I'll Become A Villainess That Will Go Down In History Chapter 108

 Disclaimer: This novel is not mine.

★★★★★★★★★

Kami berdua berlari memasuki hutan. Aku tahu kami pergi ke arah desa Roana, tapi hari sudah pagi... apakah tidak apa-apa jika kami pergi ke sana sekarang?

Pikiran itu menghantamku sekeras cahaya mentari pagi yang memasuki mataku. Tapi aku tidak bertanya apapun pada Alicia. Kami terus berlari dengan kecepatan tinggi dan berhasil sampai dalam waktu singkat.

Aku merasa jika hutan ini terlihat sedikit menyeramkan. Setidaknya suasana kali ini lebih menakutkan dari pada saat malam hari. Entahlah, cahaya remang di pagi hari yang hampir tidak bisa menembus kanopi hutan membuat bayangan semakin terlihat seram.

"Alicia! Kau tidak pakai sepatu!" Teriakku setelah kami berlari selama beberapa saat. Aku baru sadar dengan keadaan kakinya saat aku sedang melihat beberapa akar yang mencuat dari dalam tanah.

Alicia sama sekali tidak berhenti berlari meski sudah mendengar teriakanku, dan aku bisa melihat tapak kakinya yang mulai menghitam karena tanah dan kotoran lainnya.

"Jangan khawatir. Ada yang lebih penting dari itu. Apa kau bisa tahu apa yang berbeda dariku?"

Sepertinya dia tidak keberatan jika kakinya menjadi semakin kotor.

"... Hm... Seperti yang kuduga, cara bicaramu sudah berubah... kurasa?"

Aku menatap Alicia saat mengatakannya.

Saat Alicia mendengar jawabanku, alisnya sedikit merengut dan matanya memandang ke kejauhan.

"Apakah itu karena aku sudah lama tidak berbicara dengan orang lain? Apa aku terdengar aneh?"

"Tidak sama sekali, suaramu hanya terdengar lebih halus dibanding sebelumnya." jawabku serius dan Alicia tersenyum lembut kepadaku.

... Cantiknya.

Tidak ada tanda senyum terpaksa atau sarkasme pada wajah itu. Rasanya seperti dia sudah lupa jika dia harus bersikap jahat pada orang lain. Sekarang dia tersenyum lembut ke arahku.

Raut wajahnya terlihat berbeda dari dia yang biasanya. Dia terlihat sangat cerdas dan jujur, itu sifat aslinya.

"Kau mungkin benar. Aku mungkin memang sudah berubah."

"Apa kau benar-benar tidak pernah berbicara pada seorangpun selama 2 tahun ini?"

Wajah Alicia kelihatan sedikit berkerut.

Normalnya Alicia tidak akan menunjukkan ekspresi seperti itu. Rasanya Alicia seperti kehilangan semua ketajamannya, seakan semua sikap wanita jahat yang selalu dia tunjukkan hilang begitu saja.

"Kau baru saja berpikir kalau aku sama sekali tidak terlihat seperti wanita jahat, iya kan?"

"Bagaimana kau bisa tahu?"

Bahuku langsung kaku karena kaget dengan pertanyaan Alicia. Aku tidak pernah tahu jika dia bisa membaca pikiran orang lain dengan mudah seperti ini.

Apa dia menggunakan semacam sihir kepadaku?

"Ini bukan sihir." kata Alicia singkat dengan senyum kecil di wajahnya.

Ah, wajah itu, senyum iseng itu... itu Alicia yang kuingat.

"Kalau begitu kenapa kau bisa tahu?"

"Karena ekspresimu itu mirip dengan buku yang terbuka lebar?"

Itu pasti bohong. Selama 2 tahun ini aku sudah bekerja keras supaya wajahku tidak menunjukkan emosi apapun. Terlebih lagi aku sudah melatih ekspresi apa saja yang tepat untuk berbagai situasi.

Tidak, aku yakin jika wajahku tidak menunjukkan apapun.

"... Aku bercanda." kata Alicia sambil tersenyum lebar.

Jantungku langsung berdetak kuat. Di banyak sisi, gadis yang ada di depanku ini sama sekali tidak mirip dengan Alicia yang kukenal. 2 tahun ini sudah banyak merubahnya.

"Tapi aku masih sama. Aku tidak berubah, Gilles. Aku masih tetap aku."

Lagi. Dia tahu apa yang kupikirkan dengan sangat tepat.

Aku menatapnya dengan mata lebar selama beberapa saat, tiba-tiba Alicia tertawa.

"Maaf, Gilles. Aku tidak tahan! Wajahmu sangat lucu, jadi aku sangat ingin menggodamu."

"Ya, ya. lucu. Hentikan semua ini. Bagaimana caramu tahu?"

"Ayolah~ ini bukan sesuatu yang harus membuatmu marah kan...?"

"Cepat jelaskan, Alicia."

"Yah, kau tahu bagaimana kakek Will selalu bisa mengetahui apa yang dipikirkan orang lain meski dia tidak bisa melihat mereka? Aku sudah membuat hipotesis selama 2 tahun ini soal kenapa hal itu bisa terjadi."

"Jadi? Kau menemukan caranya?"

"Tidak, tidak sepenuhnya. Aku masih tidak tahu bagaimana caranya kakek bisa melakukannya dengan sempurna. Tapi aku berpikir sepertinya aku tahu bagaimana cara kemampuan itu bekerja." kata Alicia dengan bangga.

Rasanya Alicia terlihat lebih bersemangat daripada dirinya 2 tahun yang lalu.

"Aku satu-satunya orang yang tinggal di kabin kecil itu, tapi ada banyak orang yang ada di luar, iya kan? Yah, itu sudah sangat jelas."

"Ya... lalu?" tanyaku dengan nada tidak yakin ke mana arah pembicaraan ini. "Apa kau mau bilang kalau kau menjadi lebih sensitif pada perubahan yang terjadi pada orang-orang yang ada di sekitarmu?" tanyaku dengan nada skeptis.

"Tepat sekali, kau memang hebat asistenku. Kau bisa tahu apa yang kupikirkan dengan mudah."

Alicia lalu menepuk kepalaku dengan lembut.

Rasa hangat membanjiri hatiku, aku pun sadar seberapa besar pengaruh yang diberikan gadis ini kepadaku. Tidak ada yang bisa membuatku sangat bahagia selain pengakuan dan pujian darinya.

"Nada suara, ekspresi, sikap, kebiasaan, perasaan... hanya dengan mendengarkan semua itu dengan seksama dan menghubungakannya dengan aura dan impresi yang diberikan oleh mereka, itu adalah parameter yang dibutuhkan agar kau bisa membaca hati seseorang, setidaknya secara teori. Tapi semakin aku mempelajari seni ini, aku menjadi semakin paham jika hal ini adalah sesuatu yang sangat sulit. Tapi karena itu kau, aku bisa membaca beberapa pikiranmu. Jujur saja kamampuanku masih sangat jauh dari level kakek Will."

"Tapi itu juga sangat hebat, Alicia!"

"Tidak ah. Tidak ada yang hebat dari itu." katanya dengan nada tenang.

Sama sekali tidak ada rasa frustasi dan tidak sabar di nada bicaranya. Dia terdengar sangat jujur, itu artinya dia memang sama sekali tidak menganggap hal ini sebagai sesuatu yang sangat ‘wah’.

"Meskipun aku berlatih sepertimu, kurasa aku tidak mungkin bisa melakukannya."

"Berlatih? Aku tidak melatih itu secara khusus kok. Kemampuan itu tidak akan muncul hanya karena kerja keras dan latihan tanpa henti... mungkin rasa sabar adalah hal yang lebih tepat. Tapi pada akhirnya, aku hanya melakukan apa yang harus kulakukan agar bisa menjadi wanita jahat nomor 1, tidak kurang tidak lebih."

"Kau bilang semua itu agar kau bisa menjadi wanita jahat nomor 1, tapi kurasa kau tidak terasa sejahat dulu. Tadi saja kau terlihat seperti sedang kesusahan..."

"Oh itu...? itu karena aku tidak tahu apa yang boleh dan tidak boleh kukatakan." jelasnya sambil berusaha mengatur ekspresi wajahnya.

Dengan tatapan serius, Alicia mulai memikirkan sesuatu. Dia sepertinya merasa ragu untuk mengatakannya kepaku.

Tentu saja aku tidak akan membocorkan perkataan Alicia pada siapapun, tapi aku tidak perlu mengatakan hal itu padanya. Jika dia tidak tahu akan hal itu, maka kata-kataku hanya terdengar seperti basa-basi biasa.

Lagipula Alicia harus memutuskan apakah dia perlu mengatakannya padaku atau tidak. Jika dia tidak ingin mengatakannya maka aku tidak bisa memaksanya.

Beberapa saat kemudian Alicia menutup matanya dan menghela nafas. Saat dia kembali membuka matanya dia menatapku dengan tajam.

"Kau bertanya apakah aku berbicara pada orang lain selama 2 tahun ini, iya kan? Yah, aku melakukannya, 1 kali. Itu saat ibunda datang untuk berbicara kepadaku."





Komentar

Postingan Populer