NGNL Vol. 6 Chapter 5 Part 6

 Disclaimer: Not mine

XXXXXX

Dengan Stalemartyr yang dipercayakan oleh Ex-Machina di tangannya, Riku berpikir.

Apa yang sedang kulakukan di sini? Menghancurkan game yang sudah pasti kalah dengan rencana gila...

“... Diam. Belum saatnya. Jangan berpikir.”

Riku menghentikan dirinya sendiri dan memperkuat kunci yang ada di hatinya.

Tidak apa-apa. Hatinya masih terkunci rapat. Dia belum selesai... belum... Masih ada banyak hal yang harus dia lakukan. Di suatu tempat yang jauh darinya, Avant Heim masih melayang di langit. Di sana, para mesin sedang berusaha mengalahkan Artosh tanpa membunuh siapapun. Yang harus dia lakukan sekarang adalah menunggu sinyal—dan menarik pelatuk. Kemudian, sebuah suara yang entah darimana datangnya bergema ke seluruh penjuru planet. Wahai surga, bumi, dan seluruh tempat yang ada di antara keduanya—dengarkan. Perintah suara itu. Dengan suara menggelegar yang sangat sesuai dengan statusnya sebagai dewa, Old Deus terkuat itu berkata:

“Jadi inikah kekalahan—aku mengerti. Ini adalah pertarungan yang menyenangkan. Hatiku dibuat mendidih karenanya.”

Old Deus itu terus berbicara seakan berkata, aku yakin kau sedang mendengarkan ucapanku sekarang.

“Wahai makhluk lemah tak bernama—kau boleh membusungkan dadamu karena telah membuktikan jika kau pantas menjadi musuhku.”

Kemudian, di mata kelam Riku, terpantul cahaya putih yang membelah langit merah di kejauhan. Dia mengingat deskripsi Einzig dengan wajah kosong. Itu adalah sinyal mereka, dan artinya para Ex-Machina berhasil memisahkan Artosh dari ethernya.

Setidaknya... itu yang mereka sepakati bersama.

“....”

Sebenarnya Riku tahu—tapi dia tidak mau mengakuinya, karena dia tidak benar-benar mengetahuinya. Dia menggelengkan kepala dan menyentuh pelatuk yang ada di tangannya. Tidak akan ada Ex-Machina yang kembali... Dia tidak tahu apa artinya—bukan begitu.

Teruslah berpura-pura tidak tahu. Sama seperti Artosh yang sudah mengetahuinya tapi sengaja tidak mengatakannya... Aku adalah pembu...

“... Kau terus menahanku selama ini, huh...?”

Riku memeriksa kunci hati yang sepertinya hampir hancur itu, lalu dia mengingat peraturan yang sudah dia buat sebelumnya.

Satu. Tidak ada yang boleh membunuh.

Dua. Tidak ada yang boleh mati.

Tiga. Tidak boleh ada yang tahu.

Empat. Semua cara boleh dilakukan.

... Ya, ada sebuah celah dalam peraturan itu. Dia tidak menyebutkan jika Ex-Machina—Shuvi adalah makhluk hidup, tapi alat. Dan tidak ada seorangpun yang tahu cara keji macam apa yang sudah dilakukan oleh alat itu. Jika dia berpura-pura tidak tahu—maka dia sama sekali tidak melanggar peraturannya. Riku tertawa: Ini yang namanya penipuan tingkat tinggi. Shuvi—salah seorang Ex-Machina—telah jatuh ke dalam premis palsu. Riku mengetahuinya, tapi dia tidak mungkin menolak. Itu adalah harapan dari ‘hati’ Shuvi. Karena gadis itu melepaskan tangannya—kesalahan kecil itulah yang sekarang membuat mereka semua berada di dalam posisi terjepit seperti ini...

Mungkin Riku tidak akan bisa mendapatkan checkmate.

Tapi, langkah yang telah diberikan Shuvi mungkin bisa membuatnya mendapatkan stalemate. Melubangi planet dan menghancurkan papan permainan dalam prosesnya... Dari situlah Ex-Machina menamai senjata ini.

Stalemartyr.

“Sepertinya hasil akhirnya akan seri... Maaf ya, para dewa sekalian...” gumam Riku.

Riku menggenggam pemicu senapan raksasa itu dan menusukkannya ke dalam tanah seperti sebuah paku—lalu dia menariknya. Hasil dari senjata itu langsung bisa dia lihat dengan sangat jelas.

 

Riku bisa merasakan jika senjata itu menyerap semua kekuatan yang ada di langit dan bumi—seluruhnya. Sebuah kumpulan energi—yang tadinya tersembunyi, kini memancarkan cahaya yang sangat terang. 70% dari kekuatan yang bisa menghancurkan dunia itu mulai menghancurkan inti planet ini. Kekuatan itu menyatu menjadi sebuah bilah cahaya dan menusuk inti planet seperti sebuah jarum raksasa. Cahaya itu menusuk inti planet dan menghancurkan semua koridor spirit.

Dari sudut pandang Riku, semua itu terjadi dalam sekejap mata. Tapi, di saat yang bersamaan dia juga merasa jika kunci yang selama ini menjaga hatinya hancur berkeping-keping.

 

“... Apanya yang stalemate dari semua ini....? Bagaimana bisa kau menyebut ini semua seri...?”

Seluruh emosi yang tadi dia tahan sekarang tumpah ruah, matanya kembali bercahaya dan dia meneriakkan semua perasaan yang dia kunci rapat-rapat selama ini. Kuncinya sudah rusak. Perasaan dalam hatinya sudah tidak bisa dibendung lagi.

Berapa banyak yang mati? Para Ex-Machina yang sama seperti Shuvi. Makhluk hidup. Flügel—berapa banyak yang mati!? Riku menipu dirinya sendiri—dengan beranggapan jika semua ini adalah keinginan Shuvi! Pengorbanan terakhir yang harus diberikan pada peperangan yang menginginkan pengorbanan abadi... Riku yang sekarang sangat ingin membunuh Riku yang menyetujui semua alasan tidak masuk akal ini.

Mana bisa ini disebut stalemate? Kau hanya bajingan penakut yang tidak tahu diri! Kau hanya sampah. Kau hanya bisa berkoar jika semua ini adalah keinginan terakhir Shuvi! Tapi kau...! Kau sudah kalah! Dan kekalahanmu sangat menyedihkan... Riku!!

....

“Hei, Shuvi. Apa yang salah dariku...?”

... Ya. Dia tidak perlu bertanya lagi. Dia sudah tahu...

“Hei, Shuvi. Jika kau dan aku adalah satu...”

Ya... Lain kali, aku ingin menang. Shuvi... Bersamamu... Lain kali, tidak akan ada yang mati. Tidak ada seorangpun yang harus mati... Tidak dalam game yang kita mainkan...

 

Kerak planet hancur berkeping-keping, inti planet berhasil dilubangi dan sumber dari koridor spirit berhasil diledakkan. Kekuatan luar biasa yang ditembakkan sebelumnya sekarang mulai meredup. Kekuatan yang bisa merubah dunia itu pun hilang tak bersisa. Dan Riku yang berada di tengah semuanya pun melihatnya.

“... Apa itu....?”

Suniaster.

Sesuatu berbentuk bintang dodecahedron itu memancarkan cahaya cemerlang. Bagian sampingnya dihiasi dengan lambang bintang sudut 5. Suniaster muncul saat semua energi yang keluar mulai menyatu... Huh. Ternyata dia benar-benar muncul di depan pemenangnya... Tapi saat Riku menjulurkan tangan dan hendak meraihnya... Dia tidak bisa melakukannya karena tangannya tiba-tiba menghilang. Riku hanya bisa menundukkan kepalanya dan tertawa getir.

“... Begitu ya. Kurasa aku memang tidak bisa meraihnya...”

Setelah kehilangan kedua tangannya, Riku tidak punya cara untuk meraih Suniaster. Lagipula... dia tidak menang. Di tengah-tengah koridor spirit yang terus mengeluarkan energi tak terbatas, tubuhnya perlahan tertelan, hancur... Dan pada akhirnya inti tubuhnya perlahan menghilang.

XXXX

Kapan semua ini dimulai? Dia akhirnya sadar. Setelah semua yang terjadi, setelah dia menangis tanpa malu... Laki-laki tanpa lengan yang seluruh tubuhnya dibalut perban itu pun menangis seperti anak kecil.

“... Haha... Aku benar-benar... payah...”

Dia sadar jika seharusnya dia bisa menjalani hidup yang luar biasa dan mati dengan cara yang sama. Tapi sekarang, disini... Tidak ada satu kemenangan yang mencatut namanya.

 

Sebuah kematian menyedihkan yang cocok bagi seorang pecundang. Sudah sangat terlambat jika dia merasa malu atau bangga atas semua yang telah dia lakukan.

“Hei, Shuvi... Ada jutaan hal yang kusesali... Maaf karena sudah menjadi suami yang tidak keren.”

Hanya ribuan, bahkan jutaan penyesalan yang muncul di kepala Riku saat ini. Wajah dari orang yang dia biarkan mati muncul satu per satu. Wajah ke-177 hantu yang mengikuti keinginan egoisnya membuat rasa bersalah yang dia rasakan semakin menjadi... Tapi semua itu seakan tenggelam di hadapan sesuatu yang lebih dahsyat... Penyesalan terbesarnya.

Dia tidak tahu harus bagaimana saat memikirkannya, karena itu dia hanya bisa tertawa pelan.

“Aaahh... Sialan... Harusnya aku berlutut dan meminta restu Couron jika itu bisa membuatku memelukmu, Shuvi.”

Riku, perjaka. Usia 20 tahun. Sudah menikah, tapi tidak tahu bagaimana rasa dari sentuhan wanita. Hmmm, saat dipikirkan lagi, bukannya itu kedengaran lumayan keren?

“Yah... Kurasa tidak mungkin... Aku tidak akan bisa melakukannya... haha...”

Sepertinya, hingga akhir Riku sama sekali tidak bisa hidup tanpa harga diri. Kalau begitu... Kenapa tidak melakukannya hingga akhir...? Setelah Riku membuang semua harga dirinya, dia pun berdoa pada sang dewa.

“... Hei, jika dewa benar-benar lahir dari perasaan manusia... Dewa game.”

Jika tangan yang berusaha meraihmu...

“Meski kehidupanku sia-sia, aku akan memberikan segala yang kumiliki. Aku akan berdoa padamu... Kumohon...”

... Adalah milik seorang pecundang yang sudah terlalu kotor untuk menyentuhmu... Jika mereka sudah terlalu kotor oleh darah untuk menyentuh tahta dewa tunggal...

Tolong... Aku memohon padamu... Setidaknya tolong katakan jika hati kami memiliki sebuah arti. Tidak harus aku. Semua orang... Siapa saja... Selama mereka bisa mengakhiri perang ini. Siapapun... biarkan mereka memilikinya... Suniaster... si...a...pa...p...u...n....

Saat kesadarannya mulai menghilang, Riku melihatnya.

“Khh....”

Riku melihat seseorang mendekati Suniaster dengan senyum di wajahnya, dan Riku tidak pernah melihat sosok itu sebelumnya. Sosok itu mengenakan topi besar, pupil matanya berbentuk wajik dan sekop. Anak laki-laki itu tidak terlihat familiar—tapi Riku tahu siapa dia. Itu karena, anak itu selalu dan selalu.... Selalu ada bahkan saat Riku sudah muak padanya karena anak itu selalu mengalahkannya lagi dan lagi dengan senyum lebar dari balik kegelapan.

 

“Ha... hahahahaha..... Ahahahahaha!!”

... Yang benar? Aku sudah tahu. Kau benar-benar ada... dasar sialan...

“Hei... ayo bermain game lagi... Lain kali aku akan menunjukkannya padamu...”

... Bersama dengan Shuvi... aku bersumpah... Aku akan...

...

 

Setelah mengatakannya, seluruh tubuh Riku ditelan oleh cahaya dan menghilang tanpa bekas. Sang dewa—yang lahir dari 2 orang yang mempercayainya, Riku dan Shuvi—dewa terlemah yang pernah ada... Dan juga Old Deus terakhir itu menunjukkan senyum sedih. Sebuah senyum yang seakan terpaksa dia tunjukkan untuk menahan sesuatu dalam hatinya... Dia meraih Suniaster itu dan kemudian...

 

Chapter 5-5     Daftar Isi     Chapter 5-7


Komentar

Postingan Populer