NGNL Vol.7 Chapter 3 Part 3
Disclaimer: Novel bukan punya saya.
Sepertinya baru kemarin Ino pulang dari Oceand, tempat yang
digunakan para Dhampir untuk menjebak mereka. Di Taman Kuil, wanita dengan
telinga dan ekor rubah emas sedang duduk di pagar dan meminum sakenya, sama
seperti hari itu….
“Hatsuse Ino. Jujur saja, aku sebenarnya berpikir jika kami
harus mengorbankanmu.”
Ino yang sudah menghabiskan waktu setengah abad bersama
Miko-sama mengerti apa maksud dari kata-kata itu. Jika itu demi Werebeast…. Miko-sama
tidak akan ragu untuk mengorbankan beberapa untuk mayoritas. Ketegasan dan
kemampuannya yang luar biasa telah berhasil membangun Eastern Union, meski
begitu Miko-sama tetap memiliki perasaan. Semua keputusan yang dia buat
menimbulkan rasa sakit dan huru-hara, akan tetapi dia tidak menyerah. Miko-sama
terus menghadapi apa yang ada di depannya tanpa bergantung pada orang lain.
Tapi di hari itu, dia berkata jika dia hanyalah ‘pecundang’ dan terus
bertanya dimana kesalahan yang telah dia buat. Sejak hari itu, saat dia berkata
bahwa dia sudah melihat akhir dari mimpi yang tidak berkesudahan ini…
“Kau adalah laki-laki yang teguh pada pendirian yang terus
kau pegang selama ini. Mengorbankanmu tidak berarti jika aku…. Apa kau bersedia
memberinya kesempatan?”
Tentu saja tidak mau, pikir Ino. Meski dia tidak bisa
memahami isi kepala Sora, ada satu hal yang bisa dia katakan tentang pemuda
itu. Pemuda itu bukan seseorang yang bisa dipercaya.
“….. jika itu bisa membuat anda bermimpi sekali lagi.” Jawab
Ino sambil menundukkan kepalanya.
Karena sejak hari itu—hari dimana Miko-sama
menunjukkan air matanya dan berusaha menghentikan dirinya agar tidak hancur.
Hari dimana Miko-sama berkata ’Aku akan menunda pertarungan ini’ dan memalingkan
mata dari mimpi yang terus dia kejar—senyumnya berubah kaku sejak hari itu.
Sekarang tidak lagi. sekarang Miko-sama terlihat sama
seperti saat Ino pertama kali bertemu dengannya. Gadis itu sekarang sedang
menatap ke akhir yang belum pernah dia capai dengan senyum yang bisa
mengalahkan kerlipan semua permata yang ada di dunia terpatri di wajahnya.
Gadis yang menunda pertandingan hingga dia mendapatkan
jawaban yang dia cari selama ini….. jawaban yang sepertinya dia temukan dalam
diri Sora dan Shiro…. Dan itu membuatnya bisa bermimpi sekali lagi. Ino yang
sudah menghabiskan lebih dari setengah abad bersama Miko-sama sangat mengerti
akan hal itu.
Atau setidaknya…. Itu yang dia pikirkan…
XXXX
—Nol.
“…. Kalau begitu, sahabatku…. Ini adalah salam
perpisahan untukmu.”
Dua gadis di belakang Sora masih sibuk dengan barang mereka
masing-masing saat Ino mengatakan salam perpisahannya. Sora pun menjawab sambil
mengabaikan apa yang dilakukan oleh keduanya.
“…. Anu, kek…. Aku sebenarnya tidak mau mengatakannya
padamu, tapi itu…”
Kaki Ino menjejak tanah, suara yang muncul berhasil memotong
ucapan Sora, melipat ruang, dan memotong waktu itu sendiri. hukum alam langsung
berbelok saat menerima energi mengerikan dari bloodbreak milik Ino. 100 meter
berubah menjadi 0 meter. 0 detik berubah menjadi 100 detik. Sora, Shiro, dan
Steph memasang ekspresi berbeda di wajah mereka, semua itu karena waktu yang
seakan berhenti saat Ino memperpendek jarak mereka dengan menggunakan
bloodbreak.
Selangkah ke depan. Ino mengulurkan
tangannya.
Hanya itu yang diperlukan agar
kekuatan Ino bisa menghancurkan Immanity. Cakar tajamnya langsung mengayun
cepat ke arah si pemuda.
“… Tidak berguna…. Kau harus memilih genre game mu dengan
baik, kek.”
—Sora, masih tetap berada di luar jangkauannya. Kekuatan
yang mengikat dari 10 Sumpah—kekuatan yang mengatur baik hal fisik dan
parafisik yang ada di dunia—berhasil menghentikan serangan Ino. Setelah
beberapa saat berlalu, waktu akhirnya sadar jika dia harus kembali mengalir.
Segala sesuatu yang dilakukan Ino pun akhirnya membuat sebuah reaksi
beruntun—ledakan, angin puting beliung, getaran udara—semuanya terjadi dalam
waktu yang sama.
“Jika kau ingin bertarung soal gertakan denganku….
Khayalanmu terlalu tinggi.”
Suara Sora terdengar bergetar. Meski begitu, di telinga Ino
kata-kata si pemuda terdengar sebagai ejekan terburuk yang pernah dia dengar.
Ino menyeringai, menurunkan tangannya dan menonaktifkan bloodbreak nya.
“Tidak ada yang spesifik artinya kau bisa melakukan
apapun…. Teori omong kosong macam apa itu!?”
…. Memang benar mereka menyetujui peraturan game yang
berkata jika nyawa mereka bisa ditukar—dan hal itu sudah mengikat mereka….
Tapi…
“Itu artinya semua bisa terjadi…. Kan?”
“…. Hmm, jadi kau tahu. Mungkin aku memang tidak bisa
mengalahkan pikiran seorang iblis?” Ino tertawa. Sora merobek tanaman obat
dengan santai sambil terus mengabaikan Shiro dan Steph yang terdiam di tempat
mereka masing-masing.
Ino tidak bisa menggunakan Tugas ini untuk membunuh Sora.
Dia tahu itu, tapi Shiro…
“……Oh…”
Dia sedikit terlambat menyadari niat asli dari perbuatan
Ino, karena itu dia meletakkan tangannya di dada sambil menghela nafas lega.
“…. Huh? Kalau begitu…. Ino-san, anda…. Tidak berniat
membunuh Sora?”
“Stephanie-jou…. Aku harap anda tidak terlalu
meremehkanku..”
Kepada satu atau siapapun yang masih tidak mengerti arti
perbuatannya, Ino pun berkata:
“Aku, Hatsuse Ino, aku bisa membunuh Sora-sama kapan pun aku
mau!”
“Hei, kakek tua! Aku tahu kau hanya menggertak, tapi
sebaiknya kau minta maaf pada celanaku yang agak basah ini!”
“…. Uh…. Huh? Apa? Tapi…”
Kenapa terus menggertak padahal dia tahu dia tidak bisa
membunuhnya? pikir Steph yang kebingungan. Ekspresi wajah itu membuat
Ino—yang mengatakannya dengan setengah sungguh-sungguh dan setengah
bercanda—merasa sedikit senang.
“Jika aku tidak bisa membunuhnya, tentu Dewa pasti akan
mengizinkanku untuk membuatnya sengsara?”
Tee-hee! Ino
menjulurkan lidahnya keluar. Itu adalah emoji yang sangat tidak cocok dengan
tubuh kekar berototnya.
“…. Kek, kau tidak perlu menjadi tipe yang seperti itu…”
“A-apa…?”
Steph yang kelelahan langsung ambruk ke tanah, tapi gerangan
Sora menahannya untuk tidak pingsan di tempat.
“Jika kami bertiga menyelesaikan Tugasmu, kau akan
kehilangan semua dadu milikmu, kek…”
Sora melihat sesuatu yang dipegang oleh Steph dan kemudian
berkata.
“…. Kau menyadari jika setidaknya ada satu dari kami yang
akan menolak, karena itu kau merencanakan semua ini.”
“……!!!”
Sama seperti Shiro, Steph juga menyobek tanaman obat, dan
sebagai gantinya…
Gadis itu terkesiap saat melihat dadu tambahan yang muncul
di dadanya.
“Dengan kata lain, kau ingin memberikan dadumu padaku agar
kami bisa melanjutkan perjalanan.” Sora menyobek tanaman obat yang ada di
tangannya sambil berkata dengan nada sarkas, “Musclehead tsundere? Tidak….
Tidak ada yang menginginkannya. Itu menjijikkan, jadi berhenti melakukannya,
oke?”
……
……… Hfff. Ino yang kesal hanya bisa bergumam dengan nada
marah.
“Kau bilang kau bisa melihat semuanya…. Itu yang membuatku
marah, monyet sialan.”
Ino sudah menghabiskan 50 tahun lebih bersama dengan Miko-sama,
tapi dia sama sekali tidak tahu apa-apa mengenai rubah emas itu. Apa yang dia
hadapi saat masih kecil, apa yang dia rasakan selama menjadi Miko-sama,
kesedihan apa yang dia rasakan saat dia merasa mimpinya sudah hancur…. Ino sama
sekali tidak mengerti. Dia bahkan tidak tahu jika ada Old Deus yang membantu
Miko-sama…. Dia bahkan tidak pernah memikirkan kemungkinan itu.
Tapi pemuda ini dan adiknya yang seakan bisa melihat semua
itu sepertinya mengenal Miko-sama lebih baik daripada Ino bahkan sebelum
mereka bertemu dengannya. Apa yang membuat Miko-sama menderita, apa
kesalahan yang sudah dibuat Miko-sama, apa yang membuat Miko-sama menangis.
Bahkan….
…. Apa yang membuatnya sekali lagi mengejar mimpinya, mengembalikan
senyumnya…
Itu hanya rasa kesal, kebenaran setengah-setengah. Rasa iri
kekanakan itulah yang membuat Ino tetap menolak keberadaan Sora dan Shiro.
Memang benar, Ino lah yang terlihat tidak begitu memahami
Miko-sama. Tapi ada satu hal yang ku tahu, pikir Ino.
“Jika kau merencanakan sesuatu, itu pasti mematikan dan
menjamin kemenanganmu tidak peduli apa yang terjadi nanti. Itu tuntutanmu,
kan?”
Itu yang akan dilakukan Sora.
Itu yang akan dilakukan semua orang.
Dan itu juga lah yang akan dilakukan Ino…
“…. Kita bisa menyimpulkan jika Miko-sama pasti juga
melakukan hal yang sama…. Benar kan?”
Tepat sekali, ucap Sora lewat seringaiannya. Setelah itu
Sora menyobek tanaman obat yang ada di tangannya. Saat Steph membuka mulutnya
karena kaget, Ino malah tersenyum kecil. Kalau kau memikirkannya lagi, itu memang masuk akal.
Jika ini adalah game yang dimulai dengan persetujuan semua
orang dengan nyawa Miko-sama sebagai taruhannya, maka Miko-sama pasti termasuk
dalam hitungan ‘semua orang’ tersebut…. Terlebih lagi, dengan meminta
mereka percaya pada Sora, Mik-sama pasti berniat untuk…
“…. Miko-sama pasti sangat mempercayaimu. Dia percaya
padamu, Sora-sama dan Shiro-sama…. Lebih dari siapapun…”
Saat Sora selesai memotong tanaman obatnya, Tugas dari Ino
dianggap sudah selesai.
Setelah kehilangan 3 dadunya yang tersisa, badai cahaya
mulai mengelilingi tubuh Ino. Kakek itu kemudian berkata.
“….Cara yang hanya bisa digunakan oleh orang rendahan kotor,
menjijikkan, menyimpang, dan rusak sepertimu, yang wajah dan sifatnya sangat
buruk dan tercela sepertimu—sudah pasti itu mengkhianati dan menipu orang
lain untuk menang.”
“Itu tadi satu…. Bukan, tujuh…. Kata lebih banyak dari yang
kubutuhkan kakek tua.”
“…. Nii…. Apa a-aku…. Wajahku…. Seburuk…. Itu?”
“Aaargh! Shiro! Tentu tidak! Dia sedang menghinaku!”
Tidak ada yang salah dengan wajah Shiro dan Sora terus menegaskan
hal itu pada sang adik. Ino berhenti menyeringai dan menjawab pertanyaannya
sendiri.
“Dan dengan asumsi seperti itu—Miko-sama pasti sudah
berencana untuk menggunakanmu, benar kan?”
Sebuah game dimana para pemain saling bunuh satu dengan yang
lainnya hanya bisa dilakukan dengan persetujuan semua pihak. Satu-satunya
alasan kenapa Ino setuju dengan semua premis itu adalah karena semua premis
lain tidak bisa dilakukan. Di sisi lain, mengenai nyawa Miko-sama yang
dijadikan alat taruhan…
“Jika kau sudah membuat rencana untuk memastikan
kemenanganmu…. Dan berhasil melakukannya…”
Setelah mencerna dalam waktu yang sangat lama, Ino pun
mengatakan motif yang dia pahami.
“Itu artinya Miko-sama juga pasti akan menang…. Itu yang
kupercaya.”
Satu, dua…. Usianya mulai berkurang dan tubuh Ino semakin
mengecil. Mereka semua sudah mengalami hal yang sama beberapa kali, tapi kali
ini proses itu tidak berhenti. Tubuh Ino semakin mengecil hingga sampai di usia
0 tahun—kembali ke masa dimana Ino belum dilahirkan.
Apa yang akan terjadi jika kau kehabisan dadu? Semua orang
sekarang mengetahuinya. Steph yang berdiri di belakang Sora dan Shiro hanya
bisa menutup mulutnya dengan ekspresi wajah takut dan kasihan. Di saat yang
sama Ino berkata:
“…. Menangkan permainan ini. Kalian harus menjawab harapan
milik Miko-sama. Dia sudah mempertaruhkan nyawanya, aku tidak akan menerima
kegagalan dari kalian.”
Ekspresi wajah Ino seakan berkata: Jangan senang dulu. Aku
hanya memilih untuk berhenti di sini untuk membantumu meraih kemenangan demi
mimpi Miko-sama.
“Kau tidak perlu memberitahu kami. Jaga dirimu sendiri kek—maksudku,
nak?”
“…. Hasta la vista, baby.... ah, bukannya aku ingin,
tapi…. Selamat malam….”
Meski itu hasil yang diinginkan oleh Ino, kakak beradik itu
malah mengantar kepergiannya dengan santai tanpa rasa khawatir sedikitpun. Steph
menggeratakkan giginya dan Ino yang sebentar lagi akan menghilang pun bertanya.
“Di saat-saat terakhirku ini…. Bolehkah aku bertanya satu
hal?”
“…. Saat-saat terakhir…. Kalau begitu, itu tergantung dari
pertanyaanmu, kek.”
Dengan sisa waktu beberapa detik yang dia miliki, Ino bertanya:
“…. Kenapa aku…. Tidak cukup…?”
Chapter 3-2 Daftar Isi Chapter 3-4
Komentar
Posting Komentar