NGNL Vol 6. Chapter 1 Part 2
Disclaimer: not mine
XXXXX
…. Ivan berusaha melambatkan detak jantungnya yang terlalu
cepat, menahan nafasnya, dan melipat badannya sekecil mungkin, kemudian dia
menatap Riku yang sedang bersembunyi tidak jauh darinya. Riku melepas sarung
tangannya, mengambil pisau, dan tanpa ragu membuat luka kecil di ujung jari
telunjuknya.
…. Begitulah Riku…
Riku menekankan luka yang baru saja dia buat ke tanah.
Dengan menggunakan ujung jarinya, pemuda itu menggali semua informasi yang bisa
dia dapatkan dari dalam sana, setelah itu dia menyentuh telinganya dengan
tangannya yang lain. Melihat apa yang sedang terjadi di kejauhan sama sekali
tidak bisa dilakukan, itu sama saja dengan bunuh diri. Tapi meletakkan telinga
ke tanah juga tidak bisa dilakukan. Mereka hanya bisa mendengar suara yang
berada di atas permukaan tanah. Karena itulah Riku mengkombinasikan cara yang terlalu rasional ini untuk menganalisa
data yang dikeluarkan oleh musuh mereka. Mereka—terutama Riku—cukup menggunakan
getaran dan suara yang dihasilkan oleh musuh untuk membuat perkiraan intensitas
dan ritmenya. Ivan yang sedang menunggu sinyal dari Riku pun hanya bisa
menjilat bibirnya yang terasa sangat kering.
…. Jarak kira-kira 30
meter, bipedal, satu, berat, lambat…. Oh, kau pasti bercanda.
Tinggi musuh yang diperkirakan oleh Riku dari gaya
berjalannya adalah 20 kaki. Sesosok behemoth dengan tinggi 3 kali manusia biasa
sedang berjalan lambat… jadi apakah dia sedang mencari sesuatu…? Keringat
dingin mulai mengaliri punggung Ivan. Beberapa saat setelah itu mereka
mendengar raungan yang menggetarkan daerah di seseliling mereka.
…. Sialan! Demonia!?
Mereka berdua bisa tahu siapa musuh yang sedang mendekat
tanpa harus melihat tanda dari Riku. Mereka adalah monster yan g tercipta dari
mutasi Phantasma… memiliki sebutan ‘Devil’ atau apapun itu. Monster-monster ini
hampir tidak memiliki kecerdasan. Kau bahkan bisa bilang jika mereka adalah
hewan buas yang hanya diberikan sedikit kecerdasan. Mereka memiliki kekuatan
yang mengerikan dan kesadaran dari bagaimana rasanya menjadi mangsa…. Sebagai
ganti kecerdasannya yang rendah, mereka menggunakan insting predator yang
sangat kuat. Dan Demonia ini sekarang sedang keluyuran di tempat sepi seperti
ini… mungkin dia adalah Demonia dengan pangkat terendah dari Demonia lainnya.
Mungkin dia adalah orge atau troll…. Kalau begitu, apa manusia seperti mereka
bisa melawannya?
…. Tidak. Sudah pasti
tidak.
Ya, mereka tidak mungkin bisa melakukan itu. Tidak peduli
seberapa lemah dan rendahnya Demonia itu, dia pasti bisa membuat manusia
menjadi tumpukan daging hanya dengan jentikan jarinya. Monster itu tidak
menggunakan insting mereka untuk berjaga-jaga atau menyerang karena mereka tidak perlu melakukannya. Mereka
bisa tahu—meski dengan kecerdasan yang sedikit—jika mereka kuat dan bisa
menyelesaikan semua masalah mereka dengan kekuatan saja. Dengan senjata yang
mereka bertiga bawa saat ini… tidak peduli seberapa lengkap persiapan mereka,
manusia tetap tidak akan bisa membunuh Demonia manapun.
Semua tidak ada
artinya.
Meski mereka berhasil membunuh Demonia itu di sini… apa
artinya? Bagaimana jika Demonia yang lebih kuat, dengan kecerdasan yang lebih
tinggi mulai mengenali mereka dan menganggap manusia sebagai ancaman?
…. Umat manusia pasti akan dihancurkan sampai tidak bersisa.
Karena itu hanya ada satu hal yang bisa mereka bertiga lakukan saat ini. Lari.
Tidak ada alternatif lain yang bisa mereka lakukan saat ini.
“…. Kita tidak ada. Kita tidak boleh ada, dengan begitu
keberadaan kita tidak akan bisa dirasakan.”…. manusia tidak boleh ada. Mereka
hanyalah mainan dengan peran sebagai mangsa yang selalu diburu. Karena itu….
Ivan bisa mengetahuinya…. Riku menoleh dengan pelan ke arahnya dan kemudian
berkata:
“Ivan, ini perintah.” Kata Riku. “Matilah di sini.”
“Achete. Serahkan padaku.”
Ivan merespon perintah itu tanpa ragu. Dia memberikan tasnya
pada Alei dan kemudian berjalan menjauhi mereka berdua.
“He-hei…”
Ivan tersenyum pada Alei yang menerima tas nya dengan tangan
gemetaran.
“Kau tahu apa yang harus dilakukan, Alei. Salah satu dari
kita harus mati.”
Ya… salah satu dari mereka harus berperan sebagai umpan
sedangkan 2 orang lainnya lari dari tempat ini. Itu satu-satunya pilihan yang
mereka miliki. 30 meter bisa mereka tempuh dengan berlari selama 8 detik. Saat
bertemu dengan Demonia di jarak sedekat
ini—mereka tidak punya pilihan lain selain melakukannya. Jika mereka
bertiga kabur bersama, kemungkinan
terbaik mereka akan ditangkap dan dibunuh bersama. Kemungkinan terburuknya, mereka akan diikuti
hingga ke desa… musuh mereka saat ini cukup cerdas untuk melakukannya.
Riku pasti sudah memikirkan siapa yang harus dikorbankan dan dimana mereka harus mati… itu
saja.
“Kita tidak bisa kehilangan Riku, dan Alei kau juga masih
muda. Sudah jelas siapa yang harus pergi duluan.”
“Tapi… itu bukan…!”
Ivan tersenyum lembut. Kemudian dia melonggarkan ikatan yang
ada di lehernya dan melepaskan masker partikel yang dia pakai.
“Ivan…!?”
Anehnya, udara dingin yang membelai kulitnya berhasil
mengembalikan ketenangannya. Angin itu terasa sangat nyaman seakan baru saja
menghempaskan semua keringat yang membuatnya sesak selama ini.
“Tidak apa-apa. Melindungi teman dan keluarga… itu adalah
alasan yang cukup untuk mati, iya kan?”
Setelah itu Ivan memberikan maskernya pada Alei yang sedang
menahan tangisnya.
“…. Sialan! Sial, sial!!”
Ivan menepuk bahu teman seperjuangannya itu dan kemudian
membalikkan badannya. Dia menatap mata Riku yang ada di balik google hitam itu.
Setelah diam selama beberapa saat, dia berkata.
“Sampai jumpa, Riku. Tolong jaga keluargaku… anakku.”
Riku tetap diam seperti sebuah patung, dan tanpa mengalihkan
tatapannya dia berkata pada Ivan.
“Ya. Akan kulakukan.”
….
“Maaf.”
Saat mendengar sesuatu yang tidak dia duga, Riku bertanya,
“…. Kenapa kau minta maaf?”
“Maaf.”
Ivan tidak mengatakan alasannya. Dia hanya mengulangi
permintaan maafnya sekali lagi.
“Kau tahu, Ivan, kau…” panggil Alei dengan tubuh gemetaran,
tapi Ivan sama sekali tidak menoleh karena merasa malu.
“Alei, kau harus menjaga Riku untukku… Baiklah, aku pergi
dulu.”
XXX
Ivan dan dua orang lainnya bergerak di saat yang sama, tapi
arah mereka berbeda. Berbeda dengan Riku dan Alei yang bergerak dengan perlahan
dan hati-hati, Ivan berlari dengan cepat sambil menimbulkan banyak suara. Saat
monster itu mengaum, Ivan melirik ke arah belakang sambil terus berlari.
Demonia yang sudah menyadari keberadaan Ivan itu langsung menendang bongkahan
besi di dekatnya dan langsung menerjang laki-laki itu.
Demonia itu memiliki ukuran tubuh yang besar. Seperti yang
dikatakan Riku, dia memiliki ukuran behemoth dengan tinggi setidaknya 3 kali
manusia normal. Ototnya tersembunyi di balik bulu berwarna hitam. Giginya yang
tajam mencuat dari dalam mulutnya dan membagi kepalanya menjadi 2 bagian. Saat
mimpi buruk itu semakin mendekatinya, Ivan pun menyeringai. Di belakang monster
itu, dia bisa melihat Riku dan Alei yang berlari menjauh. Monster itu tidak
menyadari keberadaan mereka berdua berkat keributan yang dibuat oleh Ivan.
“…. Ha… haha!!!”
Ivan yang tiba-tiba merasa semua ini terasa menggelikan pun
berteriak. Dia memusatkan seluruh perhatiannya pada si monster yang melaju
semakin cepat ke arahnya. Operasi umpan ini sepertinya berhasil dilakukan.
Sekarang dia hanya perlu menarik perhatian monster ini sejauh yang dia bisa.
Kalau begini, memberikan hasil terbaik adalah pilihan paling tepat, kan?
Lagipula… ini akan jadi misi terakhirnya.
Ya. Perannya akan berhenti sampai di sini. Dia hanya perlu
berlari sejauh mungkin…. Berlari hingga kakinya tidak bisa bergerak lagi. Ini
pekerjaan yang mudah.
“Maaf Riku… aku sudah meninggalkan beban berat untukmu.”
Riku sudah seperti adik untuknya, dan misi yang harus dia
jalankan sudah pasti lebih berat dan lebih menyakitkan dari apa yang dia
rasakan sekarang. Tidak sepertinya yang akan segera mendapatkan kedamaian
beberapa menit setelah ini, misi yang ditanggung Riku akan jauh, jauh lebih
lama dan berat.
“Ya, aku tahu kalau menangis seperti ini memang memalukan….
Tapi, aku berharap padamu, sialan!”
Mata hitam kelam milik Riku terlintas di otaknya. Meskipun
pemuda itu menatapnya balik, Ivan tahu jika keduanya… tidak memantulkan apapun.
Tidak rasa takut, tidak rasa ragu, tidak rasa frustasi, dan tentunya tidak ada
rasa kesakitan yang terpancar dari sana. Karena itu Ivan bisa mempercayai Riku.
Dia akan menyerahkan nyawanya demi memenuhi perintah seorang pemuda yang beberapa
tahun lebih muda darinya itu. Itu semua karena dia percaya jika orang dengan
mata hitam itu pasti tidak akan ragu mengorbankan dirinya sendiri bila itu
memang diperlukan. Dia percaya jika pemuda itu bisa menggunakan waktu hidupnya dengan menciptakan banyak hal berguna jika
dibandingkan dengan orang lain. Tapi…
“Aku tahu jika aku sudah memaksakan hal berat untukmu….
Tapi, Riku… tidak ada orang yang kupercaya selain dirimu.”
Karena itu dia tiba-tiba minta maaf tadi. Dia meminta maaf
karena dia membiarkan Riku memberinya alasan untuk mati…. Tapi sebenarnya dia
sendiri tidak mau mati sekarang. Di desa mereka, istri cantiknya dan anaknya
yang menggemaskan sedang menunggu kepulangannya. Dia ingin sekali kabur dari
situasi ini dan kembali ke dekapan mereka berdua.
…. Tapi, apa bedanya terkubur dalam tumpukan abu hitam dan
mencoba mati pelan-pelan?
“Aaaaahh! Aaaaaahhh!!!”
Menyedihkan, pikir Ivan. Dia tidak bisa lebih menyedihkan
dari ini karena sudah menyerahkan pilihan dari kebahagiaan semacam itu dengan
kematian mengerikan ini. Dia tidak menginginkannya. Akhir seperti ini adalah
hal terakhir yang bisa dia harapkan. Apapun selain mati tanpa alasan dan tanpa
arti.
“Maaf! Maaf! Tolong, maafkan aku…”
…. Karena sudah hidup di dunia rusak, gila, dan menjijikkan
ini. Karena sudah lahir tanpa memiliki arti apa-apa. Karena sudah hidup dalam
ketakutan, kemudian menemukan apa itu kebahagiaan yang harus dia lepas dengan
paksa seperti ini. Karena harus dibantai. Apa artinya hidup jika semua siklus
ini terus berulang?
Jawaban dari semua pertanyaan itu diberikan oleh satu pemuda—Riku.
Hidup untuk melindungi temanmu, keluargamu, dan—demi orang-orang yang akan menyaksikan akhir peperangan ini—mati.
Itu adalah arti hidup yang menakjubkan. Sempurna. Tidak ada justifikasi atas
keberadaan seseorang sebaik apa yang dikatakan oleh Riku. Bukankah ini kematian
yang indah? Tentu saja…. Bahkan aku bisa meneriakkannya pada seluruh dunia agar
mereka semua mendengarnya.
“…. Aku! Mati demi teman dan keluargakuuuuuu!!!!”
Lihat…? Kepada siapa, untuk apa, di mana seseorang harus
menundukkan kepala mereka…!? Ivan mencium bau busuk di sekelilingnya dan dia
menyadari jika kematian diluar batas imajinasi manusia akan segera
menghampirinya.
“Ha…. Haaa! Hei, Riku! Suatu hari nanti, zaman ini akan
berakhir, iya kan…?”
Tidak ada jawaban…. Dan Ivan juga tidak sedang menunggu
seseorang untuk menjawabnya.
Sejak awal, ‘suatu hari nanti’ adalah konsep yang asing bagi
Ivan. Dunia ini terlalu kejam untuk seseorang menaruh harapannya. Dunia ini
terlalu keras hingga semua orang pernah dan sedang hidup merasakan apa yang
namanya putus asa itu. Masa lalu dan masa depan tidak bisa dia raih dan
keduanya tidak berhubungan dengan orang-orang yang hidup di masa sekarang. Yang
bisa mereka lakukan, yang bisa mereka usahakan adalah menulis semua hal yang
terjadi di masa sekarang, memutar cerita yang terjadi sekarang dengan sisa
nyawa yang mereka miliki. Meski begitu, semua kerja keras mereka bisa tersapu
habis dengan mudah karena hasrat dari makhluk lain yang ada di suatu tempat di dunia
ini.
“Aaaahh…”
Yang bisa dia lakukan sekarang hanyalah berlari sampai titik
nafas terakhir, seperti ini.
“Aah…. Ahh—aaaaaaahhh!! Aaaaahhh!!”
Yang bisa dilakukan manusia…
“AAAAAhhhh………aah….”
Beberapa saat kemudian, teriakan itu pun menghilang.
Chapter 1-1 Daftar Isi Chapter 1-3
Komentar
Posting Komentar