NGNL Vol.7 Chapter 2 Part 3

 Disclaimer: Novel ini bukan punya saya. Saya cuma nerjemahin aja.



Dengan semua keberuntungan yang dia miliki, seorang laki-laki sedang berlari kencang—lebih kencang dari rengekan Steph—melewati kotak 152 dengan keempat kakinya. Tubuhnya diselimuti aura merah, dia adalah Hatsuse Ino. Dengan 4 dadu di dadanya, usianya saat ini adalah 39,2 tahun. Kabut merah menguar dari tubuhnya, bukti jika dia memakai Teknik Bloodbreak.

“Ya, baiklah. Itu salahku, kurasa? Maafkan aku, aku tidak punya alasan untuk menyangkalnya.”

Warna karat yang menyelimuti seluruh tubuhnya adalah bukti dari nafsu membunuhnya, insting dari makhluk buas yang sedang marah.

Ino merasa marah. Dia tidak pernah merasa semarah ini. 2 langkah sebelum ini, dia berhenti di sebuah kotak, disana dia mendengar suara keras yang berkata:

Potong sesuatu yang ada di antara kakimu dan matilah demi dunia ini. Itu adalah tugas yang dia tulis sendiri—mati. Tentunya, Ino menutup matanya saat mendengar perintah itu—orang yang bersiap membunuh orang lain juga harus siap untuk dibunuh. Dia sudah siap untuk ini, dia tahu jika ini bisa terjadi padanya, tapi saat memikirkan sesuatu-miliknya-yang-mungkin-saja-akan-segera-hilang-setelah-ini, miliknya yang berharga, dia menitikkan air mata. Dia sudah menerimanya, dia menunggu datangnya kematian selama beberapa menit—beberapa jam—dan akhirnya dia sadar jika Tugas yang dia buat tidak bisa memaksanya.

Di waktu yang sama—setelah dia berdoa agar Izuna tidak mendapatkan Tugas ini—Ino merasa sangat lega. Dia berdoa, bersujud setiap jam dan memohon pada Miko-sama. Dia mengakui kesalahannya, menyiksa dirinya sendiri…. Dan untuk pertama kalinya dalam hidup dia meminta dengan wajah bercucuran air mata pada Dewa tunggal. Kau dewa sialan di atas sana, kumohon, untuk kali ini saja, kabulkan doaku dengan benar. Doanya terkabul—Izuna tersayangnya tidak akan mati karena kelalaiannya. Yang Ino dapatkan bukanlah belas kasihan, tapi sebuah LMAO menyebalkan. Karena itu, Ino sadar jika dewa di dunia ini tidak akan mengabulkan doa seseorang dengan cuma-cuma. Sebaliknya, dunia ini penuh dengan kejahatan…. Dan dia benar—memperbaiki dunia ini harus dimulai dengan menyingkirkan monyet yang selalu membuatnya marah—Sora.

Inilah yang Ino pikirkan: tidak seperti dirinya, Izuna lebih cerdas. Dia pasti akan menyadari sifat asli dari peraturan ini dan bisa memenangkan game ini. Itu akan membuatnya tidak perlu susah-susah melenyapkan Sora. Dia sudah membuat keputusan untuk memberikan semua dadunya untuk izuna jika dia mendapatkan kesempatan. Tapi dia tidak perlu melakukannya lagi. Ino menyadari hal itu sambil berlari sekuat tenaga ke arah tujuannya. Jika dia bisa melakukannya, semua permintaan akan dikabulkan—itu artinya…. Dia harus berlari menuju garis finish demi dunia ini. Lenyapnya Sora dari dunia ini!!!

Akal sehatnya berkata jika dia layak mendapatkannya. Dia sudah berusaha membunuh orang lain, jadi ini adalah bayaran yang pantas. Kenapa orang-orang bertarung satu sama lain? Mereka melakukannya demi kedamaian. Bukannya itu sama saja seperti menaruh gerobak di depan kuda? Tapi dalam situasi seperti ini, dia tidak bisa berkata sok pintar. Kenapa dia bertarung? Karena dia bodoh. Badut yang mencocok hidungnya sendiri dan marah saat orang lain memanggilnya badut.

Dengan kata lain:

“Aku tidak tahan untuk menancapkan taringku ke tubuh baumu, dasar monyet sialan!”

Itu…. ya itu…!!

Ini…. Adalah masalah yang berbeda dengan itu…!!

 

“Ah, aku minta maaf—tentu ini hanya basa-basi, kau mengerti kan, Tuan Hatsuse Ino?”

Ino baru saja berlari menembus barrier yang memisahkan masing-masing kotak saat dia menyadari jika Jibril sedang berdiri di sampingnya.

“Hahaha! Kurasa otak burungmu tidak bisa dirubah, tapi apa kau tahu kan kalau burung punya penglihatan yang cukup bagus?”

Meski ino terlihat lebih muda, hanya ada 1 Werebeast laki-laki di dalam game ini. Saat mendengar ucapan sarkas Ino, Jibril menatap sebuah buku dan menganggukkan kepalanya.

“Maafkan aku…. Aku tidak pernah memperhatikan perbedaan antara Werebeast dan anjing. Berkaki dua versus berkaki empat, dan sekarang kau membawa jenis kelamin…. Oh, bagaimana dengan ini? Jika kau tetap berkaki empat selamanya, kita bisa memasukkanmu ke dalam kelompok hewan buas. Dengan begitu kita bisa menyimpan satu slot kosong dalam kamus!”

Saat mendengar ide ceria dari Jibril Ino tiba-tiba berhenti berlari.

Dia hanya berdiri diam sambil memasang postur bertahan.

“Aaahh…. Saying sekali…. Yah, kalau begitu~~~.”

Wajah kecewa Jibril hanya bertahan selama beberapa detik, seakan dia sama sekali tidak peduli, tapi—whip, dia menunjuk ke arah hutan.

“Aku bisa merasakan aura 3 Immanity dari sana. 2 dari mereka pasti master, iya lan?”

“…? Kenapa kau bertanya padaku?”

“Oh, aku hanya berpikir aku ingin bertemu dengan mereka…. Tapi kalau kau mau, kau bisa terus merangkak di sini!”

Aku sudah selesai di sini, jadi pergi sana. Jibril mengucapkannya lewat telepati dan langsung pergi dengan senyum lebar di wajah. Ino menggeram sambil melihat kepergian Jibril.

“…. Kenapa wanita sialan itu ada di sini?”

Maniak itu bisa berteleportasi kemanapun dia mau…. Tunggu. Peraturannya berkata mengenai maju sesuai dengan angka dadu yang muncul, tapi dia bisa mengikuti Ino dengan mudah meski dia sudah berlari sekencang mungkin. Kenapa dia masih di sini, dan kenapa dia malah memberitahunya jika dia ingin bertemu dengan Sora dan Shiro…?

“…. Dinginkan kepalamu sejenak. Apa dia ingin aku bertanya padanya?”

Ino masih tidak bisa mengerti sifat asli dari game ini, tapi ada sesuatu yang aneh yang tidak cocok dengan seorang Flügel…

XXXXXXX

Di ujung timur dari kotak nomor 152, seperti yang sudah diperkirakan Shiro, ada sebuah kota di sana. Sebuah kota terpencil yang ada di perbatasan provinsi Hihgwest di Elven Garde—agak jauh dari sana, tapi setidaknya itu ada di daerah yang sama. Tidak lama sebelum kedatangan mereka, kota itu tiba-tiba hancur. Bagian dari kota ini tidak sempat terkopi dengan sempurna ke dalam map. Tapi jika dibandingkan dengan ELkia—tidak, bahkan dunia lama mereka—ini adalah peradaban yang ada di tingkat level yang berbeda. Gaya bangunan yang unik…. Sesuatu yang mungkin tidak bisa disebut sebagai arsitektur. Rumah-rumah dan jalan terbuat dari pohon yang menyatu dengan tanah hutan. Bunga berbentuk mirip ubur-ubur melayang di udara dan memberikan tempat ini banyak warna yang berbeda-beda. Bisa dibilang ini adalah tempat fantastis yang berhasil ditiru oleh dewa, tapi tidak ada Elf yang hidup di sini. Tidak ada Elf di sini.

Semua orang pasti akan menatap pemandangan ini dengan mulut ternganga. Bagi seorang desainer game, ini apasti setara dengan karya masterpiece mereka. Di tengah-tengah suasana yang tenang dan tentram itu, sebuah suara muncul dan merusak suasana yang ada di sana.

 

Puppuppaparararaa~~!

“Sora menemukan tanaman misterius—tidak lagi! Izinkan aku istirahat, sialan!!”

Seorang laki-laki paruh baya membuat sound effect sendiri dan kemudian mengambil sebuah tanaman yang ada di dekatnya sambil berteriak. Siapa yang peduli saat kau sedang kelaparan? Tanyanya. Pemandangan ini sama sekali tidak membantu. Sora, usia 43,2 tahun turun dari Harley nya dan mulai menggeledah isi rumah yang ada di dekatnya.

“…. Nii…. Elf itu… vegetarian…”

“Apa kau bercanda!? Kalau begitu dari mana semua nutrisi yang digunakan Fiel untuk membentuk dadanya!? Sapi saja tidak bisa seperti itu jika hanya makan rumput! Di sini pasti ada, seperti, daging atau nasi…!”

Dilihat dari sound effect DQ8 (Dragon Quest 8), sepertinya Sora sedang berperan menjadi Hero, yang memiliki hak misterius yang membolehkannya menggeledah rumah semua orang yang ada di kota. Tapi dalam kasus laki-laki ini, dia hanya terlihat seperti pencopet tidak tahu malu.

 

“…. Boleh aku, bertanya…. Sesuatu padamu…?”

“Eegh!? A-apa lagi sekarang? A-apa kau ingin aku mencuci bajumu juga?”

Seorang gadis kecil yang terlihat sedang mengeringkan bajunya itu melompat kaget saat mendengar suara Shiro dari belakangnya. Sama seperti Sora yang mengabaikan pemandangan tempat ini, Steph—usia 1,8 tahun—langsung berlari mencari sesuatu Ketika…

Waaaaah!! Dia menangis keras dan kembali dengan sebuah handuk. Shiro berjalan menjauh darinya dan bertanya:

“………… Apa itu… nomor… dua…?”

Bukan, nomor satu….! Um, maksudku… aku- aku tidak tahu apa yang kau…. Waaaaah!”

Sadar jika dia tidak bisa menyembunyikannya lagi, Steph langsung berlari menjauh dan melemparkan dirinya ke atas kasur. Dalam sekejap, dia mengabaikan kenyataan yang ada di depannya dengan cara menenggelamkan dirinya ke dalam mimpi.

…. Lagipula mereka semua sudah kelelahan. Tidak ada dari mereka yang berniat untuk menikmati pemandangan tempat ini. Tidak Sora, tidak Steph—dan tentu saja tidak Shiro. Faktanya, Shiro terus mengisi kepala kecilnya dengan informasi baru dan melakukan kalkulasi. Dia membuat sebuah formula tentang alasan kenapa mereka ada di sini, alasan yang membuatnya menyeret sang kakak ke tempat ini, dan apa yang baru saja dia katakan pada Steph yang selalu dia abaikan selama perjalanan…

—Verifikasi variabel situasional yang diperlukan untuk membuktikan teori dimulai. Poin induksi N (Nii) hampir sampai di koordinat yang ditentukan—dikonfirmasi. Truth of bathtub Boolean ada di koordinat yang ditentukan—dikonfirmasi. Prekondisi dari perubahan dimana 3 variabel mati—dikonfirmasi. Prekondisi dari nilai transfer—24 poin untuk N, 1 poin untuk S (Shiro)—kemungkinan dikonfirmasi. Pengecualian untuk random variabel Steph—dikonfirmasi.

—Verifikasi selesai dilakukan. Validitas dari fungsi induksi—bisa dibuktikan…

 

Ayo, Nii—mari kita mulai… gamenya…?

Setelah mengatakannya pada dirinya sendiri, Shiro bergerak ke belakang Sora dengan senyum jahat, sama seperti yang biasa ditunjukkan sang kakak. Sora yang merasakan aura jahat dari arah belakangnya pun berbalik dan melihat—

“Huh, tu-tunggu sebentar! Shiro, itu—itu berbahaya!!”

Di atas sebuah tumpukan buku dan barang lainnya, Shiro mengulurkan tangan untuk mencapai rak teratas. Saat tubuh kecilnya hampir jatuh, Sora langsung melesat dan memeluknya sambil menangis.

“Aaaah!! apa yang kau lakukan!? Kau menyuruh anak berusia 2 tahun bekerja keras sedangkan kau berpura-pura menjadi Hero DQ, dasar idiot Sora! Karena inilah kau masih perjaka meski usiamu sudah 40 an tahun!!”

Hingga sekarang Sora sudah mengontrol pembagian dadu dengan presisi sempurna. Setelah sekian lama, dia menyadari jika tubuhnya sudah terasa sangat Lelah, karena itu dia lupa mengucapkan permintaan maaf.

“…. Maafkan aku, Shiro. Aku harusnya menyadari ini lebih cepat…. Uh…?”

Shiro yang sedang dipeluk oleh sang kakak terus menundukkan kepalanya sambil tersenyum. Kakaknya menatap rak yang ingin diraih Shiro dan kemudian berpikir.

Berapa banyak dadu yang harus kuberikan padanya?

 

Itu yang akan melintas dalam kepalanya…. Itulah yang harus dia lakukan. Meski Nii harus kembali menjadi 8 tahun untuk membuatnya menjadi 11 tahun—yang mana itu adalah usia aslinya—dia tidak akan bisa mencapai ketinggian itu. Kakaknya, dengan kesadaran ruang yang kuat pasti akan menyadari keinginannya, dia ingin membantunya untuk mencari informasi dan makanan. Kesimpulan yang akan kakaknya ambil akan menjadi seperti ini: semakin banyak dadu yang kuberikan semakin baik.

“Mmm. Baiklah. Aku akan menyisakan 10 dadu untukku. Tubuh usia 18 tahunku masih bisa bertahan. Jadi Shiro, aku akan memberimu 14 dadu lainnya.

Ya, inilah yang harus Sora lakukan. Shiro menganggukkan kepalanya dan meminta maaf pada sang kakak lewat tatapan matanya…. Tapi dibalik semua itu dia menyimpan senyum liciknya untuk dirinya sendiri. Semua berjalan sesuai dengan rencananya. Dadu yang mereka miliki menunjukkan jumlah usia mereka yang dibagi rata. Saat mereka kehilangan atau mendapatkan dadu mereka akan mendapatkan atau kehilangan sepersepuluh dari usia mereka. Karena itu jika Shiro yang sekarang membawa 2 dadu, mendapatkan 14 dadu tambahan dari Sora—usianya akan menjadi 16 tahun. Shiro yang sudah mengantisipasi hal ini pun mendengus.

Selamat tinggal…. Tubuh loli… selamat tinggal… fisik anak-anak…!

Beberapa saat kemudian, tubuh Shiro diselimuti oleh cahaya. Lengan dan kakinya tumbuh dan memanjang dengan cepat. Shiro membayangkan seberapa kecil tubuh Steph—yang sedang tidur—sekarang. Ja***g kecil Steph, dengan dada besar yang mirip pudding dan tubuh sexy itu. Tapi sekarang…. Heh. Shiro tersenyum penuh percaya diri.

Maaf sudah menipumu, tapi ini adalah game ku…. Aku akan pergi duluan, Steph. Selamat tinggal gadis kecil Shiro… selamat datang sexy Shiro….! Dengan tubuh ini, ekuasi pertama sudah selesai! Yang tersisa hanyalah menggoda Nii, dan kemudian….!

Dan kemudian….

 

Chapter 2-2     Daftar Isi     Chapter 2-4


Komentar

Postingan Populer