I'll Become a Villainess that Will Go Down in History Chapter 98
Disclaimer: this novel isn't mine
☀☀☀☀☀☀☀
Albert-oniisama terlihat kaget dan menatapku dengan tajam.
"Jika kau tidak mau membunuh orang lain, kenapa kau susah-susah berlatih cara menggunakan benda berbahaya seperti itu?"
"Benda berbahaya, katamu!?" teriak Albert-oniisama dengan nada marah.
Sejak kecil Albert-oniisama sangat suka dengan sikap ksatria para prajurit yang selalu menjunjung tinggi kebenaran. Jadi, bagi oniisama menghina pedang di pinggangnya adalah sebuah penghinaan yang terburuk.
"Kalau begitu, apa alasan oniisama menggunakan pedang itu?"
"Untuk melindungi orang yang kusayangi."
"Kalau begitu, jika orang yang kau sayangi dibunuh oleh seseorang, bisakah kau bersumpah tidak akan membalas dendam? Bisakah kau bersumpah kalau kau tidak akan mengotori pedangmu dengan darah orang itu?"
"Membalas dendam untuk memuaskan rasa bencimu hanya akan melahirkan kebencian yang lain!" potong Liz-san sebelum Albert-oniisama bisa menjawabnya.
Jika gadis ini bersikukuh untuk terus memotong pembicaraan kami hanya karena idealisme manisnya, maka ini akan jadi lebih rumit untukku. Tapi aku mengerti apa yang ingin dia katakan. Kebencian hanya akan melahirkan kebencian lain. Membalas dendam hanya akan membuatmu masuk ke dalam lingkaran setan yang dipenuhi dengan rasa benci, balas dendam, dan rasa putus asa.
Dia tidak sepenuhnya salah... tapi jawabannya juga tidak 100% benar. Ada situasi di mana masalah akan selesai hanya dengan memuaskan rasa benci dan melakukan balas dendam.
Ah, ini adalah filosofi seorang wanita jahat yang sangat indah! Sepertinya pikiranku juga sudah mulai berubah menjadi pikiran wanita jahat yang sesungguhnya.
"Bisa memaafkan kesalahan orang lain juga hal yang sangat penting." tambah Liz-san. Aku tidak menyangka jika dia masih ingin melanjutkan ceramahnya. Untuk sesaat aku merasa tidak percaya... apa sih yang sebenarnya dia mau?
Tapi... mengatakan sesuatu yang polos, suci, dan dengan senyum malaikat itu... ya. Aku tidak akan bisa menyukainya.
"Jadi maksudmu, jika keluargamu terbunuh... semuanya. Kau tidak akan melakukan apa-apa?"
"... Meski mereka semua terbunuh, aku tidak akan pernah mengambil nyawa orang lain. Tidak perduli apapun alasannya, perbuatan itu sudah terlalu jauh."
"Kalimat yang indah. Tapi kenyataan itu tidak seindah omonganmu."
"Hipokrit." gumam Gilles. Dia menatap Liz-san dan berkata. "Apa kau sadar dengan yang kau lakukan barusan? Kau bisa bilang kalau membunuh adalah suatu kejahatan, tapi semua itu hanya omong kosong. Beberapa menit yang lalu, bukannya kau hampir membuat Alicia terbunuh!?"
Semua kata-kata itu mengalir dari mulut Gilles bak air bah yang sudah tidak bisa dibendung lagi. Meskipun dia bukan tipe orang yang meledak-ledak, setelah kejadian tadi dia...
Aku menatap Gilles dengan seksama.
Matanya penuh dengan amarah yang terasa sangat dingin... dan dia mengarahkan tatapan itu pada Liz-san. Aku saja sampai kesulitan bernafas saat menatapnya, padahal aku orang yang paling dekat dengannya. Aku bisa membayangkan bagaimana perasaan Liz-san saat ditatap dengan mata seperti itu.
"Liz tidak mencoba membunuh Alicia! Dia hanya mencoba menghentikan Alicia yang mau membunuh seseorang." jelas Gayle-sama dengan nada jijik. Dia menatap Gilles seolah anak itu hanya anak bau kencur yang tidak tahu apa-apa dan hanya ingin mengemis belas kasihan orang lain.
Yah... aku memang berusaha membunuh preman itu, tapi merekalah yang berencana untuk membunuh kami duluan. Setelah Liz-san menggunakan sihirnya kepadaku, itu sama saja dengan memberiku hukuman mati. Jika Duke-sama tidak datang tepat waktu, aku pasti sudah mati sekarang.
"Kau benar-benar sudah buta." tandas Gilles.
Gayle-sama sebenarnya lumayan pintar, jadi hanya dengan sedikit penjelasan dia pasti bisa mengerti. Tapi... jika dia benar-benar sudah dicuci otak oleh Liz-san, maka tidak ada yang bisa kami lakukan. Tidak peduli apa yang kami katakan, otaknya tidak akan bisa mencerna kata-kata kami.
"Laki-laki itu tidak bersenjata. Tapi Alicia tetap menyerangnya dengan kapak. Dia sama sekali tidak ragu." kata Liz-san yang berusaha memberikan argumen balasan.
"Laki-laki itu dan teman-temannya menculik kami dengan niat untuk membunuh kami. Dan laki-laki yang mau kubunuh itu, dia bukannya tidak punya senjata. Dia punya pisau lipat di tangannya. Dia mengambilnya setelah kau membuatku tidak bisa bergerak dengan sihirmu. Dan lagi... apa kau tahu jika orang yang membayar mereka adalah salah satu fans fanatikmu?"
Mata Liz-san melebar saat mendengarnya.
Ugh... mata emerald itu! Tidak perduli berapa kali aku melihatnya, aku tidak bisa tidak merasa terpesona.
"Itu pilihannya sendiri! Liz sama sekali tidak melakukan kesalahan apapun!" ujar Eric-sama dengan suara keras yang bisa mengalahkan raungan singa.
Poinnya bukan itu, oke. Aku hanya mencoba menjelaskan jika yang kulakukan hanya membela diri. Tapi sepertinya kata-kataku tidak akan bisa mempengaruhinya.
"Liz-san, kau mungkin benar. Jika kau tidak membalas rasa benci dengan rasa benci lainnya, maka kebencian itu akan kehilangan kekuatannya. Itu mungkin adalah pilihan paling bijak yang bisa diambil seseorang."
Aku menegakkan punggungku dan menjaga agar nadaku tetap terdengar serius dan netral. Saat aku melakukan itu, aku juga menatap Liz-san. Aku harus menjadi wanita paling bermatabat di sini. Dengan begitu mungkin Liz-san akan mendengarkanku. Dia mungkin bisa belajar sesuatu dari kejadian kali ini.
"Tapi pada suatu titik, kau juga harus melihat realita yang ada di depan matamu. Satu-satunya orang yang bisa hidup seperti itu hanya kau, Liz-san." kataku sambil menyeringai ke arahnya,
Komentar
Posting Komentar