Mahouka Vol.13 Chapter 1 Part 3

 Disclaimer: Novel bukan punya saya.


Osis memiliki banyak pekerjaan selain mengurus persiapan kompetisi 9 sekolah. Tidak hanya sekolah sihir saja, hampir semua sekolah di zaman ini memberikan tugas operasional mereka pada osis. Jika pekerjaan itu tertunda, maka operasi sekolah juga akan terganggu. Itu artinya semua anggota osis harus melakukan semua pekerjaan minimum, bahkan dalam situasi seperti ini. Jadi ketika Honoka datang terlambat karena memiliki tugas lain yang harus ia kerjakan dan Izumi yang datang terlambat karena harus mengikuti kelas praktik terlebih dahulu sampai di ruang osis, mereka bisa melihat Miyuki dan Tatsuya yang sudah mulai mengerjakan tugas mereka.

Tapi Azusa… dia masih mengubur wajahnya di balik meja.

Dan Isori… berusaha keras agar Azusa mau mengangkat wajahnya dan berhenti meratapi nasib.

“Jika itu memang sudah ditetapkan kita tidak bisa apa-apa… Kita hanya perlu memilih ulang para peserta untuk kompetisi tahun ini.”

“...”

“Untungnya kita masih punya waktu! Jadi semua persiapan kita tidak terbuang percuma!”

“...”

“Dan aku yakin jika kita bisa memikirkan suatu rencana untuk pertandingan Steeplechase! Ayolah Nakajou, untuk sekarang…”

Isori berjalan ke belakang kursi Azusa dan mencoba menepuk bahu gadis itu dengan pelan sebagai tanda peduli, akan tetapi…

“Kei?” sebuah suara dengan nada dingin tiba-tiba muncul dari arah belakangnya.

“... Kanon?”

Isori langsung terdiam dan menatap ke arah pintu penghubung ruang osis dan komdis. Seperti yang dia duga, tunangannya sedang berdiri di sana dengan raut marah.

“Keeeeeiii…” ucap Kanon perlahan. “Apa yang ingin kau lakukan kepadanya?”

“Eh? Tunggu, apa maksudnya…?”

“Aku lihat kau sedang mendekati Nakajou. Apa yang sedang kau rencanakan, hmm?”

Kanon memasang sebuah senyum palsu saat dia melihat tunangannya sedang mendekati Azusa.

“Kau salah paham. Semua yang kau pikirkan itu tidak benar, oke!”

Isori menggelengkan kepalanya kuat-kuat sedangkan Azusa mulai bergerak ke pojok ruangan. Sang ketua osis sepertinya memilih untuk tidak menghiraukan keributan itu dan lebih memilih untuk mengkhawatirkan kompetisi yang akan dilakukan sebulan lagi. Untuk anggota osis lainnya, Izumi misalnya, dia menatap Isori dengan tatapan sebal karena dia berpikir jika pemuda itu hanya sedang mencari alasan. Tapi karena mungkin dia merasa lelah sendiri dia langsung memalingkan mukanya dari sepasang kekasih yang sedang ribut itu dan kembali mengerjakan tugasnya… lebih tepatnya dia kembali memperhatikan Miyuki yang sedang membaca sebuah dokumen di mejanya.

Bagi Izumi, Miyuki adalah sebuah oasis untuk menyegarkan pikirannya. Kapanpun dia merasa lelah karena semua tugas yang diberikan kepadanya, atau saat menghadapi masalah yang pelik, atau mungkin saat dia sedang kesal, hanya dengan melihat Miyuki saja dia merasa bisa mendapatkan pencerahan. Saat itulah rasa ingin tahunya pada keributan yang mungkin bisa memicu perang dunia itu pun sampai ke titik nol. Mencuri pandang ke arah Miyuki (dalam logika Izumi) adalah hal yang lebih penting, sebuah metode sakral yang bisa mengisi ulang motivasinya yang semakin menipis.

Karena sebuah kebetulan, Izumi yang sedang menoleh ke arah Miyuki, dan Miyuki yang sedang mengangkat wajahnya pun saling bertatapan. Izumi langsung panik dan mencoba mencari alasan, tapi Miyuki hanya tersenyum lembut ke arahnya dan mengalihkan perhatiannya pada Kanon dan Isori. Beberapa saat kemudian dia kembali menatap izumi.

Izumi bisa menebak apa yang dirasakan oleh ‘oneesama’ yang sangat dia kagumi itu, dan dia menggunakan tatapan matanya untuk bertanya soal apa yang harus mereka lakukan. Atau setidaknya itu yang ingin disampaikan oleh gadis itu. Miyuki pun hanya menggelengkan kepala karena tidak ada yang bisa mereka lakukan untuk Kanon dan Isori. Setelah itu dia memberikan senyumnya sekali lagi pada Izumi.

XXX

Hari ini, Tatsuya dan yang lain mengunjungi kafe Einebrise seperti biasa. Kelompok ini terdiri dari Tatsuya bersama 7 orang siswa kelas 2 biasanya dan Minami, satu-satunya murid kelas 1 yang bergabung dengan mereka. Izumi yang berjalan ke arah stasiun bersama mereka sepertinya ingin ikut mampir tapi kakak kembarnya Kasumi terlihat tidak begitu ingin melakukannya, karena itu kembar Saegusa memilih untuk langsung pulang ke rumah mereka. Minami sendiri merasa tidak terlalu nyaman saat sedang berkumpul dengan para kakak kelas, tapi loyalitasnya pada Miyuki tidak memberinya pilihan lain.

Mikihiko yang mengajak mereka untuk mampir ke kafe hari ini. Teman-temannya mungkin berpikir jika jarang-jarang Mikihiko mengajak mereka mampir seperti ini, karena itu mereka berpikir jika pemuda itu ingin membicarakan sesuatu yang penting.

Seperti yang mereka duga, setelah minuman mereka sampai di meja, Mikihiko langsung bertanya pada Tatsuya.

“Tatsuya, apa benar tahun ini ada perubahan pertandingan di kompetisi 9 sekolah?”

“Ternyata beritanya menyebar dengan cepat.” timpal Tatsuya dengan wajah masam. “Darimana kau mendengarnya?”

“Ketua osis dan Isori-senpai.”

Yang menjawab pertanyaan ini adalah Shizuku, tapi Tatsuya tidak begitu mempermasalahkannya. Dengan kata lain, mereka berdua menguping pembicaraan Azusa dan Isori dari dalam ruang komdis.

“Tapi kami tidak tahu detailnya.” ucap Mikihiko.

Erika yang merasa tertarik pun bertanya, “Tunggu. Pertandingan apa yang dirubah? Apa saja?”

“Kami mendapatkan pemberitahuan hari ini. Pihak administrasi membatalkan pertandingan Speed Shooting, Cloudball, dan Battle Board lalu menambahkan Rower and Gunner, Shields Down, dan Cross-Country Steeplechase.”

“Pertandingan macam apa itu?” tanya Erika.

Setelah Tatsuya memberinya penjelasan yang sama dengan penjelasan yang dia berikan pada Miyuki, Erika pun menyeringai.

“Heeh… kedengarannya menyenangkan. Terutama Shields Down.” katanya dengan nada ceria.

“Tunggu… benarkah? Kedengarannya itu pertandingan yang agak menakutkan.” timpal Mizuki pelan.

“Ya… Semua pertandingan yang mereka pilih hingga tahun lalu sama sekali tidak melibatkan pertarungan langsung dengan musuh. “Ucap Honoka.

“Bahkan Monolith Code saja tidak seperti itu.” kata Mizuki setuju.

“Tapi sepertinya pertandingan yang paling berbahaya adalah Steeplechase, meski Shields Down kedengaran lebih mengerikan.” tambah Shizuku.

Miyuki mengangguk. “Ya. Oniisama juga berkata seperti itu.”

“Jika di dalam hutan sama sekali tidak ada jalan setapak, bergerak sembarangan malah akan lebih berbahaya. Jika mereka menambahkan rintangan fisik dan alat interferensi sihir, aneh rasanya jika tidak ada peserta yang terluka.”

“Ya. Meski di dalam hutan dan gunung ada jalan setapak yang bisa dilalui, kau tetap membutuhkan orang berpengalaman untuk memimpinmu. Berlomba adu kecepatan di dalam hutan yang tidak kau kenal adalah tindakan yang sangat bodoh.”

Leo dan Mikihiko menyampaikan pendapat mereka masing-masing… lebih tepatnya mereka memberikan kritik negatif yang datang dari pengalaman pribadi.

“Hei, Tatsuya. Bukannya pertandingan baru ini terasa sangat militer sekali?”

Komentar dari Leo seakan mewakili pikiran mereka semua.

“Ya, memang.”

Tebakan mereka tepat 100% dan Tatsuya hanya bisa mengiyakan. “Mungkin karena insiden Yokohama tahun lalu. Orang-orang yang berhubungan dengan JDF menyadari betapa pentingnya kekuatan militer sihir, mungkin itu alasan kenapa mereka berusaha mengubah latihan fisik kita dari dasar.”

“Bukannya mereka malah mengiyakan pandangan para anti-penyihir yang sekarang sedang ramai?” tanya Erika sambil menyeringai.

Tatsuya tidak tersenyum saat menanggapi pertanyaan sinis dari Erika. “Ya. Kau bisa menyebutnya bad timing. Kenapa mereka melakukan perubahan besar sekarang…? Aku merasa mereka tidak perlu terburu-buru seperti ini, apalagi situasi internasional sekarang tidak begitu mendukung.”

Wajah Honoka dan Mizuki terlihat khawatir saat memikirkan hal itu.

“... Bagaimanapun juga, setelah ini kita akan menjadi sangat sibuk.” Tambah Tatsuya yang seakan sedang ingin mengalihkan pembicaraan.

Tapi itu semua bukan perkataan kosong belaka. Hasil dari kejadian hari ini pasti akan memaksanya untuk mengesampingkan aktivitas sepulang sekolah yang menyenangkan untuk beberapa hari kedepan, atau sampai masalah kompetisi 9 sekolah berhasil mereka selesaikan.

XXX

Yang merasa tidak puas dengan perubahan pertandingan pada kompetisi 9 sekolah bukan hanya osis SMA 1 saja. Di mansion keluarga Ichijou, salah satu pemegang gelar 10 Master Clan yang juga murid SMA 3 sedang menerima komplain dari temannya.

“Ini terlalu mendadak… aku tidak percaya ini.”

“Ya.”

“Mungkin mereka memang sudah mengikuti prosedur yang berlaku… tapi mereka tidak bisa merubah pertandingan seenaknya begini. Harusnya mereka memberitahu kita lebih awal.”

“Kau tidak salah.”

“Kita sudah melakukan banyak latihan sejak beberapa bulan yang lalu, jika begini bahkan semua proses fine-tuning yang sudah kita lakukan akan sia-sia…”

“Benar sekali.”

“Kita harus memikirkan ulang semua hal dari awal. Mulai dari siapa yang akan kita pilih sebagai peserta.... Hei, Masaki. Kau dengar tidak!?”

Kichijouji yang sedang mengeluh soal pemberitahuan komite administrasi kompetisi 9 sekolah pun marah-marah saat melihat respon Masaki yang hanya memberikan anggukan dan jawaban singkat.

“Tentu aku mendengarkanmu. Aku sakit hati saat kau pikir aku mengabaikanmu, tahu.”

Masaki yang pikirannya memang sedang tidak tenang malah memberikan respon menusuk pada sang sahabat.

“... Maaf, aku malah marah-marah.”

“Tidak, ini juga salahku. Aku tidak berhak melampiaskan kekesalanku padamu, George.”

Setelah mereka berdua saling minta maaf dan kepala mereka mulai dingin. Suasana berat di sekeliling mereka pun mulai menghilang saat mereka membicarakan tentang kerja keras mereka yang tampaknya sia-sia itu.

“Ngomong-ngomong, mengeluh soal sesuatu yang sudah terjadi tidak akan membawa kita kemanapun.”

“Kurasa kau memang benar.” ucap Kichijouji sambil menghela nafas. “Kita harus memperbaiki daftar seleksi peserta kita, hmm…”

“Ya, tapi… bukannya semua ini bergantung pada sisi mana kau melihatnya?”

Kata-kata Masaki terdengar penuh dengan energi hingga Kichijouji tidak bisa menganggapnya sebagai kata-kata penghibur belaka.

“Apa maksudmu?” tanya Kichijouji dengan wajah setengah serius setengah tidak percaya.

“Semua event yang baru dimasukkan tahun ini adalah event yang berhubungan dengan pertarungan praktis. Harusnya kita lebih unggul dalam hal ini ketimbang SMA 1.”

“Aku mengerti… SMA 1 lebih memfokuskan pada ranking murid dalam standar internasional. Skill pertarungan praktis mungkin tidak menjadi prioritas bagi mereka.”

“Ada beberapa pengecualian seperti Sawaki-san yang ahli bela diri, dan kau tahu siapa. Tapi saat dilihat secara keseluruhan, kita memang memiliki sistem Pendidikan sihir yang lebih bagus dalam masalah bertarung jika dibandingkan dengan mereka. Meski kita hanya bisa membandingkan daftar pesertanya, kurasa kita masih lebih unggul.”

“Ya… kau benar…” ucap Kichijouji setuju. “Memenangkan kompetisi 9 sekolah bukan soal rata-rata peringkat dari pesertanya saja. Yang kita butuhkan adalah poin total yang didapat dari peringkat di tiap event.  Lagipula peraturan tahun ini berkata jika hanya boleh menurunkan 1 atlet solo dan dan 1 pasang atlet ganda di semua even kecuali Mirage Bat. Kunci dari event tahun ini adalah memutuskan siapa yang akan kita tempatkan di event solo dan ganda.”

“Aku mengerti. Seperti katamu, mereka membatasi jumlah peserta tahun ini. Kau benar… memisahkan peserta solo dan ganda mungkin agak sedikit susah. Misalnya, kita ingin mendapatkan kemenangan yang pasti, pilihan paling tepat adalah memasangkanmu denganku. Tapi…”

Masaki tiba-tiba berhenti dan menatap pintu. Tidak ada yang mengetuknya, tapi inderanya tidak bisa ditipu.

“Hai, Shinkurou!”

Beberapa saat kemudian, adik Masaki (dan putri tertua keluarga Ichijou), Akane, masuk sambil memberi sapaan ceria.

“Ayolah… aku selalu bilang untuk mengetuk pintu sebelum masuk, kan.”

Tidak menghiraukan perkataan kakaknya adalah hal biasa bagi Akane. Gadis itu pun mengambil segelas es teh dan satu cup sirup gula, lalu meletakkannya di depan Kichijouji.

“Silahkan, Shinkurou. Kau selalu memakai satu cup sirup gula, iya kan?”

“Uh, terima kasih, Akane.”

“Sama-sama. Kau tidak perlu es teh kan, Masaki? Kau tidak akan mau meminum es teh dari adik lancang yang tidak mengetuk pintu.” ucap Akane dengan wajah datar.

Target dari ucapan sarkas itu hanya menatap Akane dengan wajah cemberut. “... Taruh saja di situ.”

Akane hanya senang menggoda kakaknya. Dia pun menaruh segelas es teh di depan sang kakak sambil tersenyum. Fakta jika gadis itu tidak mengatakan kalimat sarkas lainnya menunjukkan jika dia dia memiliki dan menerima pendidikan yang bagus.

Dan ini adalah bentuk komunikasi yang biasa bagi kakak beradik Ichijou.

“Akane, kau baru pulang?”

Kichijouji juga tidak memikirkan kalimat candaan itu. Sekarang dia lebih fokus pada baju yang dikenakan oleh Akane.

“Mh-hm.”

Setelah menganggukkan kepalanya, wajah Akane terlihat lebih ceria seakan dia baru mengerti maksud perkataan Kichijouji.

“Oh! Ini pertama kalinya kau melihatku mengenakan seragam musim panas, ya.”

Akane memutar tubuhnya sambil terus membawa baki kosong di tangannya. Rok lipit dan kerah sailornya terbuat dari kain tipis yang biasa digunakan untuk pakaian musim panas pun berkibar mengikuti gerak tubuhnya.

“Bagaimana pendapatmu? Apa cocok untukku?”

Senyum lebar Akane terlihat feminim. Saat adik temannya tiba-tiba berubah dari anak kecil menjadi seorang gadis remaja, tentu hal itu membuat Kichijouji terkejut. Meski dia mengerti, kelakuan spontan Akane tetap membuat jantungnya berdegup kencang.

“Y-ya. Baju itu cocok untukmu.” ucap Kichijouji.

“Benarkah? Terima kasih! Aku senang mendengarnya.” ucap Akane sambil tersenyum manis. Jika Kichijouji memujinya setengah tahun yang lalu, gadis itu pasti sudah bertepuk tangan karena merasa sangat bahagia. Meski perubahannya sangat sedikit, pesona Akane masih bisa keluar dengan sangat natural.

Seragam sailor yang dipakai Akane memiliki lengan pendek dengan paduan warna putih dan aqua. Seragam SMP swasta elit dengan warna tradisional itu membuatnya tampak lebih menyilaukan, dan Kichijouji terus menatapnya tanpa mengedipkan matanya…

Tapi tiba-tiba dia merasakan tatapan mata yang dipenuhi kritik dan rasa simpati dari sebelahnya.

“Sudah kuduga, George…” gumam Masaki.

“Bukan begitu!”

Kichijouji mencoba mengelak. Jika mereka hanya berdua saja, reaksinya mungkin tidak akan menimbulkan masalah. Tapi karena ada Akane disini, reaksi seperti itu bukan langkah yang cerdas.

“Hmm... “Akane melirik Masaki dan berkata dengan nada menggoda, “Masaki, apa kau cemburu?”

Siapapun pasti akan merasa marah saat orang yang mereka suka tiba-tiba berkata jika dia tidak punya perasaan apa-apa pada mereka. Usia tidak ada hubungannya dengan ini. Terutama dengan seseorang seperti Akane yang sudah paham dengan apa itu namanya cinta pada lawan jenis.

Tapi mengalihkan rasa frustasinya pada Masaki adalah sesuatu yang kekanakan… atau mungkin itu adalah sentimen seorang wanita yang tidak mau dibenci oleh laki-laki yang disukainya.

“Jangan bodoh.”

Mau yang manapun itu, yang bisa dilakukan Masaki hanya membantahnya dengan cepat. Dia tidak mau menangani hal ini dengan serius, tapi dia tahu jika dia memperlakukan Akane seperti anak kecil maka adiknya itu akan membuat masalah yang lebih besar.

“Hmph. Kau selalu mengelak.”

Hingga detik ini, pertengkaran mereka masih biasa saja. Biasanya setelah pertengkaran mereka sampai di titik ini, Akane akan berkata “Aku tidak akan memberikan Shinkurou padamu!” setelah itu Kichijouji akan mencoba mendamaikan mereka berdua.

“Aku juga mendengarnya, tahu.”

Tapi sekarang, arah pertengkaran mereka sedikit berbeda.

“Dengar apa?” balas Masaki.

Akane menunjukkan senyum puas dan berkata, “Soal kau yang mengajak Shinkurou menjadi pasangan dansamu!”

“Apa!?”

“Huh!?”

Tidak hanya Masaki yang terkejut, Kichijouji juga merasa sangat terkejut saat mendengar perkataan Akane.

“Barusan kau bilang jika kalian berdua akan jadi yang terhebat jika berpasangan, iya kan?”

“Hei, kau menguping…”

“Waah, tidak senonoh sekali.”

Akane memotong perkataan Masaki dan menatapnya kesal.

“Laki-laki berpasangan dengan laki-laki itu sama sekali tidak produktif.”

“Hei, tunggu Akane! Kau salah paham. Bukan itu yang dia maksud!”

Kichijouji yang terpancing perkataan pedas Akane pun mulai membela diri sekuat tenaga. Dalam pikirannya, hidupnya memang bergantung pada jawaban yang harus dia berikan saat ini… setidaknya ini sangat penting bagi kehidupan sosialnya.

Di lain pihak, Masaki sang pemilik kamar langsung membeku di tempat dan tidak menghiraukan alasan yang dikatakan oleh teman baiknya itu.

 


Komentar

Postingan Populer