NGNL Vol.7 Chapter 3 Part 2
Disclaimer: Not mine
“…. Sudah setengah abad berlalu…. Jadi, Hatsuse…”
Kannagari, ibu kota dari negara para Werebeast—Eastern
Union. Siapa yang bisa membayangkan jika kota mereka mereka akan jadi
semengagumkan ini? Rubah emas itu duduk di pagar kuil sambil meminum sake yang
sudah disediakan. Beberapa saat kemudian dia menggerutu.
“…. Dimana…. Dimana aku membuat kesalahan…?”
Ino tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Miko. Teori dimana
Werebeast akan selalu bertarung sudah dipatahkan. Game mereka dengan ras lain
juga berhasil dikembangkan menjadi pengalaman imersi total yang bahkan bisa
mengelabui para Elf.
“Jika saya boleh berbicara, Miko sama. Saya percaya anda
telah mencapai apa yang tidak mungkin dicapai oleh Werebeast lain, misalnya
mengalahkan…”
“Ini sudah 50 tahun lebih, Hatsuse. Tapi lihat apa yang
terjadi, aku masih terjebak….”
Miko memotong perkataan Ino sambil menertawakan dirinya
sendiri. Miko sudah merusak sumpah yang ada satu per satu sambil terus mengejar
akhir itu…. Tanpa pernah menoleh ke belakang sedikitpun.
…. Kau tidak bisa memimpin hanya dengan basa-basi semata.
Untuk meringankan diskriminasi di antara suku-suku, para Werebeast mengadopsi
kebijakan yang merendahkan suku lain. Situasi dimana mereka harus mengabaikan
beberapa orang untuk kepentingan mayoritas sudah terjadi berkali-kali hingga
jumlah korbannya tidak bisa dihitung lagi. Sekarang Miko bahkan harus
menggunakan usianya sendiri. Usianya yang harusnya bisa mencapai 200 tahun
hanya tersisa kurang lebih 10 tahun saja sekarang.
“…. Ini tidak akan bisa membawa kita kesana, ke arah sumpah
yang kuinginkan, tanpa ada orang yang dikorbankan…”
Miko menyadari jika semua yang mereka lakukan hanya merubah
siapa yang dikorbankan.
“Aku sudah salah…. Mungkin yang salah adalah langkah
pertama…. Tipuan yang kugunakan itu salah.”
Ino masih belum bisa memahaminya.
“Tapi tetap saja…. Apa yang harus kulakukan….? Aku
tidak tahu…”
Miko hanya tertawa sambil memainkan pion prajurit yang ada
di tangannya—pion ras milik Werebeast.
“Karena itu—ini adalah akhir dari mimpiku.”
Miko melempar pion itu seakan berkata jika dia tidak lagi memiliki
hak untuk meraih mimpi yang dia buat di hari itu. Tapi laki-laki yang terus
berada di sisinya selama lebih dari 50 tahun itu merasa keberatan.
“…. Omong kosong apa
yang anda katakan. Dengan wajah seperti itu, mereka tidak akan bisa meyakinkan
siapapun.”
“…. Jika begitu…. Karena itu—aku akan memilih kata-kata yang
lebih cocok untuk seorang pecundang.”
Miko menggigit ujung bibirnya dan memaksa dirinya untuk
tersenyum. Dia memiliki wajah seperti seorang gamer yang masih belum ingin
menyerah.
“Apa yang harus kulakukan? Aku akan menyimpan permainan ini
hingga aku mendapatkan jawaban…. Bagaimana?”
Ino melihat wajah itu untuk yang pertama kalinya. Bukan
wajah menangis atau gemetaran. Itu adalah wajah tenang yang yakin dengan semua
keputusannya.
Karena itu, Ino memutuskan untuk…
XXXX
“…. Di sini kau ternyata…”
Ino yang merasakan keberadaan seseorang langsung menutup
matanya dan kemudian membuka mata sekali lagi untuk melihat kenyataan yang
terjadi saat ini.
Kotak nomor 204.
Ino memotong ingatannya di sini, 52 kotak dari tempat
terakhir dia bertemu dengan Sora. Dia sudah menunggu Sora di kotak yang katanya
akan dituju pemuda itu dengan sabar.
“…. Oh? Apa ini seperti situasi…. Maaf aku sudah
membuatmu menunggu, seperti itu kek?”
“…. Nghh…. Aku tidak pernah ingin…. Melihat…. Kakek ini….
Lagi…”
“Aku sudah lelah dengan semua ini. Tidak bisakah kau
mengalah di game ini? Apa kau akan merasa lebih baik jika aku mati?”
Ino tersenyum ke arah 3 orang yang berjalan menghampirinya.
3 orang yang kurang ajar, pendendam, dan berisik.
“Ya, aku sudah menunggu kalian…. Dan untuk waktu yang cukup
lama.”
“Biarkan aku istirahat…. Kami sudah berjalan 520 km. Harley
kami saja sudah kehabisan gas, pak tua.”
Harusnya aku sudah memikirkan cara agar aku bisa mendapatkan
bensin tambahan, begitu pikir Sora.
Apapun yang terjadi di sepanjang jalan pada akhirnya membuat
Sora menggunakan sebuah topi Jerami, membawa tombak bambu, dan berjalan dengan
nafas terengah-engah. Shiro juga membawa tombak bambu—sama seperti
kakaknya—yang dia gunakan untuk menunjuk Ino dengan wajah seakan dia baru saja
melewati mimpi yang sangat buruk. Di sisi lain, Steph yang bajunya sudah
compang-camping berbaring kelelahan di atas tanah sambil meraung-raung. Dalam
kondisi seperti itu, sebuah Tugas muncul di hadapan ketiganya.
—Cabik barang milikmu untuk keselamatan dunia.
Sora menyeringai saat membaca Tugas dari Ino.
“…Hmm, so each of us
just has to shred some random thing, then we’ll collect three
of your dice,
leaving you with
zero and a
view of the
‘game over’ screen… You waited to see us off, Gramps?”
“…. Hmmm, jadi kami hanya harus membuang satu benda random,
setelah itu kami bertiga akan mendapatkan dadumu, membuatmu kehabisan dadu, dan
melihat layar bertuliskan ‘game over’ di sana…. Apa kau sengaja menunggu kami
hanya untuk mengantar kepergian kami, kek?”
“…. Apa…!?”
Saat melewati kotak 204 dimana Sora dan kelompoknya akan
mendarat dan kemudian melihat tugas yang dia buat, Ino memutuskan untuk
menunggu. Sora mengabaikan reaksi Steph dan keheningan yang tercipta saat dia
sedang menilai situasi. Ino hanya tersenyum saat melihatnya. Hinaan Sora adalah
hal yang wajar karena Ino tidak menuliskan kapan dan apa yang harus mereka cabik.
Sama seperti Tugas Ino yang lainnya, tugas ini juga
merupakan tugas yang gagal.
Bahkan saat tahu jika dia akan kehilangan diri sendiri saat
nyawa Miko menghilang dan percaya jika Sora adalah pembunuhnya. Ketidakcakapan
seperti itu tidak bisa dimaafkan, karena itu Ino tidak pernah mencoba mencari
pembenaran.
“Aku merasa malu. Aku harusnya bisa berpikir jernih dan
akurat untuk menghabisimu, tuan.”
“Hei, pak tua, bukan hal itu yang harus kau sesali! Dan berhenti
mengucapkan keinginan mu untuk membunuhku, oke? Kau bisa membuatku menangis!” Sora
meraung dengan air mata mengalir dari matanya karena intimidasi yang diberikan
oleh Ino.
—Yam itu adalah Tugas yang tidak menunjukkan spesifikasi
apapun.
—Tapi, Tugas itu masih bisa dilakukan, karenanya itu tugas
yang valid.
—By all accounts, it should
have been utterly meaningless.
—Dengan kata lain, harusnya tugas itu adalah tugas
yang tidak berguna.
“Sora-sama…. Atau mungkin seharusnya aku bertanya pada Shiro-sama?”
Ffp…. Ino menurunkan pusat gravitasi tubuhnya sambil
menunjukkan taring dan cakarnya.
“Anda mengingat setiap kata dalam peraturan game ini, bukan
begitu…?”
Semua orang yang melihatnya pasti berpikir jika Ino sedang bersiap
untuk bertarung. Shiro mengerutkan alisnya karena merasa curiga—tapi itu
hanya terjadi selama beberapa detik.
“ ?!”
Mata gadis kecil itu langsung membelalak, wajahnya menjadi
pucat pasi seakan darahnya menghilang entah kemana. Beberapa saat kemudian dia
membuka tasnya.
07: Pembawa dadu yang
mendarat di kotak dengan Tugas bisa dipaksa untuk melakukan instruksi apapun.
Tugas dari game ini memiliki kekuatan mengikat meski isinya menyalahi
10 Sumpah. Memaksa seseorang melakukan sesuatu pada dasarnya adalah
perbuatan yang melanggar hak orang lain. Meski begitu jika kekuatan mengikat itu aktif, itu hanya
bisa terjadi jika mereka semua sudah menyetujuinya. Karena itu, meski ini
memang tidak berhubungan secara langsung—mereka masih bisa mengambil nyawa
milik orang lain. Jika waktunya dibuat menjadi spesifik—misalnya ‘Segera bunuh
dirimu sendiri’—mereka pasti akan mati. Itu sama seperti jika seseorang
bertanya ‘Bolehkah aku membunuhmu?’ dan lawan bicara mereka menjawab, ‘Kenapa?
Tentu saja boleh.’. Itu artinya….
“Sekarang kau bisa melihatnya. Meski ini adalah Tugas yang
bodoh…. Selama aku masih ada di sini…”
Di detik itu juga, bumi langsung berguncang dan udara
terbelah. Debu yang berterbangan mengganggu penglihatan Sora dan kelompoknya.
Kapan mereka bisa membuka mata mereka kembali…
“….. Aku akan mencabik barangmu, Sora-sama…!”
Hewan buas bermata merah dan memancarkan darah itu pun
menunjukkan taringnya—jujur saja dia terlihat sangat berbahaya. Shiro yang
sudah menduga hal ini akan terjadi pun langsung merogoh tas nya. Ino yang
melihat hal itu hanya berkata:
“Aku akan memberimu kemudahan.”
Jika Sora dan kelompoknya bisa menemukan sesuatu untuk dicabik—atau
dengan kata lain menyelesaikan tugas ini—mereka bisa menghentikan tindakan
pembunuhan yang ingin dilakukan Ino.
Tapi.
“Kira-kira…. Mana yang membutuhkan waktu lebih lama…”
“Kalian mencabik sesuatu…. Atau aku menghitung 1 sampai 5
dan kemudian mencabik sesuatu dari tubuhmu, Sora-sama?”
—Lima.
“Uuuh…. Eerr…. Apa artinya ini?”
“Cepat…. Kita harus…. Mencabik sesuatu…. Sebelum…. Nii
mati…!”
Perintah tiba-tiba dari Shiro berhasil membuat Steph
tersadar. Sama seperti Shiro, gadis itu juga langsung mengacak-acak tasnya
sambil berteriak.
“Kenapa? Hei bodoh, dia selalu menuliskan kata ‘mati’ di
semua Tugasnya sejak awal. Dia serius ingin membunuhku di permainan ini….
Maksudku, aku tidak berpikir dia menyukaiku, tapi apa yang sudah kulakukan
hingga dia sebenci ini padaku!?”
“Oh, ya ampun! Tunggu. Bukan itu inti pertanyaanku!
Ayolah…!”
“…. Ayolah? Ayolah apa?”
—Empat.
“Lihat kakek itu. Jika kita menyelesaikan Tugas ini,
dia lah yang akan mati. Kita ada di perahu yang sama.”
“Kalau begitu lihat dirimu sendiri! Kenapa kau terlihat
tenang?”
Dua gadis itu langsung mengambil makanan yang mereka
dapatkan di penginapan dan langsung merobeknya dengan cepat. Di sisi lain, Sora
menghela nafas panjang—seperti orang yang sudah lelah dengan hidup—sambil
menatap Ino yang berdiri agak jauh darinya.
“…. Yah, tidak ada yang bisa kita lakukan. Sejak awal kita
tidak punya cukup waktu.”
—Tiga.
Setelah membengkokkan hukum alam dengan bloodbreak nya,
hitungan sampai 5 terasa sangat lama bagi Ino. Shiro dan Steph yang sedang
mengacak-acak tas mereka terlihat seakan tidak bergerak sama sekali. Saat dia
menatap Sora yang balik menatapnya dengan tatapan tenang, sebuah ingatan muncul
dalam pikiran Werebeast tua itu.
Chapter 3-1 Daftar Isi Chapter 3-3
Komentar
Posting Komentar