya. Perempuan
itu memiliki tubuh kecil yang ramping, tapi rambut merah dan mata birunya
terlihat lebih bersinar dibandingkan lampu-lampu yang ada di gua. Perempuan itu
berjalan ke arahnya dan berkata dengan suara keras.
“Kau sangaaaaaaat terlambat! Berapa lama lagi kau ingin
membuatku khawatir, adikku?”
“Mau percaya atau tidak, tapi kami sudah berusaha kembali
secepat mungkin.” Jawab Riku sambil menaruh barang bawaannya di lantai.
“Couron, apa ada yang terjadi selama kami pergi?”
“Panggil aku ‘kakak’! berapa kali aku harus mengatakannya,
adik…” setelah Couron menceramahinya dengan muka cemberut, dia menganggukkan
kepalanya dengan wajah serius. “Jangan khawatir. Hingga saat ini tidak ada hal
buruk yang terjadi… sekarang, maukah kau melepaskan jubah dan pakaian bau itu? Aku akan mencucikannya
untukmu!”
Setelah menepuk kepala Riku beberapa kali, Couron menoleh
dan berkata pada Alei, “Kau juga Alei. Terima kasih atas kerja kerasnya!”
Couron mengambil jubah Riku, sedangkan jubah Alei diambil
oleh orang lain yang ada di dekat mereka. Beberapa saat kemudian Couron
menyadari jika ada seseorang yang tidak terlihat bersama mereka…. Tapi sebelum
dia bisa bertanya, Alei berkata,
“…. Ivan sudah meninggal.”
“Ayah!”
Riku melihat seorang gadis kecil yang berlari ke arahnya dan
jatuh karena tersandung kakinya sendiri. Alei yang melihatnya langsung menarik
nafas tajam. Gadis itu kembali berdiri, menatap Riku, dan bertanya dengan suara
gembira.
“Dimana ayah?”
“…”
Riku tidak menjawabnya. Gadis ini—anak Ivan—binaran matanya
terlihat sangat mirip dengan ayahnya.
“…. Nonna.”
“Riku, Riku. Dimana ayah?”
Nonna bertanya sekali lagi sambil menarik baju Riku. Wajah
cerianya sekarang terlihat berawan.
“Begini, Nonna…”
Alei membuka mulutnya yang berat untuk menjelaskan, tapi
Riku menyuruhnya untuk berhenti. Seperti biasa, Couron berusaha untuk
memisahkan adiknya dan Nonna, tapi Riku menghentikannya dengan satu tatapan
saja. Setelah itu Riku menyentuh dadanya.
…. Tidak apa-apa. Itu
masih terkunci. Dan dengan nada datar seperti biasa, Riku menyampaikan
berita mengejutkan itu pada Nonna.
“Ivan…. Ayahmu tidak akan kembali.”
….
Gadis kecil itu membuka matanya lebar-lebar seakan dia tidak
memahami apa yang baru saja dikatakan oleh Riku, tapi Saat Riku tidak
mengatakan apa-apa lagi dia mulai terhuyung ke belakang. Air mata seukuran biji
jagung mulai menggenang di pelupuk mata gadis itu, dan dengan suara dan bibir
gemetaran dia bertanya.
“…. Kenapa…?”
“…”
“Ayah berjanji dia akan kembali! Dia bilang ‘jadilah anak
baik dan tunggu aku’! Aku sudah menjadi anak baik…. Aku menepati janjiku! Jadi
kenapa!? Kenapa ayah tidak pulang…!?”
“…. Karena dia sudah mati.”
“Kau bohong!!”
Teriakan Nonna bergema ke seluruh pelosok gua.
“Ayah… ayah janji padaku kalau dia pasti pulang!”
Sudah berapa lama hal ini terjadi? Pikir Riku.
Sejak kapan suara tragis seperti ini tidak bisa menggerakkan
hatinya barang sedikitpun?
“Ivan mencoba menepati janjinya. Tapi kami bertemu Demonia
di sana, karena itu dia berusaha memancing perhatiannya dan harus tetap tinggal
di sana.”
“Aku tidak peduli soal itu! Kenapa ayah tidak kembali!?”
Noona benar, begitu pikir Riku. Kenapa dan untuk apa ayah
gadis ini mati sama sekali tidak ada hubungannya. Ayahnya tersayang tidak akan
pernah kembali lagi. Penjelasan sebanyak apapun tidak akan bisa mengubah fakta
itu.
“Ayah bilang manusia akan menang!”
“Kita akan menang. Itulah yang sedang diperjuangkan oleh
Ivan dengan seluruh kekuatannya. Dia bertarung untuk melindungi kita semua…
agar kita bisa menang.”
Sudah berapa lama…? Pikir Riku.
Sejak kapan dia bisa berbohong selancar ini? Nonna yang ada
di depannya pun mengernyitkan alisnya.
“Itu bukan menang namanya! Kalau kau menyebutnya menang…!”
“Nonna!”
Sebuah teriakan keras dari arah belakang gadis itu berhasil
memotong kata-kata yang hampir saja terucap…
…. Kuharap kau saja
yang mati.
Seorang wanita kurus, ibu Nonna yang juga istri Ivan muncul
entah dari mana. Dia menutup mulut Nonna dan menatap wajah Riku dengan simpati.
Saat Riku melihat tidak adanya kebencian atau dendam di mata wanita itu, Riku sekali lagi menyentuh dadanya.
…. Tidak apa-apa. Semuanya
masih baik-baik saja.
“Riku…”
Marta, ibu Nonna memanggil namanya dengan suara parau. Maaf—Riku ingin sekali mengatakannya
tapi dia memilih untuk menelannya.
“…. Ivan menjadi umpan agar kami berdua bisa kembali dengan
selamat. Jika dia tidak melakukannya, kami semua akan mati. Dia percaya jika
kami berhasil pulang dengan selamat…. Setidaknya apa yang kami temukan bisa
melindungimu dan Nonna.”
“…. Terima kasih Riku.” Ucap Marta sambil menangis. Dia
menundukkan kepalanya dan kemudian pergi ke dalam gua dengan sang anak dalam
gendongannya. Saat mereka berdua sudah tidak terlihat lagi, Couron mengatakan
sesuatu yang terdengar seperti sebuah doa.
“…. Ivan, dia laki-laki yang baik.”
Ya, dia adalah laki-laki yang baik. Dan wanita yang dia
pilih menjadi istrinya adalah wanita yang tidak kalah baiknya. Dia sama sekali
tidak mengatakan cacian atau keluhannya, dan dia juga tidak memilikinya. Dia
percaya padanya. Tapi, anak mereka adalah gadis cerdas yang bisa melihat
semuanya. Dia menatap ke dalam hati Riku dan memberitahunya sebuah kebenaran.
Keberanan jika dia adalah…
…. Seorang pembohong.
“Riku!”
Tiba-tiba, sebuah teriakan kembali menyadarkannya dan Couron
memeluknya dengan erat.
“…. Selamat datang. Aku lega kau pulang dengan selamat…”
“…. Ya… aku pulang.”
Setelah itu, Couron membuka mulutnya dan mengatakan sesuatu
dengan maksud mengubah suasana yang ada.
“Baiklaaaaah~! Ini waktunya kau mandi. Cepat siap-siap!”
“Mandi!”
Alei merasa senang mendengar kata itu, tapi Riku malah
mengernyitkan alis dan bergumam sebal.
“Kami cukup menyeka tubuh kami hingga bersih. Tidak perlu
buang-buang sumber daya.”
“Kakakmu ini! Memerintahkanmu! Untuk mandi! Jujur saja, kau
ini sangat bau!” keluh Couron sambil mengendus bajunya sendiri, khawatir jika
bau baju Riku sampai mengenai bajunya. Riku hanya menghela nafas dan menuruti
perintah sang kakak. Saat mereka melewati aula dan memasuki koridor kecil,
seorang bapak melihatnya dan menyapa.
“Hei, Riku! Sampah-sampah itu sudah mulai bekerja untuk
kita!”
“Oh, ayolah Simon! Kenapa kau harus berteriak seperti itu!
Aku kan ingin membuatnya kaget!”
“Bekerja… maksudnya teleskop itu?”
Riku terlihat kaget, dan Couron memasang wajah bangga.
“Hm-mm. Apa yang kau harapkan dariku?”
“Yah, kau memang menjelaskan prinsipnya, Couron… tapi aku
masih tidak tahu kenapa kau bisa menyatukannya seperti itu.”
Dengan Simon sebagai pemandu, Riku menaiki sebuah tangga
yang menuju sebuah bengkel yang terletak di salah satu lubang horizontal lebar
yang ada di gua. Di tengah ruangan itu, Riku melihat sebuah alat silinder yang
terlihat kokoh. Kira-kira setahun yang lalu, mereka mendapatkan benda itu dari
puing tank Dwarf—sebuah ultra long distance teleskop. Saat mereka mengambilnya,
teleskop ini sudah terbelah menjadi dua dan tidak lebih dari sampah yang tidak
mungkin bisa diperbaiki dan digunakan…. Riku bertanya:
“Apa kalian yakin jika benda ini tidak menggunakan spirit?”
“Ya, tenang saja. Ini seperti teleskop milikmu tapi dengan
kemampuan yang sudah diperkuat. Kami menggunakan bermacam-macam kaca dan
lempengan yang disusun dengan cara yang rumit. Kuberitahu kau, aku harus
bekerja keras untuk mendapatkan rasio lensa yang tepat!”
“…. Aku mengerti. Dua orang mati karena benda ini. Kita
harus memanfaatkannya dengan baik.”
Couron ada di sana waktu mereka mengambil benda itu. Couron
juga adalah orang yang berhasil mengenali teleskop ultra itu dan meminta agar
dia bisa membawanya kembali ke desa, dan Riku adalah orang yang menyetujui
permintaan Couron. Lalu… untuk kabur dari Werebeast yang mereka temui di
perjalanan pulang, mereka harus mengorbankan bukan satu, tapi dua orang. Meski begitu, Simon memotong pikiran
pesimis Riku:
“Dengan ini, kita tidak perlu melakukan pengintaian terlalu
banyak… mereka pasti juga akan senang saat mendengar berita ini!”
“…. Ya, kau benar.”
Riku berbohong. Dia tahu seberapa keras usaha Couron untuk
memperbaiki teleskop ini. Tapi… semua tidak ada gunanya. Tidak peduli seberapa
hati-hatinya mereka dalam melakukan sesuatu, jika mereka ingin menemukan manusia, mereka tidak akan butuh waktu lama.
Bahkan sekarang saja, sebuah kebetulan yang buruk bisa menghabisi semua orang
yang ada di sini.
Sama seperti tempat lahirnya… dan tempat di mana dia
dibesarkan. Tapi, Couron yang sepertinya tidak tahu pikiran-pikiran buruk yang
menghantui Riku pun berkata dengan ceria.
“Kita bisa mendeteksi serangan dengan lebih mudah sekarang.
Jika kita tahu lebih dulu jika ada bahaya, kita bisa punya waktu lebih banyak
untuk lari, iya kan? Kita harus memikirkan bagaimana cara agar kita bisa
menggunakan benda ini, kau tahu! Ayo!”
Mereka meninggalkan bengkel. Di tengah jalan menuju kamar
pribadinya, Riku bertanya.
“Bagaimana dengan ekspedisi lainnya?”
“Mereka baik-baik saja. Kelompokmu lah yang melakukan
ekspedisi terjauh. Dengan begini, ekspedisi kali ini hampir sempurna!”
“Ya. Hanya ada satu kesalahan yang kulakukan.”
Wajah Riku terlihat muram dan hal itu membuat Couron merasa
agak ragu. “Ta-tapi! Kau membawa sesuatu yang berharga, iya kan?”
“Kami menemukannya di reruntuhan kapal Dwarf… kupikir itu
adalah peta dunia terbaru.”
“…! Benarkah!? Itu sangat berharga, kan?”
Riku mengangguk saat melihat antusiasme Couron.
“Peta itu juga dilengkapi dengan diagram letak markas mereka
dan strategi mereka, dalam bahasa Dwarf. Tapi beberapa ditulis dengan kode. Aku
butuh waktu untuk memecahkannya…. Jadi
tinggalkan aku sendiri selama beberapa hari.”
Saat Couron mendengarnya, air mukanya berubah suram.
“…. Mm. tapi kau harus tetap mandi, oke! Kau bau sekali!”
ucap Couron samba menutup hidungnya dengan tangan. Beberapa saat setelah itu,
perempuan itu pergi dan Riku menatapnya sambil menghela nafas panjang.
Sesaat setelah dia memasuki kamarnya yang sempit, Riku
langsung menutup pintunya. Ruangan itu memang sempit, karena dari awal ruangan
itu memang dipahat dari dinding gua yang keras, tapi yang membuat ruangan ini
menjadi terlihat lebih sempit adalah karena tumpukan buku-buku, alat-alat, dan
juga meja dengan berbagai benda di atasnya. Di ujung ruangan terdapat sebuah
meja kecil yang dia gunakan untuk menggambar peta, dan di sebelahnya ada sebuah
ranjang seadanya. Riku meletakkan lampu yang dia bawa di atas meja, meletakkan
tasnya, dan menjejerkan benda-benda yang berhasil dia kumpulkan. Primadona dari
semua barang dan bekas itu adalah tiga lembar perkamen—map yang mereka bertiga salin
bersama. Dia menjabarkan peta itu di bawah temaram lampu. Tidak ada kekurangan
dan noda apapun—itu artinya kematian Ivan
tidak sia-sia.
…. Riku menghela nafas panjang dan memeriksa sekelilingnya.
Tidak ada orang disana. Ruangan itu memang disetting jauh dari kamar-kamar
lain, dan pintu yang menutupi kamarnya juga terbuat dari kayu yang tebal.
Setelah melakukan pemeriksaan rutin, Riku mengambil nafas panjang dan menyentuh
dadanya.
Kemudian…. Krak—dia
membuka kuncinya.
Chapter 1-2 Daftar Isi Chapter 1-4
Komentar
Posting Komentar