NGNL Vol 6. Chapter 1 Part 4

 Disclaimer: Not mine

XXXX

“Apa maksudmu tidak sia-sia! Dasar hipokrit!!”

Riku menggebrak mejanya dengan keras sambil mencela dirinya sendiri. Peta dunia yang baru. Posisi markas para monster itu. Strategi milik Dwarf. Ya, itu semua adalah penemuan yang hebat! Luar biasa! Semua itu mungkin bisa menentukan nasib desa ini kedepannya. Mereka sekarang tahu di mana sumber daya dan markas milik para monster itu. Mereka sekarang bisa menghindari ranjau dari ras lain dengan lebih mudah. Mereka melakukan lima tahun ekspedisi beresiko tinggi demi mendapatkan secercah harapan ini. Dimulai dari pemetaan dan daerah di sekitar mereka. Kemudian ada sketsa kasar dari peta dunia. Memperbarui informasi ini lagi dan lagi membuat mereka bisa menghindari zona berbahaya dan menemukan sesuatu yang mungkin bisa mereka ambil. Semua hal yang mereka lakukan selama lima tahun, baru bisa dilihat hasilnya belakangan ini. Sekarang, dengan menggabungkan semua itu dengan informasi yang dia bawa sekarang, reliabilitas peta mereka akan meningkat secara drastis.

…. Tapi berapa banyak orang yang harus mati demi peta-peta ini? Tentu Riku tahu jawaban dari pertanyaan itu. Dia mengingat semua wajah mereka. Dia bahkan bisa menyebutkan semua nama mereka. Jika kau benar-benar ingin tahu, dia bahkan bisa memberitahu kapan mereka mati, di mana, dan untuk alasan apa. Empat puluh tujuh—tidak, masih ada satu lagi—empat puluh delapan orang.

Riku memberi mereka semua satu perintah yang sama: Mati. Beberapa dia perintah secara langsung, beberapa tidak. Tapi mau siapapun yang memberikan perintah itu, Riku lah orang yang mengendalikan mereka.

…. Satu untuk semuanya. Pengorbanan satu orang akan menyelamatkan dua orang lainnya.

…. Jika ada sesuatu yang membahayakan orang lain, kau harus membuang nyawamu sebelum hal itu terjadi.

Orang yang menetapkan peraturan ini dan yang menunjukkan cara bagi mereka untuk bertahan dari situasi penuh keputusasaan ini adalah Riku, tapi…

“Jika kita terus seperti ini… apa yang akan kita dapatkan nantinya!?”

Bunuh satu orang demi dua orang lainnya. Bunuh dua orang demi empat orang lainnya. Semakin lama jumlah mereka semakin banyak dan sekarang ada 48 orang yang tertumpuk di bawah kakinya. Dan populasi manusia yang berhasil bertahan hidup dari pengorbanan 48 orang ini… tidak sampai 2000 orang.

…. Jadi, Riku, ayo dengar apa yang mau kau katakan. Berapa lama lagi kau berencana mengemban semua ini? Apa hingga hari itu tiba…. Hari dimana kau membunuh 999 orang demi 1001 orang lainnya? Atau hingga hari dimana hanya ada 1 orang yang tersisa?

“…. Ha—ha-ha-ha-hahahahahahaha!”

Dan kau berani berkata pada gadis kecil yang baru saja kehilangan ayahnya jika manusia pasti akan menang, dengan mulut itu!? Kau menipu semua orang dan membuat mereka percaya jika semua ini tidak bisa dihindari, jika semua pengorbanan ini memang diperlukan dan menarik mereka ke dalam neraka bersama-sama! Dan kau…. Kau bahkan mempercayai kebohongan itu, mengunci hatimu sendiri dan berkata pada dirimu sendiri jika kau harus mempercayainya!

Semua itu membuat Riku ingin muntah. Kebenciannya pada diri sendiri sudah sangat tinggi hingga tenggorokannya terasa terbakar. Apa kau tidak punya malu? Atau apa kau sudah melupakannya? Seberapa rendah lagi kau harus…? Dasar bajingan…

….

“Hff!.... Hfft! Hff…”

Sebelum Riku menyadarinya, meja yang ada di depannya sudah hancur berantakan.  Pecahan kayu yang tajam menancap di tangan yang dia gunakan untuk menggebrak meja dan darah mengalir dari luka itu. Darah yang mengalir ke kepala Riku mulai melambat. Pikiran gelapnya pun mulai mencaci hatinya.

 

Apa kau bahagia sekarang? Ya, mana bisa aku bahagia.

Apa kau ingin menangis? Ya, memangnya itu bisa membantuku.

Kalau begitu, apa kau sudah selesai? Ya. Aku sudah muak, sialan.

 

Dia tidak punya hak untuk menangis. Jika dia ingin menumpahkan sesuatu, pilihannya adalah darah miliknya sendiri. Itu akan lebih cocok untuknya. Seorang bajingan, bedebah, dan penipu.

Daripada menumpahkan sesuatu yang murni seperti air mata, mengotori tangannya dengan darah terasa lebih cocok. Dia menutup matanya, meletakkan tangannya di dada—dan membayangkannya.

Klang—Dengan gema yang berat, dia menutup hatinya—itu yang dia lakukan. Seperti biasanya. Harapan. Kebohongan. Penuh kalkulasi dan tenang. Sangat bisa diandalkan. Riku—laki-laki dengan hati baja—sekarang telah kembali. Setelah dia menutup hatinya dan mendinginkan kepalanya, Riku membuka matanya perlahan. Dan saat dia melihat kondisi kamarnya yang berantakan, dia menghela nafas.

“…. Pohon tidak tumbuh dari batu… ah, sial. Apa yang harus kulakukan sekarang?”

Riku mengambil pecahan kayu yang menancap di tangannya sambil menggerutu. Tidak ada rasa sakit yang dia rasakan, seakan rasa sakit itu sudah lama membeku bersama dengan hatinya.

“…. Kurasa aku tidak punya alasan… tunggu. jika aku menggunakan ini untuk kayu bakar, aku bisa menghilangkan bukti dan menambah sumber daya desa. Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Aku juga bisa makan di lantai…”

+++

Di luar pintu, dengan punggung bersandar di tembok gua, Couron mendengar semua teriakan Riku dengan wajah sendu.

…. Seperti biasanya. Inilah alasan kenapa dia meninggalkan Riku sendirian. Ini adalah waktu bagi Riku untuk mengumpulkan kembali hatinya. Dia harus melakukannya karena dia harus menerima jika dia telah mengorbankan—tidak, dia telah membunuh Ivan. Ini…. Adalah ritual yang harus dia lakukan. Adiknya membutuhkan ini. Tanpa ritual ini, dia akan rusak…. Atau mungkin adiknya itu, Riku memang sudah rusak sejak lama…

“…”

Tapi Couron tidak mengatakan apapun. Dia hanya bisa melakukan ini—mendengarkan semua teriakan Riku dari balik pintu. Riku adalah pemuda 18 tahun—dia masih sangat muda, bahkan mungkin masih bisa dianggap anak-anak. Di situasi seperti ini, dimana dia diserahi tanggung jawab untuk memutuskan nasib dari 1 desa dengan 2000 nyawa manusia, itu adalah hal yang sangat abnormal dari segala sisi. Tapi… tidak ada orang lain yang bisa melakukannya. Tidak ada orang lain yang bisa memimpin 2000 orang ini. Tidak ada yang bisa membuat keputusan dingin yang bisa menyelamatkan mereka semua. Memangnya siapa yang bisa mengambil tanggung jawab dari pemimpin-pemimpin sebelumnya, mengemban keinginan mereka yang masih tersisa, dan bisa bertahan hingga selama ini? Memangnya siapa orang yang bisa mengubah hati mereka menjadi baja dan melakukan semua ini? Tidak ada yang bisa melakukan semua itu kecuali Riku. Jika mereka kehilangan pemuda ini, mereka pasti akan gemetar ketakutan karena menghadapi kematian sebagai mangsa ras-ras yang lebih kuat. Mereka hanya akan menjadi hewan yang tidak berharga dan tidak berarti…. Gadis seperti Couron saja paham akan hal ini.

 

Perang Besar yang berkobar selamanya. Ini bukan kata kiasan atau apa. Tidak ada yang ingat kapan perang ini dimulai. Kapanpun manusia membentuk sesuatu yang mirip seperti sebuah peradaban, mereka langsung dihabisi seperti rumput yang ada di pinggir jalan…. Yang mereka miliki hanya sejarah menyedihkan yang diturunkan secara lisan. Dan di sejarah itu, para orang tua mereka hanya berkata dengan tenang seakan itu adalah fakta yang tak terbantahkan—jika perang ini akan terjadi selamanya. Dunia dimana pintu langit tertutup dan bumi terbelah, dunia dimana semuanya diwarnai dengan merah darah, tidak ada perbedaan antara siang dan malam. Tidak ada lagi orang yang memiliki sistem penanggalan, mereka sudah melupakan hal seperti itu sejak lama.

 

Tahun terasa sama saat bumi dan langit yang dipenuhi abu kematian semakin hancur karena semua pertempuran yang terjadi, dan manusia tetap tidak memiliki kekuatan apapun. Keluar dari desa sama saja seperti menyodorkan leher ke arah sabit dewa kematian. Saking parahnya, pertemuan dengan hewan buas saja bisa membuat mereka mati. Satu peluru nyasar kecil saja bisa menghancurkan seluruh desa dan kota… atau mungkin seluruh peradaban manusia.

…. Perang itu tidak berakhir. Tidak berakhir. Tidak berakhir. Tidak berakhir. Tidak berakhir. Tidak berakhir. Tidak berakhir—semua siklus kematian dan keputusasaan ini. Jika neraka itu ada, maka inilah tempatnya, begitu pikir Couron—namun begitu, manusia masih bisa bertahan hidup di dalamnya.

…. Karena mereka bisa mati tanpa alasan apapun.

…. Karena hati mereka tidak memperbolehkan keberadaan mereka menghilang tanpa alasan apapun. Berada di dunia seperti ini…. Apa kau bisa tetap waras?

+++

Lima tahun kemudian, desa yang telah merawat Riku—rumah Couron, terperangkap diantara pertempuran Flügel dan Dragonia… dan sesa itu menghilang. Para orang dewasa yang menjadi pemimpin mereka telah mati, beberapa yang selamat hanya bisa menangis dan menangis karena hancur di bawah tekanan bernama putus asa. Saat itulah mereka menemukan sebuah gua. Seorang anak berusia 13 tahun yang mengabaikan semua rasa sedih dan putus asa yang mengelilinginya pun berkata:

“Ini tempat yang bagus. Ini bisa jadi desa kita yang baru.”

Di depan orang-orang yang baru kehilangan semuanya beberapa jam yang lalu, dia mengatakan ‘desa baru’ seakan itu adalah hal yang wajar. Mereka pun berteriak marah.

…. Apa untungnya!? Teriak mereka.

…. Ucapanmu itu…! Kau seperti berkata jika kami semua ini tidak ada, iya kan! Ucap beberapa yang lain sambil sesenggukan.

Saat si anak mendengar semua kemarahan yang dipenuhi keputusasaan, anak itu membalas tanpa mengedipkan mata sedikitpun.

“Benar. Bukan seperti—kita memang tidak ada. Kita tidak boleh ada.”

Anak itu menjelaskan bagaimana cara agar mereka bisa menjadi seperti itu.

“Kita tidak ada. Kita tidak boleh ada, jadi mereka tidak akan bisa mengenali kita…. Kita akan menjadi hantu.”

Mata anak itu memiliki warna yang lebih hitam dari gelapnya gua yang mereka tempati.

“Kita akan menggunakan semua cara yang kita punya untuk lari, sembunyi, dan untuk bertahan hidup—hingga suatu hari…. Seseorang… akan melihat akhir dari peperangan ini.”

Jika mereka tidak bisa melakukan apa-apa, mereka hanya perlu membawa obor harapan pendahulu mereka. Jika mereka tidak bisa melakukan apa-apa…. Mereka mungkin hanya perlu memberikan kesempatan bagi penerus mereka untuk mencobanya.

Achéte: yang bisa mengatakannya dan menepatinya… ikuti aku.”

…. 13 tahun. Kata-kata yang diucapkan anak yang tempat tinggalnya hancur dua kali itu menggema di dalam gua. Bagi semua yang tatapannya seperti hantu dan hidupnya sudah tak berarti lagi, kata-kata itu memberi mereka alasan untuk tetap hidup—dan alasan untuk mereka mati.


Chapter 1-3     Daftar Isi     Chapter 1-5


Komentar

Postingan Populer