ORV Chapter 344: Episode 64 – A Road That Isn’t a Road (5)

 Disclaimer: Novel ini bukan punya saya


Aku mencoba membuat Fourth Wall memakan jiwa Yoo Sangah. Aku menggunakan metode ini karena dulu ibu pernah dimakan oleh Fourth Wall. Saat itu ibu dimakan oleh Fourth Wall ketika sebagian jiwanya rusak. Saat Fourth Wall memuntahkan ibu keluar, jiwa yang rusak itu telah kembali sempurna. Terlebih lagi, ada ‘perpustakaan’ di dalam Fourth Wall, karena itu ini adalah cara yang layak dicoba.

< Ti dak ma u. >

Fourth Wall membaca niatku, tapi dia tidak mau menurut. Fourth Wall menatap jiwa Yoo Sangah yang berhamburan dan kemudian berkata dengan marah.

< A ku ti dak ma u me ma kan nya. >

“Makan.” Energi kejut yang dipancarkan oleh Fourth Wall membuat tubuhku bergetar hebat. Akan tetapi aku tidak menyerah. “Jika kau tidak memakannya, aku akan mematikan skillmu.”

Ini adalah ancaman terakhirku. Pada dasarnya Fourth Wall adalah skill dan aku bisa mematikannya kapanpun aku mau. Dari kejadian-kejadian sebelum ini, Fourth Wall tidak suka saat aku mematikannya. Kalau begitu sekarang juga…

< La ku kan sa ja ka lau kau bi sa. >

Sepertinya dia yakin aku tidak bisa melakukannya.

< Ji ka ka u me ma ti kan di ri ku, wa ni ta i tu ti dak a kan bi sa ber ta han. >

Aku menggigit bibirku.

< Ter le bih lafi, me ma ti kan ku a kan mem bu at se mu a kon ste la si bi sa meng e ta hu i se mu a in for ma si yang ka u pu nya. >

[Ada banyak konstelasi yang memperhatikanmu!]

[Beberapa konstelasi meragukan eksistensi dari ‘dinding’ yang kau miliki.]

Fourth Wall sadar jika aku tidak ingin menunjukkan informasi yang kumiliki. Dan jujur, aku tidak memiliki barrier mental selain Fourth Wall. Jika ada konstelasi tingkat tinggi yang menatapku saat Fourth Wall menghilang, aku mungkin sama tidak berdayanya seperti seorang bayi yang baru lahir.

Aku menatap dinding itu selama beberapa detik dan kemudian berkata, “Kalau begitu aku akan menghancurkannya.”

< A pa? >

“Aku akan menghancurkan sebagian dinding dan memaksamu memakannya.”

Fourth Wall bukan makhluk nyata. Akan tetapi, aku masih bisa memukulnya. Aku mengepalkan tanganku dan memukul dinding yang ada di depanku. Seluruh ruangan bergetar saat aku memukulnya, tapi orang-orang yang ada di luar tidak berteriak ataupun berlari masuk ke dalam.

Aku memukulnya sekali lagi. Tetap tidak ada yang terjadi.

< I ini si a si a. >

“…”

< Ka u su dah ter la lu ba nyak me la ku kan pe la ngga ran ha nya un tuk me nye la ma t kan Yoo Sa ngah. >

Aku memikirkannya. Seperti yang tadi kukatakan, Fourth Wall bukan makhluk nyata. Itu adalah skill yang tiba-tiba aktif dalam pikiranku. Kalau begitu…

Aku memusatkan tatapanku pada satu titik di dinding itu. Percikan cahaya memenuhi ruangan hingga membuat Lee Jihye yang mencoba masuk langsung terpental beberapa meter.

< Ja ng an! >

Aku bisa melihat retakan kecil di pojokan Fourth Wall. Seperti yang kuduga. Hingga sekarang aku berpikir jika skill adalah sesuatu yang bisa diaktifkan dan dimatikan sesuka hati. Mungkin ‘skill’ memiliki fase pertengahan di mana dia tidak aktif tapi juga tidak mati. Dengan kata lain…

Bagaimana jika aku bisa mematikan ‘sebagian’ skill ini? Dinding di depanku retak dengan mudah dan tidak lama kemudian muncul sebuah lubang kecil di sana. Di baliknya aku merasa seperti sedang melihat sebuah lubang hitam tak berujung.

Dalam sekejap, lubang itu langsung menyerap cerita-cerita yang ada di sekitarnya layaknya sebuah black hole. Cerita milik Yoo Sangah juga ikut terserap masuk ke dalam dinding.

< Hen ti kan….! >

Percikan cahaya yang cukup besar menabrak tubuhku dan aku mengerang kesakitan. Bagai probabilitas mulai berhembus melalui dinding. Aku bisa mendengar suara semua anggota partyku dan tatapanku langsung memutih.

Dalam kegelapan, Yoo Sangah akhirnya sadar. Dia membuka matanya, tapi hanya ada kegelapan di sekitarnya. Dalam ruang yang tidak mengizinkan setitikpun cahaya mengenai tubuhnya, Yoo Sangah tiba-tiba menyadari sesuatu.

Dia… belum mati? Scene terakhir yang terakhir dia lihat muncul di kepalanya. Ada badai probabilitas yang terjadi dan Kim Dokja berteriak karena dia mencoba menyelamatkannya. Lalu dia merasa jika ingatannya terserap ke sebuah tempat yang tidak dia ketahui…

Tidak ada yang psati di sini.

Yoo Sangah memeriksa badannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Mata, bibir, lidah, telinga, tangan, kaki, lutut… tidak ada sensasi yang bisa dia rasakan. Seakan seluruh tubuhnya telah lumpuh dan tidak bisa digerakkan.

Apakah hanya jiwanya yang tersisa?

Yoo Sangah mencoba tetap tenang dan menelaah apa yang sedang terjadi padanya. Dalam novel karangan Haruki, orang-orang berubah menjadi ide adalah hal biasa. Ini sudah cukup. orang mati berubah menjadi jiwa…

…. Menakutkan. Sendirian dalam kegelapan terasa sangat menakutkan. Tidak ada sensasi yang bisa dia rasakan. Dia tidak tahu apakah dia masih ada atau tidak. Yoo Sangah mencoba untuk tidak jatuh dalam perangkap pikirannya sembari mengingat kembali buku-buku filosofi yang pernah dia baca.

< Aku berpikir. Karena itu aku ada. >

Itu adalah tulisan dari Maksim René Descartes. Itu adalah ucapan yang sangat terkenal hingga dia merasa malu saat mengutipnya. Tapi, bagi Yoo Sangah, itu adalah garis penyelamatnya. Setidaknya dia tahu dia ada meski dalam kondisi seperti ini. Beberapa saat kemudian, ada pikiran mengerikan yang muncul dalam kepalanya. Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang tidak berpikir? Jika dia berhenti berpikir di dalam kegelapan ini…

Karena itu Yoo Sangah terus berpikir tanpa henti. Agar dia tidak menghilang, dia mengingat semua hal yang paling ingin dia hindari.

< “Sangah.” >

Sebuah suara muncul dalam pikirannya, lalu diikuti sebuah wajah. Itu adalah wajah yang dia kenal. Anggota keluarganya sebelum ‘skenario’ dimulai. ayahnya yang seorang hakim ternama dan kakak-kakak lelakinya yang bekerja sebagai dokter. Yang terakhir adalah ibunya yang lahir dari keluarga ningrat.

< “Jangan melakukan hal-hal yang terlalu mencolok.> >

< “Orang-orang yang bukan dirimu akan melihat apa yang kau miliki.” >

< “Apanya yang empat bahasa? Kau hanya perlu menjadi gadis manis.” >

Yoo Sangah melihat semua kalimat itu dan kemudian tersenyum getir.

< “... Kau mau masuk ke perusahaan game? Kau tidak menikah dengan presdirnya?” >

Mungkin dia sudah hidup dalam sebuah ‘skenario’ bahkan saat skenario itu belum dimulai. Tidak ada orang yang menyebutnya sebagai skenario. Tapi, jika ada dokkaebi yang mau menamai skenario itu, mungkin namanya akan menjadi ‘Deklarasi Kemandirian’.

< Aku pegawai baru di sana.” >

Setelah masuk ke dalam perusahaan game dan menjadi mandiri dalam rumahnya sendiri, kehidupannya mulai berubah. Yoo Sangah bertemu dengan orang yang sangat menarik.

< “Yoo Sangah-ssi. Apa kau punya charger smartphone?” >

Dia adalah laki-laki berwajah tirus yang ingin meminjam charger nya.

< “Aku punya janji penting jam 7 nanti, tapi baterai smartphoneku sudah habis.” >

Dia adalah orang yang menjalani interview bersamanya, dan dia adalah orang paling tidak kooperatif pada semua hal di perusahaan ini.

< “Aku akan menghadiri seremoninya, tapi aku harus pergi jam 7 tepat.” >

Dia adalah orang pertama yang selalu pulang tepat saat jam kantor selesai.

< “Aku tidak akan ikut piknik. Aku paling tidak suka naik gunung.” >

Laki-laki itu terasa bagai hantu yang tidak ada di mata orang lain. Dia adalah laki-laki yang selalu menatap layar smartphonenya tanpa henti.

< “... Yoo Joonghyuk, bajingan itu mati lagi.” >

Selainitu, Yoo Sangah mungkin juga sudah melakukan sesuatu yang tidak biasa juga. Dia menaruh sesuatu yang tidak seharusnya ke dalam makanan dan minuman milik seorang bos yang mengambil proyek yang sedang dikerjakan oleh bawahannya. Atau mungkin dia mencampurkan lada ke dalam kopi seorang manajer yang menyuruh para bawahan untuk membuatkannya.

< “Uweeek! Apa ini!? Kenapa kopinya terasa seperti ini!?” >

Itu adalah cerita di balik kelahiran event historis di Mino Soft. Nantinya kejadian itu dikenal sebagai ‘Insiden Ruang Istirahat’.

Yoo Sangah menuangkan lada ke dalam bubuk kopi yang sudah dihaluskan dan dia merasa puas setelah melakukannya. Perusahaan pontang-panting mencari pelakunya. Dia adalah seorang kriminal yang bahkan tidak bisa ditangkap oleh staf keamanan.

< Yoo Sangah. Aku masih ingat. >

Di sebuah perusahaan di mana semua orang pergi untuk bekerja. Sebuah smartphone menyala redup dari balik lemari yang ada di ruang istirahat.

< Kim Dokja ada di sana. >

Tidak peduli apakah dia sedang menuangkan lada atau garam, cahaya itu tetap menyala dan menoleransi apa yang sedang dia lakukan. Seakan apa yang terjadi di balik lemari itu tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya.

< Mungkin harusnya saat itu aku berbicara padanya. >

Kenapa dia tetap diam bersembunyi di balik lemari? kenapa dia tidak melaporkan apa yang sudah dia lakukan? Dan kenapa dia berkata, “Tidak ada orang di sini.”? Kenapa dia mengubah arah CCTV agar tidak menyorot ruang istirahat? Kenapa…. dia selalu menatap layar smartphone itu dengan berbagai macam ekspresi?

Area di sekitarnya menjadi terang dan tubuhnya mulai mendapatkan kembali sensasi yang sempat menghilang.

[Sosok yang sangat kuat tidak membiarkan ‘ceritamu’ hancur berkeping-keping.]

[Seseorang yang menyukai kerapihan tidak layak mendapatkan ceritamu.]

Lalu sebuah suara tiba-tiba muncul.

< “Lihat, ini yang namanya ‘tarik ulur’.” >

< “Tidak begitu. Aku selalu memikirkan hal itu setiap kali selesai menonton film dari Bumi…” >

< “Bukannya menjadi satu juga sebuah bentuk dari hasrat itu sendiri?” >

Yoo Sangah perlahan membuka matanya dan menemukan 3 makhluk yang sedang mengelilinginya. Ada makhluk mirip cumi-cumi yang memakai kacamata. Lalu laki-laki tua dengan rambut beruban dan punggung menekuk ke depan. Lalu yang terakhir, sosok cantik dengan atmosfer aneh yang sulit ditebak gendernya.

Saat Yoo Sangah melihat sosok terakhir itu, dia langsung bangun dan berteriak kaget.

< “Kau!” >

< “Kau sudah bangun, pustakawan baru.” >

Sosok cantik itu, Nirvana tersenyum. Yoo Sangah tidak tahu apa yang sudah terjadi. Kenapa sosok itu ada di sini?

Nirvana menatapnya dan kemudian berkata, < “Penjelasannya cukup panjang. Kau akan segera mengetahuinya. Kau beruntung. Kau adalah orang pertama yang masuk ke dalam perpustakaan ini sejak aku tinggal di sini.” >

Kombinasi huruf-huruf  muncul di belakang sosok-sosok itu.

[Selamat datang, pustakawan baru Yoo Sangah.]

Yoo Sangah menatap ke sekeliling. Cahaya redup dari beberapa lilin menerangi kegelapan yang mengelilingi mereka.

Perpustakaan…. Ada begitu banyak rak penuh buku yang berjejer-jejer di sekelilingnya. Saat Yoo Sangah melihatnya dengan seksama, dia merasa seakan jajaran rak buku itu tidak memiliki ujung. Sudah lama sejak dia terakhir kali melihat perpustakaan seperti ini.

Kata-kata Kim Dokja muncul dalam pikirannya. Jika dia bisa hidup lagi, apa dia mau membaca buku-buku yang bukan karya para penulis itu?

…. Apa maksudnya? Yoo Sangah tidak tahu tempat apa ini. Dia tidak tahu kenapa Kim Dokja mengirimnya ke tempat ini, atau apa yang laki-laki itu inginkan. Meski begitu Yoo Sangah memiliki sebuah tebakan. Jika dia membaca semua buku ini sekarang, dia mungkin bisa mendapatkan beerapa jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang dia miliki.

< “Apa kau akan membacanya?” >

< “Ya?” >

< “Jika kau membacanya, kau mungkin akan merasa kasihan. Itu mungkin sebuah kenyataan yang tidak bisa kau terima.” >

Tangan Yoo Sangah yang sedang meraih sebuah buku langsung berhenti. Dia berhenti bukan karena perkataan Nirvana. Dia berhenti karena laki-laki yang sangat dia kenal tiba-tiba muncul dari dalam kegelapan.

“Dia tidak akan menjadi pustakawan.”

Kim Dokja ada di sana.

***

< “Dokja-ssi….?” >

Aku merasa sangat lega saat melihat Yoo Sangah yang balik menatapku. Aku berhasil. Entah bagaimana prosesnya, aku berhasil menjaga keutuhan jiwa Yoo Sangah. Jiwa tubuhnya memang masih rusak, tapi kekuatan yang mengalir di dalam perpustakaan ini perlahan mengembalikan kondisinya seperti semula.

Aku membungkukkan kepala pada Yoo Sangah dan berkata, “Maaf karena sudah membawamu ke tempat kumuh seperti ini. Tolong bertahan sebentar lagi. Aku akan segera mengeluarkanmu dari sini.”

< “Apanya yang tempat kumuh? Dasar laki-laki bodoh yang tidak tahu spiritualitas masa muda.” >

“Sudah lama tidak bertemu, Nirvana.”

< “Bagaimana caramu datang ke sini? ‘Dinding’ ini pasti tidak memperbolehkannya.” >

“Aku menemukan satu trik.”

Nirvana menunjukkan ekspresi yang sulit digambarkan.

< “Aku tidak tahu apa yang sedang kau pikirkan, tapi aku yakin itu adalah keputusan yang buruk. Kau memiliki dinding ini karena suatu alasan.” >

“Kurasa juga begitu.”

Fourth Wall sedang ngambek dan menolak untuk berbicara padaku, jadi kurasa dia memang sangat marah. Angin yang sangat kencang tiba-tiba mengenai wajahku dan aku bisa merasakan emosi Fourth Wall dari sana. Akan tetapi sekarang bukan waktu yang tepat untuk memikirkannya.

< “Jika dinding ini menginginkannya, dia bisa mengubah satu atau dua pustakawan menjadi debu cerita.” >

“Aku sudah bilang, dia tidak akan menjadi pustakawan.”

< “Omong kosong apa yang kau katakan? Kalau kau mengirimnya ke tempat ini, tentu saja…” >

“Aku akan membawanya keluar lagi.”

Nirvana mengernyitkan alisnya seakan dia baru saja mendengarkan sesuatu yang sangat tidak masuk akal.

< “Kau pikir dinding ini akan mengizinkanmu melakukan itu? Katakanlah itu memang bisa dilakukan, tubuh wanita itu sudah mati. Dia tidak bisa kembali ke dunia nyata jika tubuhnya sudah mati.” >

Aku menatap Nirvana. Tiba-tiba ekspresinya menjadi aneh.

< “Atau mungkin, kau….” >

Sekarang dia adalah bagian dari Fourth Wall dan mungkin dia bisa membaca pikiranku. Bibirnya bergetar dan dia berteriak, < “Tidak! Meski dinding ini mengizinkannya, aku tidak akan mengizinkannya!” >

“Nirvana.”

Nirvana pasti tahu. Ada banyak macam ‘atribut’ di dunia ini, tapi hanya ada dua atribut ‘imortalitas sempurna’ yang sejauh ini sudah kuketahui. Yang pertama adalah atribut regressor milik Yoo Joonghyuk dan yang kedua adalah…

“Di mana sponsormu, Guardian of the Mandala?”

Reinkarnator pertama. Sekarang waktu yang tepat untuk bertemu dengan protagonis ketiga dari cerita ini.

 

Chapter 343     Daftar Isi     Chapter 345


Komentar

Postingan Populer